Jangan tanya berpa jumlah pasti orang berduyun-duyung memburu kereta api kelas bawan di Jakarta sebelum reformasi, 20 tahun lalu. Bila Anda pernah ngeyel nekat naik ke dalam gerbong kereta KRL dari Bogor ke stasion Beos, Jakarta Kota, tentu tak heran bila baju Anda basah kuyup keringatmu. Bukan hanya basah keringat, tetapi juga berdesak-desakan, empet-empetan satu-sama lain, tetap akan terjadi. Apakah hal itu juga terjadi di kota-kota lain? Bila tahun-tahun saat ini, moda transportasi berbasis kereta api murah, di ibukota Jakarta tak ada lagi, bersyukurlah.
Kondisi mencengangkan seperti itu, sejak dahulu hingga kini di India. Jangan heran bila Anda naik kereta ekonomi di Metro Delhi, wilayah metropolitan ibu kota India, dengan populasi 32 juta orang dan menempatkan kota metro terbesar di dunia itu, fasilitas angkutan massal tak jua semakin baik. Tidak usah berpikir, jernih bila melihat fenomena setiap hari setiap orang pengguna kereta api, akan mendesah dan jengkel terhadap pemerintah di ibukota negri terpadat di dunia India.
Meski saat ini, jumlah kereta api bawah tanah telah bertambah banyak dengan rute dari dan menuju tempat kerja, toh penduduk pengguna kaum perempuan tetap menjadi sasaran pria eksibionist yang senang memperlihatkan dan menggesek alat kelamin mister “P” pada sasaran berada di depan bergelantungan naik kereta. Menurut peneliti dan antropolog budaya, prof di universitas George Mason, Rashmi Sadana, kaum perempuan di India selalu mengalami tindakan tak terpuji kaum laki-laki.
“Sungguh menyedihkan. Selalu perempuan yang mengalami. Tentu karena situasi di dalam kereta api tidak menguntungkan untuk bepergian jarak jauh untuk bekerja,” katanya dalam naskah di media Spien, minggu lalu. Sebagai antropolog perkotaan, kata Rashmi Sadana, perkembangan alat angkut masal selama 10 tahun telah berkembang pesat. “Dari tiga jalur menjadi Sembilan jalur untuk melayani jangkauan geografis wilayah kota yang luas itu. Tapi tidak menolong banyak bagi perempuan.”
Sepengetahuan Rashmi Sadana, selama lebih dari 10 tahun lebih sebagai kota kaya dengan birokrat dan politisi berkuasa, wilayah Delhi, dihuni bercampurnya kehidupan penduduk kota miskin daerah kumuh, jelas sangat paradok yang mencemaskan. Lihat saja film yang menggambarkan paradok kehidpan di kota terbesar nomor 2 dunia, ‘The Moving City’ misalnya, setiap orang akan meneteskan airmata, bila melihat situasi hal itu. “Mestinya, pemerintah tidak boleh membiarkan hal seperti itu terjadi,” katanya
The Moving City mengamati sektor-sektor di antara keduanya —kelas pekerja dan kelas menengah global yang sedang berkembang— dan mengungkap aspirasi serta rencana perjalanan mereka di kereta dan dalam kehidupan sehari-hari. Perhatikan secara seksama, dalam buku yang memperlihatkan 75 adegan singkat bertemunya mikro-etnografi yang menggambarkan tempat pemberhentian dan permulaan sebagai moda transportasi rakyat jelata.
Dalam buku berfokus pada visibilitas —bagaimana Metro memperlihatkan realitas dan perpecahan sosial yang sebelumnya tersembunyi atau diabaikan. Sebuah game changer di satu kota berbahaya bagi mereka untuk bernavigasi pencari keja layak buat makan. Betapa sulitnya bagi kaum wanita berebut mencari makan di Dheli. Sebagai contoh, misalnya pada tahun 2012 lalu, seorang Wanita Jyoti Singh, diperkosa beramai-ramai dan dibunuh saat mengendari kendaraan pribadinya. “Ia tidak menemukan transportasi lain untuk pulang setelah menonton film bersma rekannya di biioskop selatan Delhi,” katanya mencontohkan kisah tragis
Untungnya, kondisi mencemaskan kehidupan rakyat jelata melarat dilihat jurnalis yang secara diam-diam diunggah melalui tweet dengan kata menohok, “Ibu dan anak duduk sementara pengasuh anak duduk di lantai kereta yang cukup kosong. Sebuah diskriminasi kasta atau kelas, memang benar-benar agnostic di sebuah ruang kosong,” tulisnya. “Perbedaan kasta umum di Delhi, antara kasta atas dan bawah sungguh sangat terlihat kasat nyata hirarki social diantara kedua kelompok masyarakat di India.”
Delhi terkenal sebagai tempat di mana perempuan tidak hanya dilecehkan di jalan tetapi juga menjadi sasaran kejahatan yang paling mengerikan. Cerita dan statistik ini menjadi masukan bagi narasi yang lebih luas tentang keselamatan anak perempuan dan perempuan serta tempat yang layak bagi mereka di kota yang biasanya mereka berada di rumah. Kehidupan harian para pekerja yang diburu harus menepati jam kerja, di India saat ini hingga sama dengan para penumpang KRA di Jakarta tahun lalu, Bila Anda pernah berwisata ke Delhi, berhati-hatilah bila nekat ingin naik ke kereta api berwisata di kota terpadat nomor dua di dunia. Selain tidak nyaman, juga kemungkinan Anda akan dilecehkan orang tak dikenal. Hal itu pun bisa saja terjadi ketika Anda menumpang KRL tahun lalu. Saat ini, kondisinya tak seburuk waktu pertama kali para penumpang dengan nekat bergelantungan naik di atas gerbong KRL sebelum dibebenahi
No Comment