Seusai jingkrak-jingkrak bermandi keringat, tak lama berselang seorang remaja berpenampilan eksentrik bergaya punk mengelepar di lantai sebuah pusat mainan anak di Solo Grand Mall. Teman lain yang sedang bercengkerama bukannya membantu meno
longnya, justru ketawa ngakak. Segerombolan anak baru gede —sebutan ABG— malah tertawa terbahak-bahak melihat temannya tumbang di samping mesin pintar nyanyi. Kesurupankah?
Jangan salah sangka, mereka bukan kesambet –istilah Betawi kesurupan– cuma kelelahan. Kekawatiran kesambet bisa dimaklumi, lantaran banyak pelajar kesambet lagi ngetrend di beberapa sekolah di kota-kota besar. Fenomena kesurupan pelajar SMA, tentu berbeda dengan ABG yang ngegelesot di lantai discotik terbuka, push it up
Bila anak sekolah yang sedang kesurupan lantaran stress menanti hasil kelulusan, lain halnya ABG yang tumbang di depan mesin pintar menyanyi buatan Jepang itu. Mereka justru jingkrak-jingkrak menikmati permainan adu cepat langkah-kaki dengan temannya layaknya kesurupan roh halus.
“Bukan hanya sekali ini anak yang main di depan pum-up machine terjerembab kelelahan. Tapi malah diketawain teman-temannya yang menunggu giliran main,” ujar Tifany, (19), salah satu teman remaja berseragam sekolah itu.
Jangan heran bila Anda memergoki sekelompok ABG setelah kesetanan, kemudian sempoyongan dan jatuh menggelepar sendiri lantaran kelelahan. Pasalnya irama jenis musik mesin diskotik terbuka – pump-up – dapat distel sesuka hati pengguna. Mau musik disco dengan ritme cepat bisa; mau memutar jenis musik lain pun tak menolak.
”Semua bisa diatur sesuai dengan orang yang akan turun ke arena lantai disctika,” kata Iqbal remaja 23 tahun bertindik anting di lidahnya. Buat anak yang baru mencoba disticka –istilah popular diskotik terbuka dikalangan ABG– baru 2 menit dapat dipastikan memasukkan koin baru. “Tapi kalau yang sudah tahunan blingsatan di lantai disctika bisa lebih dari 15 menitan.”
Itulah sebabnya ABG yang sering kesurupan” di lantai disctika di mall-mall tidak banyak mengeluarkan coin memperpanjang waktu buat berdiscoria. Wal hasil pusat permainan anak-anak di mall saat ini bukan lagi ditandangi anak yang baru duduk di bangku SD atau balita bermain mobil-mobilan, tapi lebih banyak disatroni segerombolan ABG.
Maklum saja pusat permainan seperti Time Zone, selain menyediakan mainan bagi anak SD atau balita juga menyediakan area bermain buat ABG yang lagi getol-getolnya menguras kocek orang-tuanya, seperti pump-up machine atau sering disingkat pump-mach itu.
Merangseknya pump-up membuat banyak ABG kecanduan berjingkrak-jingkrak layaknya orang kesurupan, sebenarnya bukan hal baru. Pump-up machine melabrak mall sejak tahun 2000-an ke hampir seluruh mall di pelosok kota besar di Indonesia.
Perkembangan mesin diskotik terbuka, bukan hanya marak di ibukota propinsi, tetapi telah pula bercokol di kabupaten. Lihat saja, di mall-mall Kediri dan Klaten misalnya, selain menyediakan pelbagai permainan anak, juga bertengger mesin penguras uang jajan anak baru bongsor menghabiskan duit dari orang tuanya. “Bisa di dapat puluhan juta per bulan dari hasil permainan diskotik terbuka,” ujar Murwanto, salah satu pegawai di pusat perbelanjaan Sri Ratu, Kediri.
Jangan heran bila pengunjung berdesak-desakan memadati area tempat ajojing terbuka asal negeri Samorai yang didatangkan pebisnis mainan anak. Mereka rela berjam-jam ngantri nunggu giliran ngedisco. Jangan dibayangkan panggung yang dimaksudkan berpenerang lampu discotik menyoroti seluruh ruangan dipenuhi udara pengab asap rokok.
Panggung yang satu ini justru sebaliknya, berukuran 3 x 5 meter. Selain itu panggung disctika pump-mach juga tidak memerlukan lampu sorot bervoltase besar dan saund system berdentam-dentam memekakkan telinga.
Pengunjung pun bisa memilih lagu favorit kesukaannya. Meski seluruh judul lagu yang ditawarkan, melalui program computer, semuanya berbahasa Jepang, toh pengunjung tak mempedulikan hal itu. ”Judul lagu dan bahasa yang digunakan tidak penting. Pokoknya enjoy aja, sampai ’tenggen’ –bahasa pengguna sakow alias pemakai obat terlarang,” ujar Iqbal ketika ditemui di Solo Grand Mall, Kamis [6/7/2017].
Meski Iqbal sering bertandang menjelajah hampir seluruh disctika se-Jawa, ia tak pernah kapok uangnya diporotin mesin perampok fulus pemberian orang tuanya. Padahal, papar Iqbal, untuk dapat berdiri di hadapan mesin-nyanyi –istilah ABG lain menyebut disctika– ia rela merogoh kantong Rp.20-30 ribuan.
”Sekali main saya bisa menghabiskan coin senilai Rp.15000. Padahal biar keluar keringat sampai tengen, perlu dua kali manggung. Lumayan sih sejak tahun 2001-an saya sudah ketagihan. Kalau dihitung-hitung pengeluaran bisa sampai jutaan,” papar Iqbal lulusan SMA tahun lalu.
Mesin pintar yang dapat bersuara pelbagai jenis lagu dari tahun ke tahun tak ada perubahan, menurut Iqbal justru memberi keuntungan bagi dirinya. Sebab, papar dia lebih lanjut, hampir lebih separuh judul lagu berbahasa Jepang yang diputar di mesin pendendang di mall Solo, Semarang dan Jogyakarta, dia hafal semuanya.
Tak mengherankan bila ia pun pernah menyabet gelar juara ke-II kompetisi jingkrak-jingkrak gaya ABG se-Jawa Tengah. ”Hadiahnya lumayan dapat uang besar dan piala,” katanya seraya mengusap keringat. ”Kalau dihitung dengan uang yang telah dikeluarkan, enggak memadahi. Tapi senang diakui jadi juara.”
Lain pengalaman Iqbal lain pula cerita Novi, 14, pelajar sebuah Sekolah Menengah Pertama di Kediri. Menurutnya disctika membuatnya kecanduan berajojing ditempat terbuka. Meskipun pump-up disctika membuat Novi kecanduan, kata pelajar SMP kelas 2 berjilbab itu, tetapi ia tidak merasa terganggu pelajarannya.
”Kalau hanya seminggu sekali ’kan tidak apa-apa toh. Enggak ada ngaruhnya dengan pelajaran koq. Belajar-belajar; disco-disco. Apa susahnya. Salahnya, kalau keserimpet antara kaki satu dengan kaki yang lain. Dulu temanku baru belajar pernah terjatuh, kakinya keserimpet. Guabruk, terus diketawain temannya. Malu-maluin aja. Enggak apa-apa’kan?” tanya dia berdiplomasi. Enggak juga sih, asal tidak keserimpet kasus korupsi, kalau udah besar nanti. (eddy j soetopo)
No Comment