Mengandaikan bila rencana Pemilu tetap akan berlangsung sebagaimana arahan presiden, yang akan dimulai pada februari 2024 secara serentak untuk memilih presiden dan wakil, anggota DPR, DPRD, DPD maupun kepala daerah (bupati dan walikota). Kendati belum seluruh rakyat setuju dan percaya, tentu sebagian rakyat Indonesia, pemilu diyakini dan dipercaya sebagai even penting dan strategis dalam melanjutkan tampuk kepemimpinan di negeri ini.
Keberhasilan penyelenggaraan even ini bisa saja dianggap sebagai salah satu ukuran, bahkan menjadi barometer, untuk mengetahui kearah mana bangsa ini akan di bawa serta ke depan dalam iklim yang lebih demokratis, adil dan beradab. Tuntutan itulah menjadi salah satu patokan proses pelaksanaan pemilihan nasional secara jujur dan adil memperoleh atensi, dan sukur-sukur, menjadi perhatian banyak orang dari lapisan warga masyarakat akar rumput di negri ini.
Tentu dengan catatan terpenting yakni mengutamakan kejujuran dan keadilan menjadi prasarat mutlak untuk dapat melahirkan pemerintahan legitimate. Dengan harapan bisa mengakhiri berbagai krisis yang masih dihadapi bangsa ini setelah dihajar pandemic virus, dan dihadang kekeringan akibat perubahan iklim –kalau memang benar-benar terjadi.
Takada yang menolak anggapan salah satu prasarat agar pelaksanaan pemilu jujur dan adil sangat tergantung pada produk UU Politik yang telah dihasilkan para anggota DPR di parlemen di masa lalu. Kegagalan DPR dalam menghasilkan UU Politik yang netral, akomodatif dan demokratis tentu menghasilkan berbagai masalah. Termasuk di dalamnya bila akan disahkan UU ITE (informasi dan transaksi elektronik). Meski ditengarai terdapat pasal-pasal yang mengganjal di dalamnya, dan upaya melelahkan atas peerubahan undang-undang nomor 11 tahun 2008, yang akan dijadikan bemper penangkal mencuatnya kembali penggagalan pemilu 2024.
Dengan santernya penggelontoran suara-suara nyinyir menolak pemilu 2004 dan melontarkan UU ITE, tentu meimbulkan praduka pemerintah tetap mewaspadai kelompok-kelompok disindent yang kini makin kritis dan tidak mempercayai pelaksanaan penyelenggara pemilu. Tentu tak bisa dipungkiri kembali mengemuka sejak awal akan dilaksanakannya pemilihan serentak dalam pemilihan umum nanti.
Selain itu, peraturan perundangan, dalam hal ini UU ITE jelas mengancam suasana kondusif bagi netralitas pelaksanaan pemilu. Dengan demikian pemilu tidak akan pernah mencapai salah satu tujuan penting yaitu pergantian pimpinan secara demokratis lantaran dilaksanakan, dengan stempel dilakukan secara curang, dan menghasilkan angka manipulative. Konsekwensi logisnya adalah pemerintah yang dihasilkan dari pemilu seperti itu, tidak akan pernah mendapat legitimasi yuridis, apalagi legitimasi social dari rakyat.
Untuk memperoleh UU Politik yang netral, akomodatif dan demokratis, DPR harus membuka suatu ruang politik yang memungkinkan rakyat menggunakan partisipasi politiknya secara optimal, termasuk di dalamnya mengusulkan perubahan pasal-pasal karet yang mencemaskan di dalam UU ITE. Harapannya, kinerja lima tahun para anggota DPR, yang terlibat penuh dalam drafting pembuatan perundangan politik dan melalui penangkal lewat undang-undang informasi dan transaksi elektronik, perlu menahan diri. Agar pasal-pasal karet di dalam UU ITE tidak justru mencederai kebebasan berpolitik lewat pertarungan gagasan dan pemikiran, perbedaan pendapat dan pandangan harus dikelola secara jernih untuk memutuskan suatu masalah.
Dengan proses seperti itu, parlemen akan mendorong proses partisipasi politik rakyat sehingga diharapkan hasilnya akan lebih akomodatif dan demokratis. Pertanyaannya, apakah DPR yang sekarang bisa diharapkan mempunyai kemauan untuk mempunyai sikap dan perilaku yang dikehendaki di atas? Paling tidak penyikapan terhadap kedudukan Pegawai Negeri Sipil (PNS) apakah boleh dan/atau tidak sebagai anggota partai politik dan/atau pengurus partai, harus jelas betul.
Dalam berbagai diskurusu yang berkembang di masyarakat mengenai PNS tersebut, partai Golkar masih tetap ngotot dengan bersikukuh bahwa PNS dapat menjadi pengurus partai dengan alasan pertimbangan terkait dengan hak asasi manusia (HAM), oleh karena itu PNS juga berhak menjadi anggota partai. Berdasarkan prinsip universal suffrage tidak boleh dilakukan tindakan diskriminatif yang tidak memberikan keleluasaan seorang untuk menggunakan hak-hak politiknya untuk terlibat sebagai anggota partai politik.
Itu sebabnya, PNS seharusnya juga mempunyai hak untuk menjadi anggota partai tertentu sesuai dengan pilihan politiknya. Yang menjadi soal adalah pengalaman dan latar belakang politik di Indonesia menunjukkan bahwa PNS selalu menjadi mesin politik Golkar untuk merebut dan memenangi pemilu. Karena itu, sangat dicurigai bahwa Golkar akan menggunakan salah satu kekuatannya yang terakhir untuk memenangi pemilu 1999 melalui jaringan birokrasi PNS.
No Comment