Bagi generasi yang lahir di tahun 1970-an dapat dipastikan tidak akan mengenal istilah yang dulu pernah akrab di telinga banyak orang di Solo, banjir darah Kali Bacem. Mungkin juga tak tahu cerita lisan yang dituturkan nenek-moyang mereka soal gegeran paten-patenan di Solo pada tahun 1965. Masih beruntung ada lembaga yang concern terhadap orang-orang yang dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan luput dari ajal. Meski diantara mereka tidak dibunuh, tetapi mengalami disiksa di dalam penjara tanpa diadili keselahannya.
Cerita pilu orang-orang yang pernah mengalami siksaan di tempat tahanan di Kota Solo dan di beberapa tempat tahanan di luar kota Bengawan, tidak bisa dikatakan wajar lantaran menjadi pengikut partai terlarang waktu itu. Dalam laporan sejarah lisan yang dilansir Joon Rose, ‘Tahun yang Tak Pernah Berakhir’ diterbitkan terbatas oleh Elsam, tahun 1980, menyebutkan Kota Solo merupakan tempat terbanyak jumlah orang yang mengalami penyiksaan dan ekekusi terbanyak se Jawa Tengah.
Berdasar testemoni para korban salah tangkap, yang masih bertahan hidup dalam penjara, Tim indepth report melakukan penelusuran ke berbagai tempat tahanan dan kuburan orang-orang yang dituduh anggota PKI. Peristiwa mencekam itu hampir setiap hari dialami Martono YS, 78 tahun, Mantan tapol (narapidana politik), sewaktu ditahan di Balai Kota 3 bulan lamanya, ketika di temui di kantor Yaphi, beberapa lalu sebelum meninggal tahun lalu. “Saya langsung diseret oleh RPKAD dibawa ke Balai Kota tiga bulan lamanya. Tidak ditanya apapun kesalahan saya, tapi terus setiap hari disiksa. Kemudian setelah di Balaikota, 1.5 tahun kemudian dipindahkan ke Korem, dilanjutkan ke Sasono Mulyo,” katanya menerawang.
Menurut pengalaman dia sewaktu di tahan di Balaikota, bila sudah ada panggilan pemindahan ke Sasono Mulo di dalam komplek keraton, harapan hidup tipis. Apalagi kalau sudah dikirim dari Korem ke Datasemen, kemungkinan mati lebih banyak. “Itu yang saya ingat waktu itu,” ujar dia. Barangkali atas kehendak Tuhan, dirinya tidak mengetahui terjadi apa yang sesungguhnya terjadi. Berada diantara kelompok tahanan yang dibawa dari Korem kemudian dilanjut ke Denpom Martono juga disiksa. Di markas Denpom itulah, setahu dirinya dari nguping dengar, ternyata dibentuk tim Opsus (operasi khusus).
“Saya tidak ingat namanya. Tapi pangkatnya mayor. Saya ditanya siapa saja nama dan alamat orang-orang ini. Saya tidak tahu. Targetnya apa saya juga tidak tahu. Tapi tugasnya Opsus itu membantai dan mengeksekusi tahanan baru. Orang yang habis dari rumah tahanan Sasono Mulyo, sebagian besar mati,” tutur dia.
Meskipun Martono tidak termasuk dalam daftar ‘panggil’ untuk dieksekusi, dirinya mengaku disiksa habis-habisan. Bukan hanya dipukuli dan ditendang, tetapi ia juga distrum dengan teganggan tinggi. Banyak orang dalam tahanan di Sasono Mulyo juga tidak tahan dialiri strum, tapi, waktu itu saya masih berusaha menahan aliran listrik.
“Bukannya saya kebal. Tapi memang saya menahan sekuat mungkin. Kali ini kamu bebas. Tapi ada kewajibannya membuang ‘bandeng’ (istilah mayat tahanan mulai membusuk). Terpaksa saya seret, karena tubuh mereka’kan ada yang besar. Saya tidak kuat. Hari pertama, kedua dan ketiga, terus saya lakukan dengan pengawasan. Tapi kalau malam minggu dan minggu, bisa ada 25 mayat yang harus dibawa ke luar dari tahanan,” katanya mengenang, “Itu tugas harian dan kewajiban saya, sehingga tidak termasuk daftar yang akan dibunuh. Tapi surat tugas dan perjanjian itu tidak ada.”
Saman Poerba
Perawakannya kecil, bahkan bisa dikatakan kurus, selintas terlihat tak berdaya. Tetapi jangan tanya bila Anda ingin memperbincangkan pengalamannya tentang sepakterjang tentara orde baru ketika menangkapi para korban yang dituduh terlibat G30S PKI (Partai Komunis Indonesia) di Sragen, mantan tahanan politik itu akan bertutur dengan jernih dan runtut. Saman Poerba, 67 tahun, bapak tiga putra, mengaku tidak paham betul apa yang dituduhkan kepadanya sehingga ia diciduk tentara dari Korem (komando rayon militer) Sragen dan diinapkan di kantor tentara selama tiga bulan. Meski ia mengaku tidak pernah disiksa, saat berada di sel tahanan tentara, tetapi acap kali juga dijotosi tanpa sebab.
Apalagi, papar Poerba, kalau pekerjaan bersih-bersih kantor dan babat rumput dianggap tidak memenuhi kemauan pengawas, spatu lars sering mampir di tubuhnya. “Ujug-ujugdigajul dari belakang, saat babat rumput. Paling banter ditempeleng. Kalau disiksa sampai babak-belur, belum pernah saya alami,” ujarnya ditemui di rumahnya, Pakis, Sragen, Rabu (25/1/2017). Selama menjadi tahanan politik, Poerba sering pula diminta mengambar penjaga sel dan komandan jaga. Barangkali lantaran tubuhnya yang ringkih, ia lebih cekatan menorehkan water-peref —pewarna air— dibanding tahanan lain. Lagi pula, Poerba memang guru mengambar di SD.
Suatu ketika, kenang Perbo menuturkan pengalamannya, dirinya diminta mengambar wajah penjaga sel yang ditungguin tentara berpangkat Kopral. Nampaknya, wajah yang digambar sang kopral itu persis, menarik perhatian atasannya berpangkat Letnan. Gara-gara Poerba ogah-ogahan menggambar wajah sang kapten, ia menjadi sasaran empuk akan diselesaikan dalam waktu dekat. Benar saja, bukannya gambar wajah sang kapten dilukisnya, tapi Poerba malah dikirim ke Nusakambangan.
“Saya diharuskan mengambar duluan komandan jaga berpangkat kapten. Kerna gambar penjaga berpangkat kopral itu lebih dulu dan hampir selesai, jadi tetap ngambar wajah penjaga berpangkat kopral duluan. Saya enggak mau diselani. Karena sebab itu, saya jadi dibenci penjaga berpangkat kapten itu,” katanya, ‘Bulan depan kamu saya kirim,’ katanya menirukan acaman sang kapten.
Sebelum berpindah tempat tidur di alas Nusakambangan, Poerba menjadi salah satu tapol yang dipaksa kerjabakti babat-alas membuat jalan raya menuju Purwodadi. Kalau tidak salah terka, ujar dia mengingat-ingat, jalan yang dibangun bersama 40 tahanan asal Sragen dan Solo itu sekitar Gundhi ke arah barat. “Sejak saat itu, saya tidak mau lagi menggambar. Sudah cukup. Sampai disitu saja kegiatan menggambar. Gambaran suram jelas terlihat ketika saya dengar, setelah selesai kerjabakti, akan dikirim. Entah di kirim kemana? Dalam benak saya terpikir, dimatiin,” ujar dia menerawang.
Benar saja, setelah program kerjabakti babat-alas membuat jalan rampung, Poerba diangkut menuju Cilacap naik truk tentara bersama pekerja lainnya. Perjalananan ke Cilacap dengan truk, selama 5 hari, hujan dan panas di atas truk tentara berpenutup terpal. Bisa dibayangkan, katanya, lima hari makan nasi bungkus dan mandi kalau ada sungai di tepi jalan. “Baunya seperti apa satu truck tentara yang diangkut ke Nusakambangan.”
Bukan hanya disuruh kerjabakti membuat jalan, sebelum diangkut ke Nusakambangan, Poerba juga diikutsertakan dalam barisan tapol penggali waduk Sukodono, selama berbulan-bulan. Poerba tidak mengerti alasan kenapa dia menjadi tapol dan dipaksa kerjabakti bangun jalan dan ngeduki waduk. “Sungguh saya tidak tahu alasan kenapa saya diciduk. Katanya saya ikut dalam anggota Sobsi (solideritas organisasi buruh seluruh indonesia) yang menginduk ke kelompok kiri. Saya’kan kerjanya ngajar jadi guru sekolah dasar. Mereka memang gawur tenan.”
Pengalaman pahit juga pernah dialami (alm) Djasmono, sebelum meninggal tahun lalu. Djasmono menceritakan penderitaannya di rumahnya di atas tanggul, daerah sekitar Jagalan-Gandekan berdekatan dengan kuburan. Sewaktu diciduk, ujar dia saat itu, ia dituduh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dari rumahnya oleh serombongan tantara berbaju seragam dengan membawa senjata laras Panjang. Setelah ditahan berpindah-pindah dari penangkapan di rutan samping dalem keraton, kemudian diangkut ke pulau Nusa kambangan dan terakhir dibawa ke Pulau Buru. Rasanya bumi tempat saya berpijak berputar saat digelandang serombongan tentara usai pulang mengajar di sebuah sekolah dasar di Tuban. Siang itu saya diciduk oleh rombongan tentara dan dibawa ke kantor CPM (Corp Polisi Milter). Setibanya di kantor CPM saya diinterogasi ala militer soal keterlibatan saya menjadi anggota PKI (Partai Komunis Indonesia). Berkali-kali saya katakana pada mereka “Saya tidak terlibat menjadi anggota PKI.” Mereka tidak percaya.
Mereka mengatakan bahwa nama saya terdaftar menjadi anggota CGRI (Central Guru Republik Indonesia). Menurut mereka organisasi ini underbow PKI. Saya tidak dapat menyangkal hal itu. Memang hampir seluruh guru yang mengajar di Tuban menjadi anggota SGRI. Pertanyaan yang membosankan setiap hari harus saya jawab dengan jelas. Ada saja yang ditanyakan. Riwayat keluarga, nama ibu-bapak, nama kakek-nenek, pekerjaannya, jumlah saudara pekerjaannya apa dan masih banyak lagi yang tidak saya ingat. Setiap kali saya ditanya, pertanyaan itu-itu terus yang harus saya jawab. Kalau tidak menjawab dengan jawaban yang sama seperti kemarin, dimaki-maki. ”Mereka tidak segan-segan mengebrak meja dan menempeleng kepala,” ujar Djaswanto dengan mata berkaca-kaca.
Pengalaman pahit Djasmono diinterogasi satuan tentara tidak hanya disatu tempat. Berkali-kali ia dibon –istilah tahanan yang dipinjam– dari kurungan ruang tahanan tentara ke tempat lain membuatnya trauma. Seharian diintrogasi di sel ruangan Kodim, kemudian dibawa ke kantor CPM terus dipindahkan ke SKI (Satuan Koordinasi Inteljen) hal biasa dialaminya. Perjalanan bolak-balik menjalani introgasi dari sel tahanan tentara ke ruang tahanan lainnya membuat Djaswanto depresi. Setiap kali saya dibon, tutur Djaswanto, dan dibawa dengan truk tentara, jantung saya berdegub kencang. ”Mau diapakan lagi saya.” Benar saja, setelah wira-wiri diinterogasi di Tuban, pada April 1968, bersamaan dengan meninggalnya Soekarno, saya dibawa ke Gresik.
Dari sel tahanan tentara selama empat bulan di Gresik, tutur Djasmono yang ditemui dikediamannya, ia kemudian dipindahkan ke Pulau Nusakambangan bersama 820 tahanan politik lain se Jawa Timur. Dengan menumpang kereta api, bersama rombongan tahanan politik lainnya, Djaswanto bapak dua anak, mereka tidak memperoleh makanan apapun. ”Kami hanya diberi minuman dalam plastik air. Saya tidak tahu itu air mentah atau mateng.”
Djasmono bersama 20 rekan tahanan lain ditempatkan diujung paling timur pulau Nusakambangan. Bersama keduapuluh sesama tapol lain, ia menghabiskan waktunya sehari-hari dengan menanam singkong dan memancing ikan. ”Selain membunuh rasa jenuh dan frustasi, kegiatan nanam singkong, bayam dan memancing, ternyata cukup efektif menelan waktu,” tuturnya sembari menambahkan, ”Tentu semua kegiatan di Nusakambangan itu dijaga ketat tentara dengan senjata laras panjang.”
Tak terasa waktu dua tahun berdiam di Nusakambangan bergulir dengan cepat. Perjalanan panjang Djasmono tidak hanya berhenti di kepulauan sebelah selatan Pulau Jawa itu. Pada tahun 1970, Djasmono dipindahkan ke ujung pulau lain: Buru. Mendengar namanya pun Djasmono belum pernah. ”Dimanakah gerangan letak Pulau Buru,” ujarnya. Ia tidak menyangka kalau Pulau Buru terletak di belahan wilayah Indonesia bagian timur.
Menggunakan kapal pengangkut sapi Tokala, Djasmono beserta ribuah tahanan lain yang selama ini menghuni Nusakambangan diberangkatkan ke Pulau Buru. Perjalanan dari Nusakambangan ke Pulau Buru ditempuh melalui jalur laut ganas, Samudera Indonesia. Gelombang setinggi 3-4 meter acap menerjang lambung kapal yang berjalan dengan gontai. Menurut pengamatan Djasmono, banyak tahanan tidak tahan dengan gempuran obak. Tak pelak, hampir separuh tahanan yang diangkut menggunakan kapal mabuk dan jatuh sakit. Bukannya obat yang diberi, tapi caci-maki dan disuruh bekerja membersihkan geladak kapal.
Saya sendiri, ujar Djasmono, terserang penyakit desentri. Mabuk dan berak darah selama perjalanan dari Nusakambangan ke Buru. ”Saya masih ingat sewaktu buang air besar di kamar mandi, saya lihat teman saya ngletak dan diseret ke ruang perawatan, tapi tidak kembali. Saya pun berjalan merangkak, dari kamar mandi ke geladak,” ujarnya sembari menghapus matanya yang sembab.
Dipaksa Bangun Bendungan
Sesampainya di Pulau Buru, Djasmono, dan rombongan tahanan politik lain ditempatkan di barak berbeda. Djasmono ditempatkan di barak unit VII di dekat sungai seratus meter pinggiran hutan. Bahkan ia dipercaya menjadi kepala barak unit VII. Kehidupan di Pulau Buru pun ternyata tidak jauh berbeda dibanding di tahanan yang pernah ia jalananinya. Setiap Kamis, Djasmono mendapat giliran mengakut jagung dari kapal ke darat. ”Semua mendapat jatah gilir mengangkut gabah dan jagung yang beratnya satu karung 1 kwintal dari kapal ke dalam truk yang telah disediakan,” katanya.
Karena jatah makan yang diberikan pada tahanan tidak terlalu banyak, Djasmono beserta teman-teman lain sering ’menggansir’ tumpukan logistik di gudang dan dibagikan ke unit-unit lain. ”Kami di unit VII hanya dijatah makan 200 gram beras campur jagung dalam sehari dua kali,” ujarnya. Melakukan pekerjaan ’nggansir’ bukan membawa resiko. Apalagi, penjagaan di tempat penyimpanan logistik sangat ketat. Pernah suatu hari, tutur Djasmono, seorang tahanan sedang ’menggansir’ ketahuan. ”Saya lupa namanya, yang pasti orang itu disiksa dan dipopor dengan laras senjata AK hingga babak belur. Terus tidak ada kabarnya lagi. Barangkali setelah disiksa, orang itu mati ditembak. Karena saya dengar letusan senjata,” papar Djasmono menerawang.
Pelajaran pahit itulah yang membuat komandan Unit VII, Letnan Dua CPM Asep Sumanang, semakin hati-hati bila memerintahkan tahanan menurunkan logistik dari kapal. Entah karena perintah dari atasan atau atas inisiatif sendiri, Asep Sumanang, menyuruh tahanan yang tinggal di unit-unit membuat bendungan. ”Gila bener orang ini,” pikir Djasmono. ”Bagaimana mungkin bisa membendung sungai tanpa peralatan.”
Benar saja, seluruh tahanan bahu membahu membuat bendungan. Dengan ketinggian tujuh meter dari dasar sungai dan lebar 22 meter, bendungan dirancang dengan melibatkan seluruh tahanan di Pulau Buru. Mereka mendapat jatah gilir. Ada yang mencangkul, menebang pohon kayu putih, mencari rotan dan menumpuk batu, seluruhnya dikerjakan tanpa menggunakan peralatan canggih. ”Untungnya masih ada gergaji mesin. Kalau tidak mungkin bisa bertahun-tahun jadinya,” ujar Djasmono.
Bendungan itu akhirnya jadi setelah tiga setengah bulan dikerjakan beramai-ramai oleh tahanan yang bermukim di Pulau Buru. Celakanya, papar Djasmono, pada waktu pertama kali hujan lebat, bendungan yang baru saja jadi tidak kuat menahan luapan air. Alhasil disisi sebelah timur, ambrol. Seluruh tahanan, papar Djasmono, dibuat kalang-kabut. Ada yang ditendangin, karena dianggap tidak becus membendung. Ada yang ditempeleng, karena dilihat penjaga barak, klelat-klelet. ”Pokoknya semua serba salah. Semua disalahkan. Wong pada dasarnya mereka mencari-cari kesalahan,” katanya.
Sewaktu dikumpulkan di lapangan, keesokan harinya, tak ayal Djasmono merasa ketar-ketir juga, karena bendungan itu akan diresmikan Pangkobkamtib dalam waktu dekat. Setelah apel upacara, seluruh tahanan diperintahkan memperbaiki bendungan yang jebol dalam waktu dua minggu. ”Gila bener. Jadi sudah jadi kebiasaan rezim tentara Orba. Memperlakukan manusia tidak manusiawi. Soeharto pun seperti itu. Perilakunya bengis. Bahkan, bisa saya katakan, perilaku Soeharto berada di bawah kelakuan binatang. Jadi, apa tindakan seperti itu dianggap pahlawan.” (Tim Indepth Report / Eddy J Soetopo)
No Comment