Tak bisa dipungkiri asal mula Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) berawal dari pendirian PDI pada 10 Januari 1973 di Lenteng Agung, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Kisah perjuangan banteng merajut kemerdekaan sebagai partai politik (Parpol) tak semudah membalik tangan. Apalagi di era 70-an pelbagai partai politik tumbuh di Indonesia visi dan misi masing-masing partai berbeda.
Perjalanan panjang meniti sebagai partai politik berhaluan nasionalis di masa rezim Orde Baru (Orba), kala itu menjadi incaran pelenyapan dan ditumbangkan penguasa saat itu. Bisa dimengerti, sebagai penguasa tunggal partai politik Orba, dibentengi presiden sebagai mandataris Orba, gerah melihat perkembangan partai diluar cengkeraman Orba merajai kaum sandal japit.
Sejak terbentuk, PDI kerap mengalami konflik internal dalam tubuh partai. Persoalan makin meruncing saat pemerintah Orde Baru ikut camput tidak menghendaki berdirinya PDI di negri ini. Apalagi, di dalam tubuh PDI memanas Ketika Megawati Soekarnoputri dicalonkan sebagai Ketua Umum dalam Kongres Luar Biasa (KLB) PDI yang digelar di Asrama Haji Sukolilo pada 2-6 Desember 1993. Pemerintah Orde Baru lantas menerbitkan larangan mendukung pencalonan Megawati
Meski demikian mayoritas anggota PDI yang hadir mengikuti konggres tidak menghiraukan larangan pemerintah dan menetapkan Megawati sebagai Ketua Umum (Ketum) DPP PDI Periiode 1993-1998 secara de facto. Selain itu dalam Musyawarah Nasional (Munas) PDI diadakan pada 22-23 Desember 1993 di Jakarta, mengukuhkan di Jakarta
Dalam kajian refrensi penulisan buku Melacak Jejak Banteng Pinggir Bengawan, menelusuri cikal-bakal partai politik semasa pembentukan awal, bukan hal mudah dilakukan. Apalagi menelisik refrensi para tokoh parpol yang bergabung dalam pejuang parpol pendukung kemerdekaan RI, ternyata tidak mudah mencari sumber utama yang masih memungkinkan diwawancarai. Sejumlah simpatisan kader partai politik, antara lain Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Ir Soekarno, pada 4 Juli 1927; Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Partai Katolik.
Refrensi parpol masalalu nyatanya susah didapatkan dan tidak memungkinkan dicari dan dilacak di perpustakaan daerah. Masih untung risalah online, yang berseliweran dapat ditangkap meskipun wajib dilakukan ferifikasi autentifikasi kebenarannya. Apalagi terkait dengan kemelut parpol, sebelum kemerdekaan hingga kini, tetap menarik ditelusuri dalam jagad literasi faktual. Termasuk di dalamnya perjalanan parpol sebelum reformasi, misalnya, kesepakatan dalam satu barisan Partai Demokrasi Indonesia, mengikuti berbagai kegiatan rapat dan kongres.
Perjalanan panjang gejolak politik di dalam tubuh berlambang kepala banteng di dalam bidang persegi lima berwarna merah memuncak pada 20 Juni 1996. Tak ayal para pendukung Megawati bentrok dengan apparat keamanan yang menjaga kongres di Asrama Haji Medan, Sumatera Utara, saat kongres berlangsung pada 22-23 Juni 1996. Apalagi pemerintah Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto menetapkan Suryadi sebagai Ketua Umum DPP PDI pada 15 Juli 1996.
Bagai api dalam sekam, penetapan Suryadi menjadi Ketua Umum, dengan dukungan pemerintah di bawah presiden Soeharto, mengawali gejolak anggota partai militan dan massa tidak terima diperlakukan pemerintah. Mereka mengelar orasi Mimbar Demokrasi di halaman kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro nomor 58 Jakarta pada 27 Juli 1996. Diperkirakan ratusan massa memakai kaus merah, mengaku kubu Suryadi melakukan pengepungan sekretariat dan menyerang pendukung Megawati, tempat berkumpulnya anggota partai dan simpatisan maupun aktivis mahasiswa di Jalan Diponegoro
Sepak terjang para pendukung PDI yang setia terhadap Megawati tetap bersikukuh setia pada kepemimpinan hasil kongres partai wong cilik. Mereka meneguhkan kepemimpinan putri Bung Karno sebagai komando ketua umum partainya hingga pelengseran dominasi presiden Soeharto dari jabatannya pada 21 Mei 1998, menandai berakhirnya rezim Orde Baru hingga saat ini
Jejak Partai Lawas
Setidaknya 27 partai politik berdiri usai dikumandangkan kemerdekaan bangsa 17 Agustus 1945 menyambut pemilihan umum pertama kali pada tahun 1955 dengan penuh semangat. Pelbagai gambar dan logo partai tercatat dalam pembentukan partai politik yang berhak mengikuti pemilihan umum ketika itu. Penyelenggara pemilihan umum mengumumkan persyaratan pada pengurus partai politik yang akan mengikuti Pemilu wajib menyertakan kelengkapan berkas, salah satunya gambar partai dan/atau logo sah yang akan digunakan
Tidak terkecuali, bukan hanya partai politik lawas yang diharuskan mendaftarkan diri maju mengikuti pemilihan, tetapi semua parpol harus mengubah gambar logo apabila menyimpang dalam ketentuan yang disepakati pemimpin partai dan disyahkan penanggungjawab pemilu. Salah satunya gambar berupa logo PNI sebelum berubah menjadi partai demokrasi perjuangan Indonesia (PDI). Logo awal PNI bergambar sosok banteng menyeruduk, seperti saat ini, tak terlihat. Wujud seekor banteng yang digadang-gadang menjadi simbul partai politik diusulkan Bun Karno, ketika dalam pembuangan di Ende, tidak ditanggapi serius kader-kader partai masa itu. Meski demikia, uraian filosofi makna sosok hewan kuat dan bakoh itulah yang menjadi dasar pegangan hidup anggota partai politik.
Selain itu gambar banteng lama yang diusulkan Bung Karno, kemudian diubah sebelum mendaftarkan diri mengikuti Pemilu 1955. Sosok binatang banteng secara utuh, kemudian disepakati hanya memperlihatkan kepala dan leher tubuh banteng. Pertemuan itulah yang kemudian disepakati sebagai lambang partai politik PNI pertamakali diperlihatkan. Meski dalam gambar yang tertempel dalam tembok sewaktu diadakan pada rapat pertemuan anggota hanya ditampilkan kepala banteng. Sehingga terambil dari depan Sebagian kecil badan, akan terlihat gambar yang menjadi perdebatan dalam pertemuan rapat akbar
Pergantian gambar logo parpol PNI, pun disepakati menjadi bagian tak terpisahkan untuk dijadikan sebagai pegangan kampanye dan sekaligus mengikuti pendaftaran pemilihan umum pada 1955. Perjalanan panjang perubahan gambar logo banteng dari awal hingga dapat diterima seluruh anggota partai, tampaknya terus berlanjut menjadi perdebatan di kalangan internal partai politik, setelah pemilu 1955 belum rampung secara tuntas. Pada tahun 1977 gambar partai politik PNI yang tadinya menjadi barometer kebangkitan kebangsaan dan persatuan bangsa, disepakati bergambar logo banteng.
Perjalanan panjang PNI sebagai partai politik sejak kelahirannya sebagai organisasi yang mampu mengekspreikan nasionalisme Indonesia, sejak masa pra kemerdekaan. Pada 4 Juli 1927, Bung Karno, membentuk gerakan yang dinamakan sebagai Persatuan Nasional Indonesia. Kemudian pada Mei 1928, berubah menjadi Partai Nasional Indonesia. Selain agar organisasi berpijak pada kemandirian ekonomi dan politik di seluruh kepulauan Indonesia.
Kesimpangsiuran gagasan pembentukan partai politik tidak ingin bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda, menjadi perdebatan hangat di era gerakan pembaharuan sebelum maupun setelah kemerdekaan. Menurut catatan sejarah, di akhir Desember 1929, PNI memiliki sebanyak 10.000 anggota aktif dan nonaktif di bawah pendirinya Bung Karno. Hal itu membuat pihak berwenang, Belanda, merasa khawatir, hingga Soekarno dan tujuh pemimpin partai lainya ditangkap pada 1929. Mereka diadili karena dianggap mengancam ketertiban umum. Akibat permasalahan ini, PNI pun dibubarkan pada 25 April 1931.
Tarik ulur gambar parpol
Lagi-lagi persoalan partai politik, bukan hanya diwarnai perdebatan soal ideologi, tetapi bila dirunut lebih dalam lagi juga menyangkut warna logo dan bentuk yang secara terus menerus diyakini dan disepakati anggota parpol. Bukan hanya partai politik lawasan seperti PNI, ketika awal pembentukan dan keberlanjutannya sebagai organisasi social partai, tetapi juga partai-partai lain dalam peta politik di Indonesia. Gambar itu bisa dilihat dari perdebatan partai politik di tingkat nasional dari PNI menjadi partai PDI dan berubah lagi menjadi PDI Perjuangan.
Perubahan bentuk organisasi, struktur maupun atribut gambar, logo dan simbul kepartaian di tingkat nasional, untungnya tidak berimbas sampai ke tingkat daerah di Koata Solo. Meskipun terjadi sikut-sikutan diantara pengurus partai, hal itu dianggap lumrah terjadi. Namun demikian toh udreg-udregan berebut kepemimpinan dan keberadaan partai politik, PDI di tingkat di Solo pun terjadi sewaktu jaman rezime orde baru berkuasa. Partai politik PDI terimbas getahnya sewaktu gonjang-ganjing perebutan kekuasaan PDI di bawah kepemimpinan Surjadi menambah kegaduhan hingga mencuatkan, anggapan pengamat politik, disebut parpol di Solo dalam keadaan darurat perlu segera diberesi.
Berulangkali diadakan kongres partai, bukan saja menambah tentram warga masyarakat non partai, tetapi juga meluber hingga anggota partai politik PDI (Partai Dmokrasi Indonesia). “Awal kegaduhan partai PDI sebelum berubah jadi PDI Perjuangan di Solo sebenarnya juga aman-aman saja. Kalau ada korban yang didesign pemerintahan orde baru. Semua orang tahu ada korbannya. Di Solo juga kejadian itu. Saya pernah megalami itu semua,” papar mantan Walikota Solo, FX Hadi Rudyatmo, di kediamannya
Mengalami tindak kekerasan yang dilakukan suatu regime, entah di luar negeri atau di dalam negeri bukan hanya terjadi Indonesia, tetapi di negri Vietnam saat negara itu di pernah dominir percampuran kekuatan politik kepartaian dan politisi tentara Amerika yang berada di balik peristiwa tersebut dan memegang kendali. Demikian pula halnya yang terjadi di daerah-daerah di Indonesia seperti kekalahan partai politik di tingkat nasional pada pemilu 1977, dampaknya terasa mencekam. Padahal sebenarnya pertikaian antarpartai politik terjadi di pucuk organisasi parpol tingkat di Jakarta. Bisa jadi rentetan kisruh antar ketua partai-partai politik disebarluaskan hingga ke parpol daerah.
Baru akhir-akhir ini setelah kemerdekaan berserikat dan berpartai politik terbuka mayoritas pemimpin di masalalu menyadari hal itu tidak bakalan terjadi kembali. Ongkos kegaduhan selain meninggalkan jejak kerusuhan mencekam juga membuat nyali kecut warga masyarakat awam tentang peran partai politik yang sesungguhnya. Kerusuhan hingga menimbulkan gesekan lantaran kekalahan dalam pemilihan umum tahun lalu di Solo, menjadi contoh yang tidak perlu lagi diulangi. Kami semua, tutur mantan walikota Solo, sungguh menyayangkan kejadian terbakarnya gedung balai kota tahun lalu. Dirinya mengakui kebakaran di balaikota kala itu, menurutnya, disusupi anasir lain di luar partai politik yang kalah dalam pemilu 1977. “Saya menduga ada unsur anasir agar kekisruhan terjadi dengan dalih karena kekalahan parpol di pemilu. “Saat kejadian balaikota dibakar, saya berada di Jakarta. Baru tahu kada kerusuhan. Mau tidak mau saya Kembali ke Solo saat itu naik kendaraan bersama anggota partai lain pulang,” katanya, “saya yakin tidak akan terjadi lagi di masa depan.”
Perselisihan hingga mengakibatkan kerusuhan massal seperti yang terjadi di kota Solo menjadi pelajaran berharga kader maupun anggota partai politik banteng. Dampak buruk terhadap citra kota sebagai kandang banteng dicap urakan dan tidak mengetahui aturan pemilihan umum. Kalah menang mestinya disikapi dengan lapang dada, namun yang terjadi tidaklah demikian. Tudingan kekalah dalam pemilihan presiden kala itu, bukan lantas dimengerti sebagai bentuk pelampiasan amuk massa anggota partai banteng, akan tetapi justru menjadi catatan buram keberadaan partai politik pewaris tunggal pencetus partai banteng, Bung Karno sebelum pra kemerdekaan. Apalagi ajaran sang proklamator mewanti-wanti tidak boleh menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan persoalan di dalam tubuh partai (indepth reporting/eddy je soe)
No Comment