Sebuah perhelatan memperebutkan hak kepemilikan bila disajikan dalam pertunjukan drama satu babak dengan dialog jowo ngoko, sepertinya masih digemari penonton. Buktinya, dalam pentas pagelaran “unyeng-unyeng” penonton, mayoritas anak mahasiswa-wi ger-geran, terbawa ikut ketawa ngakak. Pagelaran semalam (15/10/23) yang disutradarai, seniman kondang, Djarot Dharsono, mengingatkan pentas para pemain kaplak-awu Lunglid 15 tahun lalu. Meski dirinya agak kagok juga saat para pemain berada di bawah umur-umuran dirinya, toh seniman kondang TBJT (Taman Budaya Jawa Tengah) tetap merasa mereka pantas ditampilkan
Entah nantinya, para seniman dan dramawan pendukung pementasan lakon Unyeng-Unyeng, memahami Bahasa Jawa yang digunakan dalam pementasan, bakal memperoleh tanggapan ‘peye’ –istilah payu alias laku– ditanggap, tak masalah. Menurutnya, pemahaman Bahasa Jowo, justru tak harus dilakukan oleh pemain asal tlatah njeron keraton atau keluarganya tingal sebagai magersari di suatu tempat. Nyatanyanya, para pendukung yang berpentas malam itu, justru bicara ngablak dan membuat penonton ngakak.
“Asli menyenangkan melihat para pemain, yang rata-rata setengah sepuh, misuh-misuh di atas pentas. Entah sesuai dengan teks scenario sutradara atau tidak, tapi nyamleng. Pisuhannya itu yang tidak bisa ditiru dalam pentas di luaran menggunakan Bahasa non-jawa,” ujar Eddy Je Soe, mendring wedus dan jurnalis NTB seusai nonton
Meski dirinya mengaku gagap memahami istilah dalam scenario yang dipentaskan, tetapi tetap saja Je Soe ikut tertawa ngakak mendengar penonton di sebelahnya teriak sambil ketawa lepas. Kegaduhan saat menyimak pertunjukan itulah, ujar JeSoe mahasiswa arsitektur dari Flores itu, bisa memahami ujaran geguyonan dan sindiran pedas dalam pentas bertajuk “Unyeng-Unyeng”
Persoalannya, tidak banyak mahasiswa atau khalayak awam, di luar daerah kota Solo, tertarik menyaksikan pertunjukan sandiwara seni berbahasa Jowo itu. Bisa saja, ucap dia berargumen, mereka takut sulit menangkap inti percakapan dalam dialog yang memakai Bahasa Jowo. Sebetulnya, ucap dia prengas-prenges, sembari kakinya jegang menyeruput minuman STMJ alias susu-telor-madu-jahe, di samping warung hiek monument pers sehabis nonton pertunjukan.
“Asyik juga kalau bisa ngerti dialog para pemain. Tapi’kan tidak semua mahasiswa yang sedang kuliah di Solo memahami ucapan kadang kasar misuh-misuh. Apalagi gwe tra boleh ikutan ngomong Bahasa kasar makai boso jowo. Ntar dikira wong Solo,” katanya cengegesan. “Apalagi istilah unyeng-unyeng, di Flores sana mana ada yang tahu, kalau itu pusat rambut di kepala. Bagaimana kami bisa lihat.”
Menyimak apa yang diucapkan JeSoe mahasiswa dari luar kota Bengawan, jelas mengisyaratkan kegundahan hati memahami makna literasi celotehan memakai Bahasa nonindonesia di dalam negri merdeka kini. Tak harus dicegah dan dilarang, layaknya di zaman pelarangan-pelarangan regime orde baru kala itu. Justru yang perlu digalakkan yakni memberi keleluasaan pada kelompok seniman sutradara mengangkat topik dengan menggunakan bahasa nonjawa maupun Indonesia. Sebenarnya tidak masalah, ujar dia beralasan pentas drama dengan memakai bahasa gado-gado, daerah dan Indonesia.
“Kalau itu bisa ditampilkan dalam satu pentas, kenapa tidak. Ajak mahasisa-mahasiswi asal luar Solo yang bisa ngomong memakai bahasa daerahnya berpentas, bercampur dengan aktivis seniman tari, drama bicara di pentas, kan tambah asyik,” katanya. Justru akan lebih menarik bila, yang berpentas itu dari generasi muda dari berbagai daerah luar kota, diajari misuh-misuh pakai bahasa mereka masing-masing.
Menanggapi usulan penonton, sutradara kawakan, Djarot Dharsono, perlunya menggandeng seniman luar kota dalam satu pentas di atas panggung teater, dirinya setuju. Perkara topik dan lakon yang akan dipentaskan, bila nanti akan mengandeng anak muda di luar kota Solo, latihan berpentas drama, agak kerepotan. Selain tak semua orang di luar kota Solo, paham arti ujaran kasar bahasa jawa, juga sulit menemui mahasiswa berlatih drama. Tetapi tidak ada salahnya bila mereka mau, akan kita undang latihan manggung dengan topik yang mudah dimengerti.
Jangan sampai, misalnya kita sepakat menyajikan lakon “unyeng-unyeng’ seperti lakon kemarin hari, tak ada yang tahu maksudnya apa. Padahal, ujar DJarot Dharsono, unyeng-unyeng itu’kan istilah pusat rambut di kepala. “Tegese, yen mudeng tegese unyeng-unyeng, niku lebih gampang berdialog. Bukan karena dia lebih pinter, luwih sugih, menawi tidak bisa mengatur pusatnya rambut, susah jadinya. “Kulo negesi yeng mudeng unyeng-unyenge dewe niku gampil nyurati, mengatur rambutnya dewe. Nyawang unyeng-unyenge dewe niku seperti seperti kaya nyawang githoke dewe.”
Inti dalam pentas drama satu babak Unyeng-Unyeng kemarin, ingin menyampaikan perspektif tentang suatu hal yang maha penting yakni bila ingin semua orang memiliki warisan mengelola warisan masalalu, tidak perlu berebut sertifikat. Apalagi sertifikat tersebut milik seluruh orang dalam tatanan negara. “Kalau satu orang berniat ingin memiliki sertifika negara dimilikinya, jelas tidak boleh dan tak mungkin dilepaskan orang-orang yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan. Setidaknya terbebas dari cengkeraman diktator masalalu,” tandas JeSoe, “Ceritanya kemarin kan soal berebut sertifikat, yang dicuri dan digadaikan.”
No Comment