Jangan anggap enteng memicingkan mata pada komunitas kaum Lines alias Lesbi jelang pemilihan pilkada bulan mendatang. Mereka kini tampil lebih berani dan blak-blakan membicarakan kebobrokan para pemimpin di negri ini. Keberadaan mereka tak lagi di jagad dunia maya, tetapi telah semakin nekat dan tidak canggung menunjukkan kemesraan diantara mereka, di hadapan khalayak ramai. Meski dari gelagat secara fisik kedua insan itu, nyaris sama, perempuan. Namun, jangan kaget bila kedua wanita itu, pamer kebiasaan bukan sebagai dua sosok gender yang berbeda jenis kelamin: keduanya sama-sama perempuan. Toh keduanya cuek bebek, saling bergandengan tangan, dan cipika-cipiki di hadapan orang lain di suatu tempat, caffee atau mall.
Bukan hanya di kota-kota besar negri maju pasangan Lesbian, acap disebut Lesbi, boleh saja bermesra-mesraan, antar sesama jenis dihadapan khalayak, toh kata mereka berargumentasi, di negri yang berdaulat’kan tak mungkin diganggu. Bahkan sesekali orang lain, nonlesbi, boleh saja membaur dengan comunitas Colein (community lesbi independen) yang kini anggota perkumpulannya semakin menggurita di kota-kota Solo dan Nogyo, Dalam penelusuran tim Institute for Media and Social Studies (IMSS), di dua kota penyandang kota budaya tampak para lesbi tetap berdandang layaknya selebriti masa kini.
“Waktu kemarin hari’kan dihajar pandemi mematikan Tjorolla — istilah mereka menyebut seenaknya Virus mematikan Corona– kami empet-empetan di kamar kos. Sekarang’kan tidak. Boleh dong bebas, cipika-cipiki di luaran.” Kalau sudah seperti itu, ujar anggota tim peneliti, ndak bisa ngomong apa-apa. “Mampus ajah, itu’kan hak mereka,” ujar salah satu anggota tim kecil IMSS di Njogyo.
Bahkan, kaum lines urban tengah kampus, tetap bersuara kenceng bila berencana membuat kegaduhan dalam rembuk- antarlesbi di dalam kampus masing-masing. Mereka yang akan diundang, ujar Listsyavanya, salah satu lesbi uayu saat ditanya, “apa acara sesungguhnya nanti.” Kedua kaum lines itu hanya senyum-senyum. Ceweq yang satunya, tak lagi semok, tapi malah keliatan kekar. Berambut cepak, persis seperti prajurit, tentara anyaran. “Saya dikasih jam tangan sama dia,” katanya sambil nuding rekan di sebelahnya.
“Namanya jug udah sehati. Kita’kan senasif berjuang untuk membela antarkaum yang terpinggirkan. Makanya ntar di kampus-kampus sekota Jogya dan Solo akan diadain, kumpul Lines. Ntar yang akan datang kira-kira 125 pasangan. Tempatnya biar adem ke Tawangmangu. Lanjut ke Candi porno, Sukuh. Biar adem,” ujar dia minggu lalu di teras mall Jogyatempodulu. Menurut dia, saat ditanya apa tidak saru –secara etika– kumpul bareng sesama jenis berdampingan pacaran pegang-pegangan tangan dan berangkulan. “Lha knopo punya anggapan seperti itu. Kita kan sesama manusia, masak kagak boleh berentengan dan ciuman. Justru kalau berciuman sama lawan jenis, alias nyipok dengan laki-laki itu yang saru secara etik. Kan kita enak kissing berdua,” katanya lagi sembari senyum-senyum. Mbuh
Lebih lanjut dia menampik pertanyaan soal etika, kesaruan berciuman dijalan sesama jenis di hadapan orang banyak di mall. Menurut dia, emang apanya yang salah berdampingan, katakan pacaran sesama jenis dianggap saru. Nanti kami juga berencana untuk berdampingan sampai menikah. “Menikah? Hah, emang lembaga keagamaan mana yang mau mencatatkan pasangan sesama kaum perempuan memadu biduk rumah tangga. Lantas bagaimana merancang kehidupan pasangan lesbi di kota Solo bila dilihatin tetangga, handai taulan rekan-rekan kuliah kalian. “Santai saja.” kata mereka mrenges.
Njuk trus bagaimana kehidupan pasangan lesbi di kota Solo, hingga tak banyak diungkap. Saru, kata beberapa wartawati kota begawan pada jurnalis sarklewer.com saat diminta bercerita tentang itu. Paling banter paling mereka hanya bisa bisik-bisik ngomongin kehidupan para Lines mania di kota bengawan. “Yach ndak mungkinlah Lembaga keagamaan mensyahkan perkawinan sesame jenis dicatatkan dalam aturan perundangan perkawinan,” kata mereka, “tapi coba lihat itu orang yang duduk berdua begitu mesra berangkulan di sudut caffe shop.”
Jangan kaget, bila para Lesbiner memiliki wadah media antar mereka di jagad maya. Jangan pula heran bila kaum lesbiner itu acap menutup rapat jatidiri mereka masing-masing saat bicara pengalaman berpasangan antarlines alias lesbi dan membandingkan dengan pasangan saat memiliki pasangan beda jenis. “Ini bukan persoalan gender lho yach. Jangan ditulis kalau kami juga sering kelon dan saling membahagiakan satu-sama lain. Tentu kepuasan sexual juga beda dong,” kata Rachael ditemui Nicole, contributor di US dan Rusia. “Jelas, muncrat juga. kalau udah saling berhubungan di ranjang. Kan ada alat buat muncratin hasrat.”
Lantas apa yang dicari kaum lesbian? Nggo jawab pertanyaan tadi, tim jurnalis sarklewer.com menelusuri beberapa anggota komunitas lesbian di kota Solo. Jebulnya, kaum lesbi mempunyai jaringan yang kuat dan terorganisir dan terhubung dengan jejaring lesbi di kota lain. “Kami punya wadah sendiri dan punya jaringan di beberapa kota lain. Kami terhubung dengan jaringan komunitas LBT (Lesbian, Bisexual dan Transgender) yang consern terhadap masalah sosial dan tindak kekerasan terhadap kaum lesbi Solo,” ujar komandan Lesbi Solo, Reinbow Girl tahun lalu.
Menurut Reinbow, komunitas LBT Solo ngadek berdiri pada pada 8 Maret 2009 mengaku memiliki anggota seratusan kaum LBT. Meski begitu, ujar Reinbow serius, komunitas itu tidak memiliki ikatan, sehingga jumlah anggota tidak bisa ditebak jumlah pastinya. Kebanyakan mereka takut ketahuan identitas jati dirinya. “Sebenarnya komunitas ini tak bergitu masalah jika terekspose, tapi kita hanya membatasi saja karena ini menyangkut keamanan kita semua juga,” jare Reinbow pringas-pringis senyum manis.
Komunitas yang selalu ngumpul nomaden ini memang tak begitu cetaar seperti komunitas umumnya, namun jangan heran bila jaringan yang dibentuk oleh Komunitas LBT ini sampai tingkat nasional. “Komunitas LBT ini dibentuk untuk mewadahi kaum leasbian, bisexual dan transgender yang mengalami kekerasa baik fisik atau psikis dari anggota keluarga dan linkungan,” katanya serius. Jarene, banyak kaum lesbian yang mengalami kekerasan dan diskriminasi adalah lesbian yang berperan sebagai priyawan. Priyawan sendiri, ujar Reinbow menambahkan, diartikan sebagai pria yang berada di dalam tubuh perempuan, sehingga wanita mengubah penambilan dan dirinya layaknya seorang pria.
“Jane bingung kalau harus menjawab apa yang dicari dari komunitas lesbian, tapi disni sama seperti apa yang diingkan semua orang, semuanya memiliki tujuan dan tujuan kami disini ingin diterima di masyarakat dan menjadi bagian dari masyarakat. Jadi lesbian itu bukan pilihan tapi naluri,” imbuh Reinbow Girl Solo. Menurut cewek yang berpenambilan maskulin itu, kondone menjadi lesbian tak semata-mata karena naluri yang dibawanya sejak lair. Nangging jadi lesbian itu juga bisa karena keadaaan dan tuntutan. “Contonya, cewek yang sakit hati karena cowok bisa saja dia berubah lesbian, atau kalau ndak gitu karena lingkungan kesehariannya,” katanya sembari menunjukkan bendera kaum Lesbi sedunia
Ia juga mengamini, jika para komunitas lesbian di Solo banyak juga yang belum bergabung dengan Komunitas LBT , mereka lebih cenderung tertutup dan berbaur dengan orang normal lainya. Selain itu, lesbian yang independent alias berdiri sendiri ini lebih riskan terkena diskriminasi dan kekerasan social. “Kita sih menghimbau kepada para lesbian buat bergabung dengan kita (Komunitas LBT.red). Di sini bakal membantu mereka lebih tegar dalam menghadapi status dirinya di masyarakat, selain itu kita juga melindungi mereka dari kekerasan yang dialaminya,” beber Reinbow
Jagad Coleinz
Eh iyo, tak semua kaum lesbian ikut dalam satu komunitas. Banyak juga mereka yang berdiri sendiri alias independent. Kaum lesbian independent biasanya tak mau menunjukkan jati diri aslinya kepada semua orang. Kebanyakan mereka takut dengan judge orang-orang terhadap dirinya. Maka mereka lebih memilih diam dan menyembunyikan identitasnya. Seperti yang dialami lesbian asal Solo, sebut saja dia Oieyik. Menurut Oieyik, dirinya memilih tak masuk dalam komunitas lesbi karena ingin berbaur dengan orang taknormal secara alami. Menurut Oieyik, dirinya tertarik dengan sesama wanita sejak kecil. Ketika Oieyik menyadari dirinya telah terkategori sebagai lesbi, ia pun tak berani mengatakan pada teman-teman sebayanya.
“Ya jelas saja ndak berani to bilang kalau gwe lesbi. Tapi akhirnya waktu aku lulus kuliah teman-teman aku tau dengan sendirinya karena aku sering pasang status dan PP (profil picture.red) sama cewek, baru teman-teman bertanya kepadaku dan aku menjawab sejujurnya,” Curcol Oieyiek tahun lalu. Setelah teman-temannya mengetahui dirinya lesbi, cewek berpenampilan tomboy ini ngaku pernah dijauhi teman dekatnya lantaran dibilang tidak bisa menerima keadaan. Ning, Oieyiek pun tak putus asa. Ia menyadari kekurangaanya dan menganggap tanggapan temennya itu sebagai hal yang wajar.
Menurut cewek tomboy berusia 26 tahun ini ngaku, jika dirinya sejak kecil memang diajarkan bersikap layaknya lelaki oleh kedua orang tuanya. Soale, orang tuanya pengen anak cowok tapi ndak keturutan. “ Aku suka sama cewek sebenarnya sejak kecil, tapi kalau dari kecil aku bilang suka sama cewek yo mustahil. Soalnya anak kecil belum tau apa-apa. Tapi sejak itulah aku merasakan ketertarikan dengan cewek,” Curcol Oieyik lagi.
Ditanya lebih lanjut soal pilihannya menjadi lesbian, Oieyik mengatakan jika sikap lesbian bukan merupakan pilihan tapi sudah naluri yang ia bawa sejak lahir. “Opo meneh, dirinya lebih tertarik pada cewek cantik dan keibuan. Tur yo dirinya merasakan lebih greget dan nyaman daripada sama cowok tulen. Ndak greng.” (Rey Saras/Eddy Je Soe/Nicole -AS)
No Comment