Ayo Nyeruput Tengkleng Kegemaran Presiden


Tengkleng makanan khas Kota Bengawan. Siapa tahu menjadi daya tarik pengemar kuliner mancanegara. "Ayo nyeruput Tengkleng Rame-Rame," ujar mantan Walikota Solo yang kini menjadi presiden

Silakan datang ke Solo dan incip-incip maem khas asli Kota Bengawan, atau boleh juga bawa pulang jajanan yang tidak ada di tempat lain. Mau makan nasi khas Solo juga ada komplit seperti nasi-uduk, rawon penjara, atau sekedar bernostalgia ingin kembali ke masa lalu maem cabuk-rambak. Nah kalau Anda mengaku wong Solo asli, dan belum pernah maem Tengkleng, itu namanya keterlaluan. Sejak mantan presiden pertama Soekarno, kemudian disusul Soeharto, Megawati, Habibie sampai ke Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo, mereka pernah merasakan nikmatnya makanan khas Solo: Tengkleng.

Entah siapa yang menamakan kuah berkaldu-santan bening, bercampur daging dan tetelan balung kambing muda, itulah makeman khas Solo, saat ini ngehit diburu pecinta kuliner monconegoro. Pasalnya, nama Tengkleng di telinga wong bule, terdengar aneh dan agak sulit dilafalkan lidah mereka.  Jangan heran bila bulewan and bulewati seneng maem Tengkleng di atas pincuk godhong gedang, bukan piring beling.

Makan Tengkleng di atas ‘Pincuk’ bukan piring membuat pengamat kuliner kebingungan: “Emang tidak habis pohon banana di Solo?”

“Habis asyik juga rasanya. Selain aneh di lidah gwe dibanding dengan soup ala Eropa dan Amerika, tapi nikmat. Enggak ngerti gimana cara menterjemahkan kenikmatan maem nasi lauk Tengkleng,” ujar freelance journalist lawas Reynata Mandova, yang keblasuk tinggal lama di Solo.

Bukan hanya sekali Reynata Mandova, kalau lapar mampir maem di samping gapura Pasar Klewer tempat jualan Tengkleng Bu Eddy yang melegenda itu. Kegemarannya blusukan ke berbagai tempat penjual makanan khas Solo telah lama ia dalami. Bisa dimengerti, Reynata selain mengaku sebagai penulis lepas kuliner di Venice juga seneng klayapan cari makanan yang tidak dijual di negara jujugan turis.

Di negara gwe, kata dia bergua-gue model ABG (Anak Baru Geblek) metropolitan Jakartanan itu ngecepret kagak bisa distop. “Namanya juga kuliner lain negara. Di negara gwe yang namanya soup kagak ada tulang-belulang disajikan di atas daun pincuk. Semuanya pakai piring beling. Kalau kagak dibungkus sterofrom,” ujar dia, “kenapa di sini masih pakai daun. Emang banyak pohon banana? Trus abis dong, kagak bisa bikin banana split buat desert.”

Jangan pernah bilang tahu makanan khas Solo, kalau belum pernah nyeruput Tengkleng dengan alas pincuk daun pisang di kota Solo (courtesy pic, Uki-Tempo)

Keluhan Reynata, barangkali mengisyaratkan kekagumannya terhadap budaya local ketika ia menyeruput soup asli ‘wong ndeso’ Solo. Bukan hanya kekaguman dia atas citarasa nikmat ketika menyeruput soup di atas pincuk, tetapi bisa jadi dia bingung. Menurut dia tak ada satupun Negara yang pernah disinggahi menyeruput soup di atas daun banana. “Cuma ada di Indonesia dan hanya di Solo,” katanya.

Lebih mengherankan lagi, ujar Reynata sembari mlongo, bagaimana mungkin mau makan soup dengan alas daun sambil duduk lesehan di keramaian lalu-lalang kendaraan dan orang lewat bisa menikmati tanpa ragu. Sampai calon pembeli ngantri berjejer menunggu penjual meladeni pembeli Tengkleng dengan santai.

“Baru kali ini saya melakukan travelling dunia kuliner melihat makan soup sambil duduk dan ada juga yang berdiri dengan nikmat. Lihat itu ibu-ibu dan keluarganya makan sambil duduk lesehan, kelihatan nikmat sekali,” ujar dia.

Paling menyenangkan ketika jajanan khas Tengkleng masih tersedia dan siap disantap sehabis belanja di sarklewer

Pemandangan seperti itu, tutur Mirsa, 58 warga Jebres, salah satu penikmat Tengkleng samping gapura Pasar Klewer, sudah menjadi kebiasaan di warung ini sejak sepuluh tahun lalu. Memang kuahnya agak encer, bila dibandingkan dengan Tengkleng di lain tempat. Tapi, katanya sembari berbisik minta diterjemahin agar didengar orang bule Reynata, daging yang dihidangkan dan tulang kambing mlebih banyak dan ada yang menempel pada tulang.

“Jadi asyik makannya. Setahu saya, Tengkleng di samping Masjid Agung dan Pasar Klewer ini telah ada sejak tahun 1971. “Mungkin ini generasi ke empat keluarga bu Eddy, mungkin anak atau cucunya yang ngelanjutin jualan Tengkleng. Kalau dulu yang ngantri panjang, sehabis belanja di dalam pasar. Harganya juga tidak mahal, wong dulu cuma Rp.15 ribu ditambah nasi.”

Mendengar cerita Mirsa, pengemar setia Tengkleng, freelance journalist culinary itu terbelalak heran. “Jadi kalian dari generasi ke generasi suka makan soup tengkleng. Kalau pak presiden apa juga senang soup tengkleng?”

Menurut sejumlah pejabat yang ditemui di Balai Kota Solo, mantan walikota yang sempat menjadi Gubernur DKI Jakarta dan sekarang menjadi presiden RI, Joko Widodo, gemar makan tengkleng bikinan Bu Eddi. “Ayo makan tengkleng bareng.” (budi/eddy je soe)

Previous Melacak Jejak kejayaan Wayang Orang Sriwedari
Next Aura Pameran Lukisan Tokoh 'Memedi Sawah'

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *