Mampirlah dan teguk minuman khas Gempol Pleret di dalam pasar. Jangan mencari tempat jujukan resto, kalau Anda ingin memesan yang hanya dijual di Pasar Gede kota Solo. Tidak hanya menggelar dagangan gempol pleret, nenek yang telah belasan tahun dodolan minuman tradisional itu, mengaku tidak berputusasa bila sepi pembeli. Berada di los pasar lantai dasar, dilakoninya semenjak tahun 70-80an lalu. Pahit getir berjualan ndeprox di pasar inilah Wiji, nenek 4 cucu, pinggiran kota, mencoba bertahan dodol gempol.
Awalnya ia agak ragu, bagaimana mungkin diantara orang berdesak-desak belanja pelbagai keperluan dapur, dirinya justru gelar dagangan minuman. Bukan hanya gempol, terbuat dari tepung menir beras-ketan, biar keliatan menarik, Mbah Wiji menjadi wujud berbeda bentuk. “Gempol beras yang sudah jadi dibuat bulat-bulat pipih, sedang pleretnya agak dibikin memanjang tipis,” ujarnya sembari meladeni pembeli tanpa putus
Baginya pekerjaan merakit jajanan tradisional lawas gempol, bukan waktu yang bisa ditinggal pergi saat memasaknya. Perlu ketekunan ketika membuat adonan, dari bahan baku beras-menir yang dikukus, hingga masak. Menambah lembar daun pandan diikut simpul, gula pasir dan setengah sendok gula pasir, merupakan resep yang wajib diikuti sejak awal berdagang makanan gempol.
“Sebelum ada alat listrik, blender beras yang telah direndam semalaman, musti ditumbuk pakai palu dan lumpang. Sekarang ada blender lebih praktis. Beras dihauskan, tidak terlalu halus biar kliatan tekstur berasnya,” ujar dia menambahkan, “nah baru dibuat kepal-kepal halus bulat-blat. Terus dikukus 20 menit lagi. Diamkan sampai dingin, dengan menyiapkan santan kelapa.”
Bila telah selesai bikin gempol, kemudian tinggal membikin pleret, sebagai asesori tambahan biar keliahatan mleret nyeni. Entah darimana asal kata jajanan Gempol mendapat tambahan kata “Pleret” tidak ada studi dari para ahli tataboga yang melakukan penelusuran asal-muasal nama gempol-pleret. Yang jelas, penjual gempol pleret di lantai dasar pasar Gede Hardjonagoro, telah memberi kenyamanan memperoleh kesempatan berusaha.
Seingatnya, pasar Gede pernah terbakar lebih dari sekali. Justru dulu sebelum Belanda meninggalkan kota Solo, pasar Gede kian ramai. Selain salah satu cikal bakal pusat perdagangan makanan, sayur dan buah di kota bengawan, juga “pancering urip” wong cilik mengadu nasib berjualan. “mbah-embah saya dulu juga jualan wade di pasar Slompretan –pakaian– dan baru pindah di sini sebelum gegeran tahun 70-an. “Tapi Pasar ndak pernah tersentuh gegeran. Sejak dulu aman. Kalau kebaran itu, korslet listrik, bukan dibakar.”
Menurut Wiji (63), berjualan gempol-pleret memang acap menjadi salah satu jujugan orang berbelanja ke dalam pasar Gede. Apalagi setelah muter-muter mencari sayur, selain di pasar Legi tidak ditemui, kebanyakan mencarinya di pasar ini. Kemarin ada acara, peringatan hari menari sedunia, juga banyak orang mencari minuman gempol-pleret. “Terserah pembeli mau ditambah pakai jenang, atau cendhol tidak Om. Diplastik juga bisa tinggal di bawa pulang. Semangkok Cuma 10 ribu. Harga-harga naik, sejak lima tahun lalu. Entah kenapa. “Saya jualan sejak harga mulai dari Rp.2500, naik jadi 5 ribu, sekarang jadi sepuluh.”
No Comment