Peristiwa pembantaian massal dan penahanan orang-orang yang diduga terlibat menjadi anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) bukan saja menimpa kalangan rakjat jelata, tetapi juga menyasar kaum intelektual pekerja pers alias wartawan. Apalagi media dianggap dan dicap berhaluan kiri, seperti Harian Rakyat di Jakarta. Martin Aleida, dilahirkan di Tanjung Balai, Sumatera Utara, bekerja sebagai wartawan Harian Rakjat, sejak 1963, ia ditahan dalam Operasi Kalong pada tahun 1965.
Dalam kesaksian di persidangan Tribunal di Niewe Kersk, Den Haag, pada 11 November 2015 lalu, Martin mengaku ditangkap oleh angkatan darat yang dipimpin kapten resimen Para Komando Angkatan Darat, Soeroso. Tidak hanya dirinya yang ditahan di rumah tahanan di Jalan Budi Kemuliaan, Komando Distrik Militer (Kodim) 0501 Jakarta Pusat, tetapi teman-teman jurnalis lain juga diciduk dan ditempatkan tersebar.

“Saya dan teman saya ditempatkan di kam konsentrasi Kodim di seberang jalan Budi Kemuliaan. Di sebuah gedung tua, sekolah yang tidak dipakai. Sedikitnya ada sekitar 300 orang tahanan, campuran. Berbagai profesi di situ,” katanya seperti dikutip CNN Indonesia tahun lalu.
Menurut Martin, teman-teman seperjuangannya percaya kalau ketua dua PKI, kala itu dijabat Nyoto, dibunuh akhir November. Sedang istrinya, Sutarni dan lima anaknya, yang tertua saat itu berumur 9 tahun, disekap bareng di dapur Kodim. Selain menjalani penahanan, kata Martin mengingat masa lalunya yang kelam, mereka juga mengalami penyiksaan mengerikan. “Saya mendengar lengkingan suara kesakitan perempuan-perempuan itu. Bahkan kekasih saya yang sekarang menjadi istri,” ujar dia sembari menerawang.
Sembari terisak, lanjut Martin Aleida melanjutkan kesaksiannya, bukan saja dirinya yang ditangkap aparat keamanan militer, tetapi juga pemimpin redaksi Harian Rakjat, Mula Naibaho juga mengalami hal yang sama di tahan di kamp bersama dirinya. “Sebenarnya sayalah yang bertanggungjawab,” kata sohibnya Mula Naibaho pada Martin sembari membuka bajunya memperlihatkan darah di bekas luka sabetan ekor ikan pari. “Mestinya kamu tidak mengalami.”

Derita yang dialami pemimpin redaksi Harian Rakjat, Mula Naibaho, tidak hanya disabet ekor ikan pari runcing, tetapi juga disuruh berjongkok dan distrum. “Setelah distrum dan dipukuli dengan ekor ikan pari, dia diangkat dan dimasukkan ke dalam bak mandi. Setelah itu dikeluarkan, dan dia diminta makan satu piring sambal.” Lebih lanjut Martin memaparkan kejadian waktu itu, katanya pada hakim dalam persidangan di Den Haag, bukan hanya dirinya yang menjadi wartawan dan ditahan dalam operasi Kalong. Setidaknya, ujar Nurlan nama asli Martin Aleida, wartawan yang pernah dijebloskan dalam camp penjara tanpa mengetahui kesalahannya antra lain T Iskandar AS, Putu Oka Sukanta, dan Marah Djibal.

“Saya ditangkap dan ditahan bersama Putu Oka Sukanta, dia masih hidup, entah sekarang berapa umurnya. Kemudian ada T Iskandar AS, dia wartawan Bintang Timur, kemudian Zaini, adik pelukis Marah Djibal juga mengalami nasib sama, disiksa,” ujarnya menerawang. Penyiksaan yang dialami tidak semuanya berprofesi wartawa, menurut Martin, dilakukan pihak Angkatan Darat dalam Operasi Kalong, hampir setiap hari dilakukan. Tentara itu, ujar Martin Alaide, mencari orang yang tidak tahan disiksa. Saya juga tidak tahu penyebabnya mengapa ditahan. “Saya langsung dibawa tentara saat ada Operasi Kalong. Begitulah kekuasaan pemerintahan saat itu,” katanya.
Kesaksian para mantan Tapol (Tahanan Politik) bukan hanya dialami wartawan yang pernah dijebloskan dalam penjara tanpa proses peradilan dan kesalahan yang didakwakan pada dirinya, tetapi juga rakyat jelata lainnya. Penelusuran tim indetph reporting ke beberapa lembaga yang membela kepentingan mantan tapol, memperkirakan ratusan ribu jumlah orang pernah mengalami siksaan ketika dipenjara. Memang sangat menyakitkan kejadian menyayat yang mereka alami. Rasanya tidaklah berlebihan bila pembuat scenario film korban kekejaman dan keganasan ulah petinggi tentara kala itu, dilarang mengungkit-ungkit kembali persoalan korban.

Menurut Martin, Harian Rakjat selalu dipersepsikan sebagai organ media resmi PKI. Sewaktu dibebaskan, dirinya diminta mengisi formulir yang menyebutkan pekerjaan. “Saya mengisi satu kolom yang menyebut saya adalah wartawan yang meliput kota praja Jakarta. Sebenarnya saya ingin menyebutkan pekerjaan meliput kegiatan Presiden Soekarno,” ujar Martin tersedat saat diwawancarai. Sama juga bekas tahanan lain, Martin juga diminta melapor setiap minggu ke markas Kodam Jaya seminggu sekali. Persoalan wajib lapor, menurutnya, bukan menjuadi masalah baginya, apalagi setelah ia bekerja menjadi wartawan Tempo, yang menjadikan dirinya jengkel yakni diminta menjadi informan.
“Saya kira tekanan-tekanan psikologis untuk membuat seseorang manusia menjadi pengkhianat. Inilah yang harus saya hadapi,” katanya, “setelah ditahan saya diangkat sebagai semacam lurah, di kamp konsentrasi yang dijaga angkatan darat dan pasukan sipil di berbagai tempat.
No Comment