Barangkali Anda tidak akan pernah lagi melihat gambar majalah pornografi terbitan lokal dan beredar ke berbagai kota pada awal 80-an. Selain kalian tak pernah bergerilya mencari bahan bacaan ke perpustakaan atau membeli majalah yang dijual bebas tanpa ada yang mengganggu gugat. Padahal bila dicermati, tentu bagi Anda yang gemar mencari bahan bacaan syur alias media stensilan di masalalu. Selain tak akan bakalan diperoleh majalah syur yang membikin nafas tersengal-sengal ingin mempraktikkan setelah membacanya. Tidak perlu repot-repot mencari majalah papan atas seperti Playboy, yang dulu dimasalahin saat diperoleh izin edar dari departemen penerangan, jaman orde baru berkuasa, carilah media lokalan. Selain penulisanya berasal, konon kabarnya bermukim di wilayah kabupaten Bogor selatan. Jangan menanyakan pada penjual media di era digital, dapat dipastikan kagak bakalan diperoleh jawaban yang menyenangkan. Salah satu jalan pintas, carilah perpustakaan daerah dan tanyakan pada penjaga perpus, majalah karya Enny Arrow. Dapat dipastikan, penjaga perpus, dengan sendirinya pasti cengar-cengir, mendengar media yang ingin kamu pelajari.
Pertanyaan usil, tentu akan telontar mengapa Anda mencari penulis media syur yang banyak dicari diera 70-80-an itu. Why? Karena memang zaman itu media, taruh kata, dianggap sebagai majalah pornografi karya penulis lokal, bukan luar negeri. Setidaknya, karya bekas wartawan, entah pernah bekerja di sebuah penerbitan koran atau majalah, sang pemilik nama Enny Arrow, tentu bukan nama sebenarnya, saking getolnya menulis novel porno dan laku keras, hingga penerbit langangan percetakan sampai berani menerbitkan lebih dari 15 judul novel. Entah termasuk ke dalam genre novel picisan atau bukan, yang jelas, karya Enny Arrow, dimata calon pembeli novel asyik itu laris manis. Seorang rekan di Semarang, bahkan pernah melakukan pengamatan soal model penerbitan novel esek-esek tersebut sampai banyak yang memburu karya sang bekas jurnalis itu. “Apapun alasannya dan juga profesinya kala itu sebagai wartawan atau bukan, yang jelas novel itu diburu calon pembeli. Tentu novel picisan itu tidak dijual di toko-toko bergengsi, tapi di tempat tersembunyi. Mana mau toko buku menjual, novel seperti itu,” ujar dia ditemui kontributor di Salatiga.
Tidaklah mengherankan bila kala itu, departemen penerangan yang diberi kewenangan mensensor penerbitan novel maupun media massa lain, toh rupanya pengarang novel maupun penulisnya tak mempan terkena sweping pengawai yang diberi kewenangan mengawasi peredaran novel saru itu. Meski demikian, karya novel maupun penerbitan dalam bentuk stensilan -katakanlah dicap sebagai perusak moral bangsa itu, tetap saja banyak dicari dan dibaca khalayak ramai. Agak aneh dan janggal, bila dikaitkan persoalan moralitas dan peredaran novel-novel njijiki itu. Meskipun, bila dicermati dengan sekasama, isinya juga persoalan “pergulatan” diatas ranjang yang diceritakan dengan lumayan lancar.
Bila dicermati selitnas, tanpa harus berkerut dahi menyantap bacaan Enny Arrow, karyanya memang bergenre erotisme. Acapkali kali dalam paparan di novel esek-eseknya itu, dia menggambarkan kisah cinta dengan bumbu-bumbu yang intens dan penuh gairah, dengan latar belakang sosial serta budaya yang beragam. Memang sih, ujar pengamat media dan peneliti IMSS (Institute for Media and Social Studies), Eddy Je Soe, karya-karyanya banyak digandrungi banyak orang karena dianggap sebagai penulis yang kreatif dan produktif serta idealis. “Maksudnya idealis mencari duit dengan meluangkan waktu menulis novel-novel picisan. Tidak masalah juga’kan. Cilakanya, dalam karya novel yang pernah diterbitkan, tak sepotongpun data diri, katakanlah curriculum vitae yang bersangkutan tercantum. Tidak banyak informasi mengenai data dirinya,” katanya.
Bisa jadi, nama Enny Arrow sebenarnya merupakan julukan nama samaran seorang jurnalis lawas yang pernah berjuang pada masa pendudukan Jepang. Menurut salah satu mahasiswa Universitas Brawijaya, seperti dikutib Liputan6, mengakan Enny Arrow juga bisa menulis steno di Yamataka Agency dan direkrut sebagai salah satu propaganis Heiho dan Keibodan. Bila memang dia memakai nama palsu, lantaran dirinya pernah sebagai wartawan republiken yang blusukan dalam pertempuran di seputar Bogor dan Bekasi, bisa masuk akal kalau Enny Arrow merupakan nama samaran. Hingga kini, tak banyak yang mengetahui secara persis, nama penulis novel esek-esek itu hingga sekarang. Apapun yang pernah dilakukannya dengan kesadaran, Enny Arrow bolehjadi merupakan tonggak penulis novel esek-esek yang digemari pembaca entah siapapun orangnya, dapat dipastikan ingin membaca karyanya hingga rampung. Dan mencari novel baru yang ditulisnya dan diterbitkan
Berdasarkan studi pustakan, kontributor wilayah Bogor dan Semarang, menyebutkan Enny Arrow merupakan penulis senior Indonesia yang lahir pada tahun 1924 di Hambalang, Bogor. Sebenarnya, nama asli Enny Arrow yang sebenarnya adalah Enny Sukaesih Proboidagdo, pernah menjadi jurnalis pada pendudukan Jepang. Entah lantaran apa, Enny Arrow mengeluti karya sebagai penulis novel yang mengangkat masalah dunia percintaan dan kisah-kisah romantis, tentu dibalut cerita esek-esek di ranjang sejak tahun 1970-1980-an. Meski dibalut dengan kisah cinta dan intens dengan gairah yang melatarbelakangi sex after lunch, toh dirinya tidak pernah mengaku secara terbuka bila ditanya jurnalis di rumahnya. Anehnya, kala itu, dirinya digandrungi banyak kalangan, lantaran dianggap sebagai penulis kretatif dan produktif mengangkat paha dan beha. Entah lantaran apa, tidak banyak wartawan yang tertarik menelusuri penulis misterius itu, hingga dianggap aneh bila mengaku sebagai kuli tinta dan lendir di atas ranjang di Hambalang, Bogor. Ach biarkan saja
No Comment