Tak hanya menderita dalam pengasingan ketika dipenjara di pulau Nusakambangan, Daryono, usia sepuhnya kini tak lagi muda, 80-an itu tetap ingat pengalaman masalalunya. Ia dituduh sebagai aktivis Gerakan 30 September (Gestok) Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun silam. Meski menjalani pahit getir seperti teman-teman sesama tawanan politik (Tapol), Daryono, tak merasa gentar sedikitpun ketika ia dinyatakan bebas bersyarat dan diperbolehkan menghirup udara segar.
Sebagai bekas tapol dia awalnya agak canggung bergaul dengan tetangga desanya. Maklum tak semua warga masyarakat di desa Degaran Rt 1 Rw 7 Karangdowo, Klaten bisa menerima bekas tahanan. Apalagi tahanan politik Gestapu PKI. Untungnya keluarga yang ditinggalkannya sewaktu menjadi tahanan, tetap memberikan semangat agar dirinya berkarya sebisa dan sekuat tenaganya. “Memang agak susah menjadi bekas tahanan ketika telah bebas dari penjara. Bukan hanya penduduk desa yang ogah berurusan dengannya, tetapi juga banyak yang menghindari. Maklaum mereka ketakutan bergaul dengan bekas tahanan politik yang dicap sebagai anggota PKI,” ujar dia diantor Yaphi, beberapa tahun lalu. Meski demikian ia tidak juga gentar
Hal yang paling menarik, tutur Daryono menerawang sembari bercerita, ketika ia berusaha menyambung hidup berwiraswasta dengan gigih. Tidak hanya berjualan di pasar, ndeprok beralas palstik di tanah becek, ia menggelar dagangan sayur-mayur hasil berkebung di kediamannya, tetapi juga berjualan nasi bungkus pernah ia lakoni, setelah keluar dari tahanan. “Semua telah saya lakoni. Dari berjualan sayuran sampai jual nasi bungkus dan lauk-pauk di pasar Karangdowo, saya jalani dengan penuh iklas,” katanya menerawang, “awalnya memang terasa jengkel dan capai.”
Bukan perkara capai tidak laku dagangannya, ujar dia menambahkan, tetapi cibiran para pembeli yang sering menyakitkan. Bayangkan, saat dagangan akan menanjak laku, banyak orang berusaha menjegal agar barang yang dijualnya tidak laku. “Bagaimana tidak sakit hati kalau ngepasi barang dagangan saya laku keras, banyak orang yang mengatakan, ndak usah beli di situ, pedagangnya bekas PKI,” ujar dia sembari menerawang. Hal seperti itulah, tutur bapak empat anak itu menambahkan, lama-lama membuat seseorang frustasi. Apalagi bila yang dikatain seperti itu tidak kuat mentalnya. Untungnya, keluarga dan beberapa familinya memberi suport mental, agar dirinya tabah dan tetap berusaha mendiri semampunya.
Dalam hati, katanya menambahkan, lebih baik bertani di kebun atau beternak sehingga tak lagi berurusan dengan orang lain di sekitarnya. Tekad itulah yang memberikan kekuatan dirinya memutuskan berusaha tanpa melibatkan banyak orang lain dalam hal jual beli barang dagangannya. “Sejak itu saya nekat berternak hewan. Mula-mula ternak ayam. Kemudian meningkat jadi jualan bebek hidup, selain bisa angon juga telurnya dapat dijual ke pedagang tanpa tawar menawar seperti saat ndeprok di pasar. Tapi juga tidak lama saya tekuni,” katanya, “setelah itu beternak babi. lumayan besar hasilnya. tetapi tetap saja ada yang mencibir bekas tahanan PKI itu sekarang jadi juragan babi. Apa tidak sakit dan bikin kenthir. Tapi biarin saja, Gustiallah mboten sare.” Kepercayaan pada sang pemberi kehidupan itulah yang menjadikan diri dan keluarganya tetap tabah menjalani garis kehidupan. “Kalau jalan hidup itu harus dijalani dengan pasrah pada yang maha kuasa, semuanya akan ada maknanya hidup dengan tenang.” (tim indepth/eddy j soe)
No Comment