Aura Pameran Lukisan Tokoh ‘Memedi Sawah’


Memajang lukisan Memedi Sawah bukan berarti membuat penikmat seni ketakutan, Hari Budiono membuktikan

Setidaknya pameran seni rupa bertajuk ‘Memedi Sawah’ yang digelar di emat kota tak urung membuat pengunjung di Bentara Budaya Jakarta, Bali, Solo dan Yogyakarta berdecak kagum. Entah Anak Baru Gede (ABG) yang melihat lukisan besar kecil tak takut lantaran tema yang diusung memedi sawah, tapi malahan jeprat-jepret berselfi-ria di hadapan gambar cat di atas kanvas. Padahal gambar yang dicentelkan di tembok Balai Soedjatmoko, dari 14-20 Maret 2019, terpajang lukisan batok tengkorak tertembus bekas lubang peluru: ‘Semar Mencari Raga’.

Entah karena alasan apa, sang maestro seni lukis Hari Budiono tak mengambar para tokoh Indonesia yang telah meninggal dunia. Padahal hampir semua lukis dia, besar maupun kecil, menggambarkan orang sedang tertawa. Gambar wajah para tokoh bangsa seperti, Megawati, Habibie, Sri Mulyani, Wiranto, Jokowi, maupun selebritis kondang tertumpah dalam kanvas tunggal nada kecoklatan. Hanya potret Soeharto dan Gus Dur tak tampak dalam kanvas lukisan Budiono, entah apa sebabnya.

Karya bertajuk tengkorak imajiner tanpa cation menjadi salah satu daya tarik penikmat seni bertajuk ‘Memedi Sawah’

“Hanya tokoh yang masih hidup yang kita lukis. Lukisan potret tokoh, terutama yang mampu dilihat sekilas memancar aora kebijakan. Dari merekalah yang masih bisa kita harapkan dapat menandingin atau bahkan mengimbangi energy buruk memedi sawah,” katanya beralasan.

Tidak mengherankan bila pameran lukisan, Hari Budiono, mantan pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) cabang Yogyakarta bidang Seni Budaya nyaris semuanya mengetengahkan tokoh-tokoh negeri ini sedang tertawa lepas.  Memedi sawah, ujar Budiono, bukan lagi sekedar replica manusia untuk menakut-nakuti burung perusak dan pemangsa biji padi petani.

“Tetapi sekarang justru memedi sawah dihadirkan sebagai pemicu bencana sosial.  Karena memang jutaan memedi sawah menjelma jadi genderuwo –hantu menyerupai orang– menakut-nakuti meneror siapa saja,” katanya, Jumat (16/3/2019) di Balai Soedjatmoko, Solo.

Para pengemar seni ABG milenial pun tak hanya menikmati karya Hari Budiono, berselfie ria

Menurut Frans Sartono, Direktur Eksekutif Bentara Budaya, karya Hari Budiono yang menghadirkan memedi sawah mengingatkannya pada tokoh Scarecrow dalam film musical ‘Wizard of Oz’.  Setidaknya bagi pengemar karya seni lukisan yang dipajang di empat kota menorehkan pesan mendalam seperti dalam film Scarecrow. Sangat satir pesan pesan yang ditampilkan dalam lukisannya.

“Aku akan meminta otak, dari pada hati. Karena orang bodoh tidak akan tahu apa yang harus dilakukan dengan hati jika dia memilikinya,” pesan itulah yang ingin disampaikannya.

Mereka yang mengaku tak’kan pernah takut menghadapi persoalan di masa lalu bila terulang kembali

Karya Hari Budiono bukan hanya dikunjungi pengemar seni dan penikmat lukisan senja usia, tetapi lebih dari itu. Lihatlah serombongan ABG (anak baru gede) berjejal ingin menikmati gambar tokoh yang nemplek di kanwas lukisan Hari. Para penikmat muda usia itu, tentu tak segan-segan mengeluarkan perangkat ‘pemintar’ bicara berselfie ria di depan lukisan. Celetukan takjub dan puja-puji pun acap telontar dari mulut para remaja milenial. Mendenger celetukan dan pergunjingan gremeng-gremeng generasi milenial itu, membuat kita yang mendengarnya ngelus dada bercampur gembira.

Gwe mau dong selfie di depan sapi melet,” ujar salah satu mahasiswi seni, “bagus bingit, meski ada juga lukisan tengkorak tertembus peluru. Kira-kira tengkorak siapa yang ada dalam imajinasi pelukisnya. Aku tidak pernah dan tidak akan mau mendengar kisah korban yang tengkoraknya tertembus peluru.”

Meski karya seni Hari mewujudkan impian para penikmat seni di empat kota, toh lukisan yang ia pamerkan lebih banyak berukuran kecil tinimbang ukuran besar lazimnya karya lukis. Lihat saja dari seratusan lukisan yang ditempelkan, hanya enam berukuran besar (145 x 185). Selebihnya karya dengan format kecil wajah seringah para tokoh Indonesian tergambar sedang ketawa-tiwi.

Bukan hanya ABG Milenial yang menikmati karya seni instalasi kontenporer, banyak pula sesepuh yang ingin melihat wajah sumringah selebritas dan pejabat negara tertawa

Melihat dari dekat lukisan yang menyatu dalam kanvas tanpa bingkai bertengger di sela-sela dami –batang padi– yang dipersonifikasi ke dalam wujud memedi sawah, tentu buat pengunjung pameran kaum remaja milenial, terheran-heran. Apalagi landscape tatanan design ruang pamer disertai rekaman tawa cekikikan, jelas hal absurd dalam kasanah modernitas sebuah pameran lukisan tunggal. Meski demikian, dalam frame kaum ABG milenial, hal itu tetap dinilai sungguh menarik dan beradab. Dengar saja celotehan remaja yang datang dari Sragen, notabene keluarganya petani, berbisik-bisik dengan gebetannya, seperti nonton lukisan di atas galengan sawah sembari lucu-lucuan, “rasanya aneh tapi asyik ingat kalau pas balik ndeso panen pari.”

Pergulatan memamerkan para tokoh yang masih bisa ketawa-tiwi melihat persoalan di negeri ini bukan tanpa beban. Apalagi digelar menjelang ajang pemilihan umum serentak digelar. Pesimisme perebutan suara dan gontok-gotokan terekam implisit lukisan Hari menggambarkan hal itu. Bagi tokoh yang senang tertawa, tentu dalam karya instalasi seni Hari, seolah mentertawakan ketakutan sosial menghadapi masa depan bangsa yang terperangkap oleh phobia terhadang ‘Memedi Sawah’, padahal sejatinya tidak. Tetapi justru Memedi Sawah dipersonifikasikan seolah-olah menyeramkan.

Ketakutan sosial, menurut budayawan Sindhunata Sj dalam pengantar katalog pameran, dapat memecah belah kesatuan, melalui tertawa itulah yang justru menyatukannya. Manifestasi rasa takut dengan mengubar kemarahan dan menyebarluaskan kebencian dengan bertujuan memecah belah dapat dipastikan lari terbirit-birit dan berantakan nasibnya lantaran terhadang suara tertawa bersama.

Tidak ada salahnya bila mentertawakan kondisi sosial budaya yang acapkali membuat kita ingin tertawa riang gembira mengusir rasa takut

“Kita pasti lebih suka tertawa daripada merasa takut. Takut membuat kita terkurung, tertawa membuat kita bebas. Takut cenderung menjadikan suatu pengangan atau kebenaran hidup menjadi absolut. Tertawa tidak pernah mengabsolutkan apa pun. Ketika orang tertawa, semuanya bisa jadi relatif, termasuk dirinya sendiri.”

Bagi mereka yang suka tertawa, menurut Sindhunata, pengabsolutan itu menggelikan, tetapi juga mengerikan. Penolakan keabsolutan itu, tergambar jelas dalam karya Hari Budiono. Bukan hanya selebritas yang dilukisnya menunjukkan face sedang tertawa, tetapi juga para pejabat dan mantan pejabat negara menebar tawa, riang-gembira. Lihat saja wajah yang dilukis Hari, seperti mantan presiden BJ Habibi, menteri Susi Pudjiastuti, mantan gubernur DKI Basuki ‘Ahok’ Tjahaya Purnama dan Jusuf Kala, maupun presiden Jokowi tergambar sedang tertawa. Jadi apa yang harus kita takutkan! Seruan lagu biduan keroncong Waljinah di era 70-an pantas kita mulai bareng: ‘Ayo Ngguyu’ (Th Desanto / eddy je soe)

Previous Ayo Nyeruput Tengkleng Kegemaran Presiden
Next Kebiasaan Membaca Dapat Memperpanjang Usia

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *