Siapa bilang pesta demokrasi yang diadakan di negri ini tak memiliki masalah. Keliru sekali bila kalian mengatakan ajang Pemilu (pemilihan umum), sejak pertama kali diadakan tak meninggalkan bekas kejengkelan antar peserta partai politik dan para pendukungnya. Bila Anda memilik data, Bukan hal lumrah bila proses pencalonan pemimpin nasional (presiden) maupun anggota perwakilan rakyat (DPR) dan anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) yang akan menduduki lembaga di negri ini tanpa sikut-menyikut antar warga pendukung mereka. Tidaklah mengherankan bila para pakar politik, baik dari dalam maupun luar negeri, melakukan analisis beberapa kemungkinan saat perhelatan pemilihan umum di Indonesia diadakan.
Sejak pemilihan umum pertama kali diselenggarakan seusai kemerdekaan, bukan hanya partai politik dan calon anggota dewan perwakilan rakyat yang gaduh memperebutkan posisi agar dipilih rakyat. Meskipun kala itu jumlah partai politik tak sebanyak saat ini, toh gaung yang ditimbulkan lantaran nama-nama Parpol (partai politik) pemantik kegaduhan bikin jengkel rakyat. Alih-alih para pengede partai politik mau mengerti penderitaan rakyat seusai mereka bergerilya melawan penjajah dua negri lain, Belanda dan Jepang.
Inilah awal pemerintahan yang dikehendaki sebagian rakyat setelah diadakan pemilihan umum (Pemilu) pertama usai kemerdekaan bagsa diraih. Perjalanan panjang menuju terbentuknya negara demokratis dengan mengedepankan azas persatuan dan kesatuan bangsa menjadi ciri khas negara republik Indonesia. Setelah pemilihan 37 anggota konstituante dislaksanakan pada 15 Desember 1955, anggota kominte menyepakati perlu diadakan pemilihan umum (Pemilu) memilih wakil di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pusat, maupun wakil-wakil di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), setiap periode berdasar waktu yang ditetapkan.
Banyak hal terjadi dalam masa pergantian Pemilu dari tahun ke tahun. Pada awal pemilihan umum pertamakali diadakan dengan jumlah partai politik lebih dari lima perwakilan, hingga penciutan jumlah partai politik menjadi dua dengan penambahan satu utusan dari golongan karya pada tahun 70-an mewarnai peta politik setelah Orde Lama (Orla) diganti Orde Baru (Orba). Tidak hanya terjadi perubahan konstestasi partai politik di tingkat perwakilan DPR pusat, tetapi juga di tingkat kelembagaan wakil di daerah. Beikut peta politik dengan multi partai peserta Pemilu di daerah, DPRD Kabupaten/Kota dari tahun ke tahun. Untuk gambaran tentang peta politik dalam pemilu, perlu kiranya ditampilkan perolehan jumlah suara di tingkat nasional. Bila kita cermati peta politik rebutan pendukung partai terlihat dengan jelas kontestasi pemilihan dari tahun ke tahun kegaduhan antar pemimpin parpol.
Pemaparan hasil pemiluhan umum yang diterbitkan organ parpol melalui media massa kala itu, dapat diketahui secara jelas perjalanan pesta demokrasi sejak pemilu pertamakali diadakan pada tahun 1955 perolehan suara masing-masing parpol. Tak hanya perubahan peta konstalasi perebutan kekuasaan yang dapat dibaca dan didengar lewat siaran radio tentang perolehan suara parpol maupun anggota memperebutkan suara perorangan, tetapi juga tampak kepentingan politik yang berada dibalik organisasi peserta pemilu dengan wujud partai politik. Memang sangat atraktif dan menarik bila disimak perubahan peta politik dalam pertikaian antarkubu parpol peserta pemilu tahun awal pertamakali diadakan pemilihan umum kala itu.
Perjalanan panjang negri ini menegakkan ajang demokrasi lima tahunan tampaknya perlu dicermati dengan seksama terkait dampak yang akan terjadi selama pemilihan umum. Warga masyarakat tentu merasakan suhu politik meningkat panas jelang pemilu diadakan. Banyak catatan perjalanan buruk jelang demokrasi diadakan di Indonesia dari pelbagai daerah menyambut pesta coblosan. Terlebih ketika pemilu yang menjadi acuan keberhasilan yakni terpilihnya pasangan presiden dan wakil yang diusung parpol tertenu saat perhitungan jumlah suara. Bila pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakil berdasar jumlah perolehanan suara, dapat memantik perseteruan politik hingga pertikaian antar para pendukung, jelas tidak dikehendaki rakyat. Demikian juga pemilihan anggota DPR, DPRD dan DPD yang pernah dilakukan acap menimbulkan sekat, antara golongan satu dengan lainnya di Indonesia.
Pada pemilu pertama dilakukan di Indonesia 29 September 1955 ketika pemerintahan Soekarno menjabat sebagai presiden, memilih anggota DPR dan Konstituante. Sebanyak 260 kursi diperebutkan untuk mengisi kursi sebagai anggota DPR, dan 520 anggota Konstituante. Selain itu, entah atas usulan anggota konstituante yang telah ditetapkan, mereka meminta presiden, agar 14 wakil golongan minoritas diangkat dan ditetapkan oleh pemerintah. Bila kita merunut jumlah perolehan suara anggota DPRDS (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Surakarta) sebagai derivat dalam sistem pemerintahan yang mewakili rakyat di daerah tingkat I dan tingkat II provinsi, dan dipilih setiap 5 tahun sekali, menarik dicermati lantaran diikuti oleh 23 partai politik peserta pemilu.
Bila dilihat dari perolehan hasil pemilu, dapatlah dimengerti bahwa struktur organisasi kelembagaan partai politik di era pemilu 1955, tampak jelas bahwa perolehan suara orang-perorangan, bukan menjadi dasar pijak wakil rakyat yang ingin maju menjadi anggota DPRDS Kota Surakarta. Penunjukan seseorang menjadi anggota dewan perwakilan rakyat (DPRDS) di dareah menurut Salamoen, yang menjadi Walikota Surakarta, merupakan pengabdian warga masyarakat pada bangsa dan negara. Lebih lanjut Salamoen menegaskan bahwa Kota Besar Surakarta telah memiliki stensel pemerintahan yang memungkinkan daerah menjadi suatu daerah otonom. (tim indepth/eddy je soe/solo-jakarta)
No Comment