Kemajuan kota Jakarta sangatlah pesat, informasi dan teknologi berkembang di Kota ini, para penduduknya pun sangat variatif, dari seseorang berdasi hingga orang pejaja jalanan. Lihatlah resto cepat saji, hingga warteg alias warung Tegal, komplit menyesaki Jakarta. Bukan hanya itu, 25 tahun lalu, 5 kali periode Pemilu, kini berdempetan dengan rumah pejabat dan pedagang pasar penyewa tempat rumah sewa, pedagang kecil yang tinggal di rumah bekas koran.
Arsitektur kota pun di Jakarta dan kota-kota besar di negri ini, terlihat moncer begitu Indah. Bila Anda berkesempatan berjalan di malam hari meski kemacetan menjadi bagian dari kota ini, namun sepanjang jalan, kini Jakarta terlihat terang bendera. Tidak sedikit pula lampu untuk penerangan jalan dengan asesori gaya kota metropolitan, memperindah Betawi. Tidak hanya di jalan raya, di rumah-rumah para pejabatpun demikian, meski dijaga Satpam. Namun lihatlah hunian penduduk pinggiran kota, mereka memakai penerangan, bukan hanya neon atau bokhlam untuk menerangi rumah dan berbagai aktivitasnya, tapi memakai petromak.

Meski pertumbuhan ekonomi mencerminkan PDB, pendapatan domistik bruto, nangkring menggembirakan, toh kehidupan rakyat jelata, tetap saja terenggah-engah. Lihatlah para pedagang di Pasar Minggu, atau di pasar-pasar lain di bilangan wilayah Betawi, pertumbuhan ekonomi mereka jelas berbeda: Lebih Ngeres. Tidak usah dilihat PDB, jelas mereka termasuk kategori penduduk melarat sekali. Apakah bisnis yang dijalankan rakyat tak terkatrol oleh pinjaman lunak UMKM di bank? Jangan tanya para pedagang di Pasar Minggu, di terminal dan pasar, Jl Raya Pasar Minggu, Jakarta Selatan; atau para pedagang warteg, jangan tanya mereka. Bikin nyesek, dengerin: “yang dapat pinjeman enthu mah, para pegawai dan teman-teman bos bank. Mereka gembar-gembor bokong ech kliru, bohong doang.”
Bagaimana mungkin, para pedagang kakilima pasar dapat hidup mewah dan memperoleh bantuan UMKM, kalau tidak ada yang menjamin utangan itu bisa diperoleh. Buktinya, tanya tuh para pedang sayur-mayur, untungnya berapa, toh mereka ndak ngerti pembukuan makai komputer sgala. “Jadi gimana bisa dipercaya,” kata Wartini asal Tegal tulen. Kalau udah dapt pinjeman, tentu ndak dagang sewain lampu petromak buat menerangi para penjual sayur di sebelahnya. “Lihat saja tuh, beberapa pedagang yang masih menggunakan Petromak untuk menerangi barang dagangannya,” kata Wardjio, persewaan lampu petromax. Uniknya petromak-petromak yang yang disewakan dagangan orang lain, lumayan menjadi peluang usahanya.

Bisnis penyewaan petromaks ini sudah berlangsung lama di daerah Pasar Minggu, dan juga di pasar beras Jakarta Timur seperti Zaenudin. Selain Wardjio dan Zainudin, salah satu dari puluhan orang yang menawarkan jasa penyewaan petromak, rupanya memberikan peluang usahanya. Tanyakan pada mereka, penyewa petromax, hampir dapat dipastikan lebih dari 23 tahun lamanya usaha jasa sewa petromak. Hasilnya pun, bila dibandingkan masa lalu, jauh lebih sedikit saat ini. Apalagi sekarang sudah tidak ada yang jual pom minyak tanah, buat pengisian tangki lampu petromax. Para pebisnis jasa sewa petromax, seperti Wardjio dan Zainuddin, jelas akrab dengan kenaikan harga-harga pasar, lantaran mereka akrab dengan para pedagang akrab pasar.
“Seminggu lalu kami tahu, kalau tahun depan ekonomi negri ini akan jeblok. Harga rupiah terhadap dollar, montang-manting, jeblok. Mosok kurs bisa sampai 16.300 per satu dollar, kan bikin mumet rakyat yang dengerin. Itu kan penyebab bahan pangan, naiknya katak terpikir. Tanya tuh si mbake dari Klaten yang jual cabe kriting, berapa sekarang. “Ndak usah makan sambal. Ndasmu,” kata dia

Sudah banyak langganannya yang menggunakan jasanya, meski sekarang kita bisa menghitung berapa pedagang yang masih menggunakan petromak dan jasa seperti Zainuddin dan Wardjio, sebab saat ini sudah menggunakan lampu neon atau bokhlam sebagai alat untuk menerangi barang dagangan sayur mereka. Memang kondisi sekarang sangat sulit jika dibandingkan dengan jaman pada saat Zainudin memulai penyewaan petromak pada tahun 1983. hampir 33 tahun bisnis ini digelutinya.
Lebih lanjut kata Zainuddin yang akrab dipanggil Udin memiliki 100 buah Petromak yang disewakan dan kisaran penyewaan masih terbilang murah pada saat itu, hanya Rp 400, per hari, pada tahun 1984-1994. Dari bisnis ini pendapatannya pun lumayan, namun seiring dengan perubahan zaman dan seiring itu pula banyak perubahan dan naiknya harga. Kenaikan itu beruntun, sembako hingga minyak tanah, harganya melejit. Sehingga sedikit lampu yang buat menerangi dagangan sayur para pedagang.

“Apalagi sekarang, Jakarta bersinar diterangi lampu-lampu. Hingga bisnis penyewaan petromaks mulai terkikis, tentu pendapatan Pak Udin menjadi berkurang. Sekarang tinggal 100 buah petromax yang kami rawat dan miliki. Banyak yang dijual. Bisa jadi yang masih dapat disewakan tinggal 30 buah petromax. Buat disewain 5000 per harinya. Belum buat beli minyak tanah. Lha ntar kalau minyak tanah hilang masak diganti dengan gas melon.” Bangkrut
No Comment