Dr Sudanto: “Dibayar Rp.2000 Di Papua Tra Masalah”


Di ruang yang sangat sederhana, Dr Sudanto berpraktik

Pagi itu disebuah ruangan berukuran 2,5 x 2,5 m, duduk seorang pria berwajah tirus, rambutnya makin putih dimakan usia sedang memeriksa ibu setengah baya. Tanya jawab antara dokter dan pasien berlangsung kira-kira 2 menitan mengenai penyakit yang dideritanya. Resep pun kemudian diserahkan pada pasien sambil berkata, “Dua ribu rupiah mama.” Sembari menyodorkan resep yang telah ditulisnya, sang dokter kurus itu pun berpesan, “Kalau mama belum sehat, jangan segan datang kemari.”

Mendengar dialog itu jelas pendengaran dan mata saya tak percaya begitu saja. Sebenarnya agak segan menanyakan persoalan tarif dokter, tapi desakan ingin tahu, sebagai penulis berita, tentu kecanggungan itu saya tepis. “Dok kok tarif berobatnya sama dengan membayar parkir?” Dokter itu pun tak mau menjawab, ia hanya melempar senyum yang sejak tadi mengambang mententramkan hati.

Fransiskus Xaverius Sudanto, nama dokter ramah dan dikenal di seputar Jayapura, Papua. FX Sudanto lahir di Karanganyar Kebumen menyelesaikan studi kedokteran di Universitas Gajah Mada Yogyakarta tahun 1975. Cita-citanya semula bukan ingin menjadi dokter, lantaran amanat ibunyalah Sudanto menurut kehendaknya.

Hidupnya Ia abdikan di Tanah Papua untuk Melayani (courtesy liputan6)

Awalnya kuliah di fakultas kedokteran, tutur Sudanto, sangat menjemukan. Tetapi lama-kelamaan ia justru jatuh cinta dengan ilmu yang menurutnya sangat ruwet dan perlu kehati-hatian karena berhubungan dengan nyawa manusia. Saking senangnya menuntut ilmu di fakultas kedokteran, ia kuliah berlama-lama di Yogyakarta. Alasannya, kalau cepat jadi dokter tetapi tidak mengerti dengan baik, malah nanti menyusahkan pasien.

“Biar pasien tidak susah. Karena diagnosis yang ditegakkan pada pasien yang sakit keliru. Itu’kan namanya menyengsarakan pasien,” ujar dia beralasan, “makanya saya lulus lama dari fakultas kedokteran.”

Pada suatu saat, Sudanto menjadi salah satu guru besar asal Amerika, Profesor William Pearson, MD yang mengajar pathologi klinik. Memperoleh ilmu langka, waktu itu masih belum secanggih sekarang, banyak pengetahuan tentang penyakit yang diajarkan prof William membuatnya bingung.

“Saking luasnya ilmu penyakit yang dipelajarinya. Sampai-sampai saya sering tidak bisa tidur dan ke perpustakaan sambil mencocokkan pelajaran yang diajarkan dengan praktik keseharian di rumah sakit,” ujar dia. Akhirnya pria kelahiran 5 Desember 1941, lulus dengan hasil sangat memuaskan; meski waktu lulus tahunan di Fakultas Kedokteran UGM.

Usai menyelesaikan perkuliahan dan memperoleh gelar dokter, Ia mendaftarkan diri sebagai dokter Inpres (Instruksi Presiden) dan ditempatkan di Asmat, Papua. Kala itu Asmat berada di belahan Selatan Papua yang masih dijumpai rawa dan hutan bakau. Awalnya memang, ujar Sudanto, merasa ketar-ketir tinggal di Asmat sendirian.

“Sejauh mata memandang, yang kita temui hanya rawa-rawa dan semak belukar tingginya sepinggang. Selain itu masih terdapat penduduk yang masih sangat primitif. Meski demikian, kami bisa bertegur sapa secara damai. Sungguh tantangan sangat berat dan menantang. Penyakit kurang gizi, malaria, frambesia, kolera waktu itu bisa ditemui setiap hari,” ujar Sudanto, “Meski demikian saya harus tetap bertahan dan membaktikan diri pada warga Papua.”

Kegigihan dokter Sudanto, pantas memperoleh ganjaran dari sang penguasa jagat. Benar saja, pada suatu ketika, ia bertemu dengan salah satu pemenang hadiah nobel kedokteran tahun 1957, Dr Gadjusek MD, dokter asal Belanda penemu penyakit Kuru. Dokter Sudanto sangat beruntung bisa belajar dari Gadjusek tentang penyakit sporadic lateral amytropic sclerosis.

“Saya bisa belajar dari doktor Gadjusek soal penyakit dan penanggulangan lateral amytropic sclerosis yang menyerang sistem syaraf manusia. Terutama penyakit yang menyerang di daerah lokasi yang hidupnya masih terbilang primitif,” katanya, “saya juga memperoleh banyak waktu luang dan vaksin dari doktor Gadjusek.”

Bagi dokter Sudanto, meski ia tinggal di daerah terpencil dengan penduduk kurang lebih 1000 orang, tentu sangat menyenangkan. Anehnya ada pula orang Yahudi ahli antropologi yang sedang melakukan penelitian mendalam tentang asal-usul orang Asmat. Juga menarik minat pastor gereja diutus langsung keuskupan Amerika untuk mempelajari berbagai hal.

“Kehadiran bangsa dari belahan dunia lain, sebenarnya ikut andil dalam memajukan orang-orang Agats dan warga Papua lain,” katanya, “termasuk droping obat-obatan dari luar negeri untuk kesehatan warga masyarakat.”

Dokter Sudanto selama tiga tahun ditempatkan di Puskesmas Agats. Puskesmas yang dulunya rumah sakit besar peninggalan Belanda. Setelah itu, Sudanto dipindahtugaskan ke rumah sakit Katolik di Bayun, juga peninggalan pemerintah Belanda.

“Seluruh biaya operasional mulai dari gaji hingga obat-obatan juga berasal dari negeri Belanda. Pastor Antonius van Der Wouw yang tinggal di desa Basiem, mengawasi jalannya operasional rumah sakit itu,” tutur Sudanto.

Menurut Sudanto, rumah sakit ini memperoleh perhatian besar dari luar negeri. Bantuan peralatan seperty Rontgen dan peralatan lain acapkali diperoleh dari Belanda maupun dari Jerman.

Sampai pada akhirnya di tahun 1983, Sudanto ditugaskan di Rumah Sakit Jiwa Abepura, Jayapura. Selama 12 tahun lamanya ia bekerja sendirian karena pada waktu itu para  dokter masih sangat jarang yang mau ke Papua.

Di ruang sederhana itulah pasiennya dirawat dengan tulus

Meski ia seorang dokter umum, namun upayanya untuk belajar masalah kejiwaan patut dipuji. Current Medical Diagnosis and Treatment, Comprehensive Psychyatric Nursing, Modern Clinical Psychiatry menjadi buku pegangan bacaan sehari-hari. “Akhirnya saya hafal penyakit  jiwa dan ternyata sangat menyenangkan,” pungkasnya.

Kisah lucu saat mengobati pasien, ketika seorang pasien asal Papua bertanya padanya menggunakan bahasa Belanda, “Goede morgen dokter, ik will naar huis” Kemudian dijawabnya, “Ne moet je hier blieven zeven dagen meer”, –Jangan dulu, kamu tinggal disini saja– Tak disangka, pasien di rumah sakit jiwa berucap menggunakan bahasa Belanda.

Dua puluh tahun lamanya Sudanto melayani pasien di rumah sakit jiwa. Hingga akhirnya ditahun 2003, ia harus melepas statusnya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan memasuki masa pensiun. Namun kepensiunan tak membuatnya berhenti mengobati pasien. Ia masih tetap melayani masyarakat di kota Jayapura di tempat prakteknya yang terletak di bilangan Lingkaran Abepura Kota Jayapura.

Disitulah tangan Sudanto yang sudah mulai keriput memeriksa pasien tiap harinya. Waktu praktiknya mulai jam 8 pagi hingga pukul 12 siang. Nonstop tanpa henti karena pasien yang datang tidak sedikit. Sekitar 100 orang pasien tiap harinya yang berobat.

“Wah, banyak sekali ya pasiennya dok?” tanyaku. Jika dihitung sekali periksa satu pasien Rp. 50,000 dikalikan 100 orang berarti Rp. 5,000,000.00 per hari.  Kalau kali 30 hari, berarti sekitar Rp. 150,000,000.00 per bulan. Jumlah yang sangat fantastis.  Nyatanya semua itu hanya ilusi. Tak pernah terjadi dalam hidupnya kejatuhan uang Rp. 150,000,000 per bulan. Sudanto seorang dokter yang tidak pernah menilai segala-galanya dengan uang. Asal pasiennya kembali sehat, ia sudah puas.

Seorang dokter yang sangat mungkin jarang ditemui di negara kita, bahkan tak akan pernah ada. Ia hanya minta dihargai seharga tukang parkir mobil di jalanan. Dua ribu perak saja yang dimintanya dari pasien. Tarif tak sebanding dengan kerja kerasnya kuliah kedokteran.

Memang aneh dan sangat unik. Tapi ya begitulah kenyataannya. Sudanto berpikir bahwa kebutuhan manusia saat ini semakin banyak. Jika ditambah lagi dengan ongkos berobat, maka masyarakat akan semakin terpuruk. “Kebutuhan pokok, pendidikan anak, biaya hidup semakin meningkat, apa jadinya jika ongkos berobat juga mahal. Kasihan masyarakat,” imbuhnya.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mana cukup jika bayarannya hanya dua ribu rupiah per orang. Pastinya kurang karena ia sudah pensiun dan ketiga anaknya masih kuliah. Butuh uang tak sedikit untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Untungnya ia masih diberi tanggung jawab mengajar di beberapa Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta di Kota Jayapura. STFT (Sekolah Tinggi Fajar Timur), Politeknik kesehatan, Universitas cenderawasih (Uncen) dan USTJ (Universitas Sains dan Teknologi Jayapura). Tak terasa, ternyata sudah tiga puluhan tahun ia mengajar di perguruan tinggi. Mata kuliah yang diajarkan juga bervariasi. Fisiologi, bakteriologi, patologi, gizi, imunologi, biologi medis dan transfusi darah.

Semangat pria yang pernah mendapatkan penghargaan dari Rektor Universitas Gajah Mada ini memang tak ada duanya. Walaupun ia bukan seorang dokter spesialis, namun pengetahuannya dalam dunia ilmu kedokteran sangatlah luas. Meski ia seorang dokter umum diusianya yang sudah tak muda lagi, jangan tanya soal kemajuan ilmu kedokteran, pasti akan dijawab panjang-lebar (Brigitta / Eddy J Soetopo)

Previous Ajang Pamer Baju & Betis Paris Fhasion
Next Jam Kremlin Berulangkali Direnovasi

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *