Wanita bertubuh mungil ini memang pantas dikenang. Jasa dan semangatnya mendobrak keterbelakangan penghidupan rakyat Papua, pantas diacungi jempol. Rosa Isabel Millan Rueda, 78 tahun, kelahiran Mexico tiba di Papua pada 1971 ketika ia ditugaskan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk melihat dari dekat kehidupan di tanah Cenderawasih.
Sebagai antropolog, yang mempelajari asal-muasal interaksi sesama mahluk, membuat Rosa semakin tertarik. Bagaimana pun, saat itu, kehidupan sebagian besar penduduk Papua masih dianggap primitif. Rosa blusukan ke pedalaman di Wamena, Jayawijaya dan daerah pegunungan lain.
Kenekatan Rosa mblasak ke belantara Papua, membuat bos di markas PBB panik melihat kenekatan antropolog ngotot ingin memperdalam kebudayaan sampai tuntas. Rosa tidak diberi izin melanjutkan penelusuran ke tengah hutan Papua, yang terdengar di kantor PBB masih dianggap berbahaya. Tapi Rosa tak peduli, ia nekat melayani masyarakat di pelosok gunung dan tengah hutan.
Pernah suatu ketika, tutur Rosa beberapa waktu lalu, ia dihadang pria bertubuh besar turun dari rumah pohon, diajak bertegur sapa. Lantaran tidak mudeng boso yang digunakan, Rosa pun menggunakan bahasa Tarzan, pakai isyarat. Mereka pun malah mengajaknya singgah di rumah pohon. Sejak saat itulah keyakinannya dapat bertegur sapa menggunakan bahasa isyarat dapat memperlanjar kegiatan memberi pelayanan kesehatan dapat diterima.
Tampaknya cerita Rosa ditawan di rumah pohon membuat bosnya di PBB segera menarik pulang ke kantor pada 1973. Rosa pun dipindahkan ke markas yang baru di New York. Bukannya seneng, Rosa malah jengkel. Meski kantornya berada di kota metropolitan terbesar di Amerika Rosa malah tidak nyaman. Padahal seluruh kebutuhan dan kehidupan modern apapun yang diminta pasti disediakan, tapi dia ogah. “Kehidupan seperti itu tidak menantang, itu bukan tujuan hidup saya bekerja buat sesama,” ujar dia pada contributor sarklewer.com di Papua.
Setelah dua tahun meninggalkan Papua, tak disangka ia dihubungi misionaris Belanda, Yosef Maria Verstegen agar Rosa bekerja di AMA, sebuah lembaga penyalur bantuan melalui penerbangan di bumi Papua. Tanpa banyak cakap, Rosa mundur sebagai karyawan di PBB dan bergabung dengan Verstegen pada 1975, setelah menikahinya.
Namanya juga petualang kemanusiaan, Rosa merasa bosan bekerja di kantor duduk manis. Disela-sela waktuny Ia mulai melayani penduduk Papua di sekitar danau Sentani memberi obat-obatan dan pakaian laik pakai menggunakan perahu kelotok menyeberang danau. Karena sering berhubungan dengan penduduk di Sentani, lama-kelamaan Rosa bisa berbahasa Indonesia dan dialek Papua.
Kontrak kerja Verstegen beserta isterinya Rosa, di AMA habis, mereka berpindah dari Sentani ke Dok V Jayapura. Tak lama kemudian, lembaga penerbangan penyalur bantuan memanggil kembali Verstegen bekerja di AMA. Situasi di tempat yang baru, tentu berbeda ketika berada di Sentani. Meski demikian, sepak terjang Rosa membantu warga masyarakat tetap dijalankan, menyalurkan obat-obatan dan pakaian pada penduduk setempat.
Tidak hanya membagi obat dan pakaian, Rosa pun mulai melatih mama-mama papua menjahit, memasak dan membaca-tulis dibntu anak angkatnya Jose Maria Kagoya asal Wamena. Pemerintah setempat memberi ijin pada Rosa untuk membuka kebun di gunung dekat tempat tinggalnya. Dengan berkebun itu pulalah penduduk diajari bercocok tanam dan hasilnya dijual ke pasar Ampera. Tidak hanya itu, Rosa juga berusaha keras agar PBB mengupayakan pasokan air ke PAM (Perusahaan Air Minum) dan memasok layanan kesehatan.
Gayung pun bersambut, PBB membantu kegiatan Rosa di Paniai Dok V Jayapura, membangun kamar mandi dan cuci di perkampungan yang dianggap perlu segera dibangun. Selain memberi pelajaran kebersihan dan pentingnya kesehatan. Rosa turun tangan memberi pengetahuan dengan melatih kader kesehatan terpadu di sekitar daerah yang dituju.
Kerjakeras dan kegigihan Rosa dalam mengupayakan gerakan hidup sehat, nampaknya membuat warga antusias mengikuti pelajaran yang diberikan gratis. Mama-mama semakin banyak yang datang belajar memasak untuk membantu membuat makanan sehat buat 50 anak sekolah setiap pukul 5 pagi sebelum sekolah.
Pada tahun 1995, Rosa mengikuti rapat internasional di Beijing, sekalian mengajak Verstegen berlibur ke Belanda menjeguk keluarganya di sana. Sesampai di Belanda, suami Rosa, sakit dan meninggal. Kesedihan Rosa bertambah, ketika ia tidak memperoleh izin menetap di Papua oleh imigrasi. Padahal, katanya, ia harus menyelesaikan proyek bersama dengan suku Mee di pemukiman Paniai. “Saya tidak ada pilihan. Rumah saya jual dan kembali ke Mexico. Saya sangat sedih tidak bisa bekerja menolong sesama manusia di Papua,” ujar dia.
No Comment