Inilah seni peran tari kontenporer yang dihelat di Taman Budaya Seni Jawatengah (Tbjt) oleh pasangan muda Ashely dan Dominic dari jebolan sarjana seni penciptaa, Belanda. Meski tak membawakan gerak laiknya tari genre baru, nan lembut laiknya balet, toh kelenturan tubuh kedua sarjana tari itu, pantas diacungi jempol. Selain kedua penari itu mampu menggugah keingintahuan pengamat seni tari yang memodernisir gerak lentur tubuh mereka. Bisa jadi derap imajinatif ketika kedua penari -berbesa jender itu- mampu membetot gerakan asosiatif bermacam ragam, toh sangat pantas ditepok-tangani gemuruh. Salut atas kreatifitas mereka tak mampu meluluh melantakkan idiom kekerasan ketika keduanya bersimbiosis adegan sexiografies lewat scren layar lebar yang pajang miring -taklangsung menghadap penonton. Anèh tapi malah jadi tambah asyik, ketika dilihat dari sudut sisi pandang disamping atau dari depan dan belakang.
Daya imajinatif siapapun penonton, jelas digerakkan seolah menjadi liar melalui tayangan mencekam yang secara langsung tayang. Bagaimana mungkin gerak ketika Asley maupun Dominic saling-tindih dalam posisi berbagai macam gerak dan langsung tertangkap layar lewat camera. Bisa jadi ketika penonton tarian kontemporer beranggapan kedua penari itu sedang melakukan perbuatan kekerasan; atau malah sebaliknya kenikmatan taksenonoh. Sah-sah saja, toh hal itu justru diberi simpul kebebasan menafsirkan semau gué. Itulah traktat seni tari kontempoler modern komplikatif kenikmatan rasa.
Meskidemikian, bukan tak urung mencampur life perform onfloor dalam tayang filmografis jelas bisa saja berdampak kurang nyaman dan menguntungkan. Pasalnya, lewat tayang langsung ontract terjeda, dan dilakukan editing filmografis bisa jadi perkara di depan pengamat perfilman. Seorang pengamat seni tari tanpa melihat langsung gerak tari onstage, dan hanya mellihat film yang telah diedit, bisa bermacam² menafsirkannya. Jangankan menafsirkan pertunjukan tanpa dibarengi ngelihat screenshot -acap malah menganggu- banyak yang sulit mencerna maksudnya adegan apa tertayang itu. “Justru saya kawatir, audience tidak memahami makna gerak tarian yang dibawakannya,” ujar Sekar, mahasiswi seni pertunjukan di Solo.
Gerak asosiatif kekerasan dalam medium screnshot ketika tayang waktu terjeda , bisa saja bermakna lain dalam penyikapan apresiatif.
No Comment