Keberpihakannya pada dunia seni dan kebudayaan hingga kini tak luntur. Meski usianya menginjak di atas angka tujuh puluhan tahun lalu. Di lahirkan di pinggiran kota Banten Selatan, namanya melesat dikenal di banyak komunitas seni seantero jagad. Penggembaraannya dalam pergaulan membuat tempat tinggalnya di pinggira ndeso Plesungan didatangi seniman mancanegara.
Jebolan fakultas filsafat Universitas Gajah Mada Jogyakarta, di era 60-70an tak membuat dirinya minder bergaul dengan kalangan seniman dan sastrawan negri ini. Meski terlahir dari trah Hokian, nama Halim HD, jelas tidak bisa dipicingkan sebelah mata ketika penggiat budaya di Solo membicarakan jagad seni. Meski ketika melontarkan, kritik-kritik pedas. Suaranya tetap memiliki gaung menimbulkan efek social terhadap perubahan, setidaknya didengar pembuat kebijakan.
Penampilannya terbilang sangat sederhana, kemanapun ia pergi diundang dalam diskusi di kalangan penggiat budaya, toh ia santai menanggapinya ketika dicela oleh sesama koleganya. Meskipun, para penggiat sastra dan budaya yang membullynya kalangan muda usia. Dia tetap senyam-senyum arif. Searif pendekar berkepala plontos dari Shaolin di kota Dengfen, nama Halim HD tetap moncer dan diperhitungkan di kalangan penggiat seni budaya.
Tinggal di pedesaan di rumah nan asri dan tumpukan rak-rak buku bertabur di sana-sini, membuat dirinya enggan beranjak ke luar rumahnya. Selain jauh dari keramaian dan kebisingan kota Solo, menurutnya membuat jengkel ke Solo lantaran kemacetan membabi buta, ia lebih senang menyibukkan diri membaca dan menulis. Bukan hanya itu yang dilakukan kesehariannya, Halim juga acap gusar ketika dua anjing, binantang peliharaannya, sering kabur tak menentu. “Kadang sebel juga. Tapi itu dia’kan binatang, sedang birahi, nyari pasangan sampai keluar rumah. Biarin saja,” katanya sewot.
Di selasar depan rumahnya, tempat anak-anak muda mahasiswa tari diizinkan berdiskusi apapun tanpa diintervensi siapapun tinggal sonder bayar sampai lulus kuliah. Mereka boleh mengembangkan diri dan berekspresi berkarya mengekplorasi gerak tubuh tari setiap hari. Bahkan, mereka diperbolehkan mengundang rekan-rekannya buat berdiskusi soal budaya dan politik sekalipun. “Sampai lulus pun mereka free tinggal, asal makan bawa sendiri. Bahkan kalau ada kegiatan perform, mereka dilibatkan ndaplang. Kita beri kesempatan seluas-luasnya berekspresi di sini,” ujar dia
Karakter kokohnya menolak kondisi kemapanan yang dipaksakan meniru gaya orde baru, jelas mencerminkan seorang budayawan kritis takmau berkompromi. Dalam jagad dunia budaya, namanya bukan hanya dikenal di lorong kota Solo dan Jogya, tetapi juga melompat ke daerah seantero negri ini. Tidaklah mengherankan bila, dirinya acap sulit ditemui di kediamannya nanasri di Plesungan. Selain bergiat menjadi pendorong gerakan budaya lokal, Halim HD juga acap didatangi penggiat seni di sanggarnya. “Ndak musti. Kadang mereka ingin nari karya kontenporer di sanggar ‘kan bisa menjadi pelajaran adik-adik mahasiswi-siswa sambil menikmati karya orang dari luar. Bagi saya mereka datang ke sanggar itu suatu keberuntungan bagi generasi penerus budaya nari.” Ngomong-ngomong, kepanjangan nama HD itu apa? Mbuh
No Comment