Perawakannya tak terukur, lantaran berat tubuhnya makin tambun. Sosok Slamet Gundono, 43, tidak bisa terlepas dari pertunjukan wayang suket, mulai dikenal luas di masyarakat. Tidak hanya di tlatah nusantara ketenaran Gundono moncer, tetapi telah pula merambah ke ranah manca negara. Pria tambun berbobot mati 154 kg lahir dan dibesarkan di Slawi, Tegal, pada 19 Juni 1966 tetap menjaga jagad kesenian yang diyakininya takmungkin luntur.”Meski presidennya gonta-ganti, takmungkin darah seni para seniman-seniwati meninggalkan profesinya,” katanya.
Slamet Gundono, dibesarkan dalam komunitas keluarga dalang yang juga petani. Bapak dan saudara-saudaranya, hampir semua menekuni seni pedalangan, ujarnya Gundono ketika ditemui di sanggar wayang suket di Jl. Sibela Timur, Perumnas Mojosongo, Solo. Meskipun ayahnya dalang, tapi ia tetap saja turun ke sawah. Menurut penilaian Slamet, darah tani ayahnya tak bakal luntur. Begitu sederhana cara berpikir ayahnya dari dulu sampai sekarang. Saking kelewat sederhana cara berpikir dalam keluarganya, sampai-sampai memberi nama anaknya pun juga demikian. Ayahnya hanya memberi sepenggal nama Gundono. Nama ‘Slamet” justru ditahbiskan guru SD-nya.
Entah biar gagah atau terlihat panjang, nama pemberian gurunya lantas diterakan di depan nama Gundono di ijazah. “Panjang’kan kalau ditambahi penggalan nama pemberian guru SD. Jadilah nama saya sampai saat ini: Slamet Gundono,” katanya. Ternyata urusannya tidak sesederhana menambah satu kata di depan nama pemberian orang tuanya. Selain harus merombak akte kelahiran Gundono juga harus bolak-balik ke instansi pencatat akte kelahiran untuk merombak namanya.
Slamet Gundono yang di Slawi, Tegal, pada 19 Juni 1966 sama sekali tidak berpikir bahwa dirinya kelak menjadi icon seni pedalangan yang justru ilhamnya diperoleh sewaktu menggembala kerbau di pematang sawah: suket. Ia ingat sewaktu kecil di desa, pengalamannya menganyam rumput teki ––sejenis rumput liar bertajuk daun lebar–– menjadi mainan wayang mengilhaminya berkreasi. Mulanya banyak menemui kegagalan. Berbulan-bulan Gundono mempelajari pelbagai tekstur daun semua jenis rumput-rumputan.
Akhirnya ia menemukan rumput teki dan jenis ‘mendong’ sebagai bahan baku pembuat wayang. Padahal tadinya Gundono tidak menyukai seni pedalangan yang menurutnya kesenian itu lekat dengan aura minum dan main perempuan. Keluarganya pun mahfum atas pilihan Gundono yang dianggapnya nyempal dari cita-cita ayahnya. Tidak ada pilihan, “Sebaiknya, kamu masuk pesantren di Lebak Siu, Babakan Tegal, sampai selesai Madrasah Aliyah,” ujar Gundono menirukan instruksi ayahnya. Apa boleh buat. “Suatu hari, ketika berada di pesantren, saya lompat cendela hanya untuk nonton pertunjukan wayang kulit. Lha kalau di rumah sudah biasa menonton. Tapi yang dalang di tempat lain dengan disaksikan banyak orang kampung, itu kan eksotik. Ech ketahuan. Saya disuruh ngangsu ––mengambil air dari sumur–– memenuhi bak mandi. Tahu sendiri, bak mandi di pesantren minta ampun besarnya. Berulangkali ketahuan, dan distrap, saya juga tidak kapok,” ujarnya mengenang.
Dari situlah kecintaannya terhadap seni pertunjukan wayang kulit mulai ‘meracuni’ darahnya. Darah keturunan ayahnya: dalang. Sejak kecil ia tidak pernah bercita-cita menjadi seorang dalang. Seusai menamatkan pendidikan di pesantren, setara SMA, Gundono mencoba meneruskan ke pendidikan yang lebih tinggi di Jakarta. Ia pun lantas masuk kuliah mengambil jurusan teater di Institute Kesenian Jakarta (IKJ) di kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM). Waktu membayangkan dapat kuliah di IKJ, tutur Slamet, rasanya sudah seperti menjadi seniman ‘ngetop’. “Ech enggak tahunya, untuk menjadi seorang seniman, bukan lantaran bangku kuliah yang dapat mengantarkan meraih cita-cita apa yang dikehendaki. Apalagi bisa menjaga eksistensi dirinya menyandang gelar kesenimanan, wah itu bukan perkara mudah,” katanya.
Lantaran terobsesi menjadi seniman pedalangan, Slamet Gundono nekat hijrah ke Solo mendaftar di jurusan Seni Pedalangan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta. Gelar akademik sarjana seni pun diraihnya pada tahun 1999. Meski demikian, ia merasa tidak dapat meraih bayang-bayang yang diharapkannya. Kalau sekedar gelar kesarjanaan, lanjut Gundono, apalagi dari sebuah institusi pendidikan kesenian tidaklah sulit. “Terus terang yang susah itu meraih gelar kesenimanan dari khalayak. Itu susahnya minta ampun. Sebab dituntut harus berpikir kreatif, mengembangkan ide-ide gres dan mengejowantahkan di hadapan pulik. Sukur-sukur langsung diterima oleh masyarakat, kalau tidak apa tidak setres. Itulah sebab saya harus tetap menjaga kreativitas menciptakan sesuatu, menjaga ruh berkesenimanan dan tetap kritis sampai akhir hayat,” katanya.
Pria bertubuh tambun nyaris satu kwintal beratnya itu, meski termasuk ke dalam jajaran seniman yang diperhitungkan keberadaannya di tlatah Solo sebagai icon kota budaya, ia tak lantas sombong. Penampilannya tetap sederhana. Bahkan dapat dikatakan kelewat sederhana. Kemana pun ia diundang, Slamet selalu mengenakan pakaian “kebesaran” celana kolor komprang, baju tanpa kancing dan bersendal jepit. Toh ia tetap ramah terhadap siapapun. Di saat namanya mulai melambung sebagai dalang dengan ciri khas ‘suluk’ melengking-meliuk-liuk, Gundono malah membelot memainkan wayang kulit yang baru dirintisnya. Padahal kala ia mendapat ‘job’ tanggapan ndalang, honornya lumayan besar. Menurutnya kalau hanya sekedar memperoleh bayaran tinggi sewaktu ndalang, berarti cita-citanya menggapai sebutan seniman lenyap sudah. Sebab, menurutnya, keberadaan seorang seniman tidak mungkin diukur dari melimpahnya rupiah. “Saya tidak munafik. Keluarga saya juga memerlukan finansial, tetapi tidak lantas uang dijadikan panglima mendekte ruang berkesenian.”
Pada awalnya ketika Slamet Gundono memperkenalkan wayang Suket, ia kerap menjadi bahan olok-olok dan gunjingan dari kalangan seniman lain. Tidak ada masalah dengan celotehan para seniman lain. Mereka belum mengetahui misi yang bergejolak dari dalam dirinya. Setelah jungkir-balik, memperkenalkan Wayang Suket di hadapan khalayak, toh suara nyinyir pun tersapu angin. Tahun demi tahun, pentas wayang suketnya ternyata banyak mengundang minat. Tak Cuma keliling berbagai kota, tapi juga ditanggap ke luar negeri. Ia pun menjadi sosok seniman fenomenal. Di tangan Slamet Gundono, Wayang Suket menjadi sebuah media seni teater berbasis kesenian tradisional wayang. Awal kenekatannya manggung di hadapan banyak orang dimulai dari kawasan hutan di Riau.
“Sewaktu di komunitas transmigran yang berasal dari Jawa, yang menonton pertunjukan heran dan bertanya-tanya dalam hati, “Mana wayang kulitnya.” Setelah saya jelaskan, mereka mau mengerti, dan tertarik nonton sampai usai pertunjukan. Pengalaman mendalang yang menyita keringat, itulah yang meneguhkan hati untuk menekuni Wayang Suket.”
Berbekal pengalaman pertama manggung di Riau itulah ia membagi-bagikan pengalamanannya manggung ndalang dicaci sekaligus dipuji penonton yang mayoritas orang awam. Menurutnya cacian dan pujian yang dilontarkan pada dirinya justru mencambuk kreatifitas untuk terus berkesenian. Slamet Gundono pun mengumpulkan beberapa teman dan membentuk komunitas wayang suket yang kemudian ia pakai sebagai nama Padepokan Komunitas Wayang Suket, di Ngringo, Jaten, Karanganyar, Jawa Tengah. “Kelingan Lamun Kelangan” merupakan cerita Banjaran Karno. Mulai dari lahir sampai mati.
Pertunjukkan wayang suket yang dibawakan dalang asal Slawi, Slamet Gundono ini sangat berbeda dengan bentuk pementasan kesenian wayang seperti lazimnya wayang kulit atau lainnya. Wayang ini sebenarnya tidak masuk kategori sebagai kesenian wayang. Sebab, wayang suket memang bukan hasil kesenian tradisional. Melainkan, buah karya tangan-tangan terampil yang menyerupai model wayang.
Sebagai seorang kreator seni, pementasan wayang suket Slamet Gundono kadang menimbulkan reaksi pro dan kontra di kalangan seniman dan praktisi pedalangan. Namun, ia tak ambil pusing dengan protes-protes yang dialamatkan pada dirinya. Penampilan Gundono yang acap easy going itulah menjadi salah satu pribadi menarik sesama rekan seniman lain dan mahasiswa seni di Solo bergaul akrab dengannya. Penampilannya yang sederhana dan murah senyum, tak pelak pria bertubuh tambun ini tergolong seniman nyentrik dan blater.
Dalam berkreasi dirinya mengaku tidak punya aliran tertentu. Baginya dirinya merasa enjoy saja. Gundono akan menerima suatu karya selama ditemukan gagasannya sebagai suatu yang riil dan menjadi vitalitas dalam hidup. “Buat saya yang namanya eksperimen itu biasa-biasa saja. Bagi saya itu adalah sebuah laku yang logis bagi seorang seniman,” terangnya. Menurut Gundono, dirinya tidak berkiblat pada salah satu aliran tari tertentu, tetapi berusaha mengeksplorasi seni rakyat yang nyaris mati. “Terus terang, saya tertarik menghidupkan kembali kesenian rakyat semasa kecil. Dulu, sewaktu di desa saya sering angon kerbau sambil bermain-main layangan atau membuat wayang-wayangan dari suket,” paparnya. Ia menambahkan, laboratorium paling baik bagi dirinya dalam menekuni profesi sebagai seniman, tidak lain kekayaan alam di sekitarnya.
Lihatlah penampilannya di setiap pentas pertunjukkan yang digelarnya. Dengan setengah telanjang, penampilannya dalam pertunjukkan selalu menjadi perhatian. Slamet Gundono dengan lihai terus bertutur dan melantunkan bait-bait sulukan dengan suara khasnya yang merdu. Perannya di atas panggung sangat jelas menampakkan bahwa dirinya adalah seorang dalang yang benar-benar menjadi sutradara pertunjukkan.
Slamet Gundono mengemas wayang suket secara apik dan unik sebagai kreasi baru dalam dunia pewayangan. Cerita yang dipentaskan tidak diangkat dari cerita-cerita klasik yang bersumber dari kitab Mahabarata, Ramayana, kisah Panji, kisah Menak, atau sumber cerita yang lain. Namun, cerita-cerita dari fenomena sosial yang ada di sekitar kita. Dengan gayanya yang nyleneh, Slamet Gundono dapat mengkritik hingga guyonan yang mampu membuat penontonnya bergelak tawa. Dari seni kreasinya itu, membawanya menerima penghargaan dari Prince Claus Award tahun 2005 dari Pemerintah Kerajaan Belanda atas jasanya dalam dunia seni kebudayaan.
Wayang Suket sekarang menjadi icon Slamet Gundono dan kelompoknya. Slamet Gundono membentuk Komunitas Wayang Suket, yang menjadi wadah berkreasi bersama kelompoknya di Solo, sekembali dari perjalanannya ke Riau. Di tangan Slamet Gundono, Wayang Suket menjadi media seni teater berbasis kesenian tradisional wayang. Di tangan Slamet Gundono pula, Wayang Suket tidak hanya menjadi tontonan yang enak dan segar, tetapi juga bisa menjadi suatu tuntunan.
Karya Slamet Gundono sebenarnya tidak hanya piawai memainkan wayang suket semata. Karya lain tercipta sebelum dirinya mementaskan wayang suket. Karya pertamanya lahir ketika dirinya masih berada di semester kedua di jurusan pedalangan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta. Bersama teman-temannya Gundono menampilkan karya Pakeliran Panjang, Kelir Dengan Tiga Dalang pada sekitar tahun 1991-1992. Karya-karya yang dihadirkan Slamet Gundono merupakan kreasi ekperimen yang muncul atas sifat ketidaktahanannya pada kondisi mapan.
Filosifi suket sebagai sesuatu yang terus tumbuh adalah spirit yang membuatnya bangga. Suket hanya butuh air dan sinar matahari. Kekuatan filosofi ini menggambarkan kekuatan ruang imajinasi dari wayang suket. Pertunjukkannya merupakan simbol grass root yang mempertanyakan tentang diri, bukan memberontak atau merusak. “Konsep pertunjukannya adalah pelataran seperti lagunya, urip kuwi mung koyo bocah cilik dolanan nang pelataran,” tandasnya.
Ditangan Gundono, wayang suket dimainkan secara apik dan unik sebagai kreasi baru dunia pewayangan. Cerita yang diangkatnya bukan sekedar cerita-cerita klasik yang bersumber dari kitab Mahabarata, Ramayana, kisah Panji, atau kisah Menak, tapi sudah berkolaborasi dengan sumber cerita keseharian yang lagi menjadi sorotan. Gundono menyandingkan tokoh-tokoh wayang yang biasa dikenal dengan tokoh yang dicomot dari dunia keseharian sang dalang, semuanya berbalut kritik sampai joke-joke yang membuat penonton terpingkal-pingkal.
Dari pengalaman beberapa tahun memopulerkan wayang suket, ia menandai orang-orang yang mengundang wayang suket tidak sekadar nanggap. Ia menangkap romantisme kuat pada mereka, yakni romantisme masyarakat agraris. Itu ada di ruang bawah sadar orang-orang kota. Tak hanya orang-orang asal Jawa yang antusias. Penonton di Berlin, Jerman, pun memberikan antusiasme serupa. Begitu terkesannya pada pertunjukan Slamet Gundono, beberapa penonton mengundangnya makan malam seusai pentas.
Selain lakon masyur hasil imajinasinya, “Kelingan Lamun Kelangan”, selalu disuguhkan sebagai alternatif pilihan lakon-lakon yang mulai akrap ditelinga penonton. Meski demikian cerita lain, yang juga garapan Gundono seperti “Sukesi atau Rahwana Lahir”, “Limbuk Ingin Merdeka”, dan “Bibir Merah Banowati” tak kalah mengkocok perut penonton. Wayang Suket menjadi tontonan yang enak, segar, dan penuh tuntunan. Ia berpijak pada seni tradisi dalam mengupas persoalan pada masa kekinian.
Termasuk melakukan demonstrasi ketika ruang berkesenian dan berekspresi dikebiri pemerintah melalui perangkat UU Antipornografi. “Hukumnya wajib menolak ketika ruang berekspresi dikebiri pemerintah. Apa jadinya negeri ini kalau senimannya diam seribu basa, saat ruang berekspresi dibatasi perangkat UU Antipornografi,” tandasnya,” tandas Slamet saat berdemonstrasi menolak RUU Antipornografi. Pada 5 Januari 2014, Slamet Gundono wafat pada umur 47 tahun di RSI Yarsis, Kartosuro, setelah dirawat beberapa waktu, tahun lalu. Jenazahnya dimakamkan di Slawi, tempat kelahirannya (tim indepth/eddy je soe) Note: bahan naskah ditulis sebelum Gundono wafat
No Comment