Gaya hidup ‘nyepeda’ akhir-akhir ini menyeruak di hamper semua kota. Fenomena nyepeda itu tak hanya melanda di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Inilah efek menyejukkan pandemic virus corona yang memporak-porandakan tatanan kehidupan umat manusia sejagat. Terlepas penyebab fenomena nyepeda, nampaknya gaya hidup bersepeda-ria perlu dilanjutkan. Setidaknya sembari menunggu covid-19 istilah virus corona, toh tidak ada salahnya riang gembira berolahraga nggenjhot pedal speda.
Berolahraga speda di penjuru kota, bukan berarti ingin ngalahin warga desa yang setiap harinya bersepeda ke pematang sawah, atau ketika jam masuk kerja jadi buruh pabrik. Membandingkan harga pespeda kerja, entah ke sawah dan ke pabrik, dengan sepeda lipat yang kini digemari pesepeda kagetan, jelas berbeda bak bumi dan langit. Apalagi bila speda yang digunakan buat kerja, terlihat catnya telah mengelontok dan bahkan berkarat, sedang speda wisata olahraga yang dipamerkan bukan hanya cat tapi modelnyapun sungguh membuat kita terpesona. Bukan lantaran harganya yang dibandrol jutaan, tetapi bisa mencapai ratusan juta. Fantastis bukan.
Jangan heran bila piet buatan dalam negeri, meski dilabeli merk terkenal, tentu nebeng nama, buat gaya harganya paling murah di atas 2.5 juta. Berbeda dengan speda bikinan asli luar negeri paling murah di atas 5 juta. Namanya juga hobi, berapapun harga speda tentu akan dibelinya entah duitnya darimana.
Tak banyak yang tahu alasan sebenarnya kenapa sekarang trend pamer piet-pietan di hampir seluruh daratan dunia setelah dikeroyok virus corona. Tidak ada peneliti yang berkeingian untuk mengungkapnya. Bukan hanya di negara Asia yang dilabrak virus mematikan covid-19, tetapi trend mancal pedal speda melanda di hampir semua negara.
Gaya hidup ‘nyepeda’ akhir-akhir ini menyeruak di hamper semua kota. Fenomena nyepeda itu tak hanya melanda di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Inilah efek menyejukkan pandemic virus corona yang memporak-porandakan tatanan kehidupan umat manusia sejagat. Terlepas penyebab fenomena nyepeda, nampaknya gaya hidup bersepeda-ria perlu dilanjutkan. Setidaknya sembari menunggu covid-19 istilah virus corona, toh tidak ada salahnya riang gembira berolahraga nggenjhot pedal speda.
Berolahraga speda di penjuru kota, bukan berarti ingin ngalahin para warga desa yang setiap harinya bersepeda ke pematang sawah atau saat jam masuk kerja jadi buruh pabrik. Membandingkan harga pespeda kerja, entah ke sawah atawa ke pabrik, jelas berbeda bak bumi dan langit. Apalagi bila speda yang digunakan buat kerja, terlihat catnya telah mengelontok dan bahkan berkarat; sedang speda wisata olahraga yang dipamerkan bukan hanya cat tapi juga modelnyapun sungguh membuat kita terpesona. Bukan hanya harganya yang dibandrol jutaan, tetapi bisa mencapai ratusan juta. Fantastis bukan.
Jangan heran bila piet buatan dalam negeri, meski dilabeli merk terkenal, tentu nebeng nama, buat gaya harganya paling murah di atas 2.5 juta. Berbeda dengan speda bikinan asli luar negeri paling murah dibandrol di atas 5 juta. Tak banyak yang tahu alasan sebenarnya kenapa sekarang trend pamer piet-pietan di hampir seluruh daratan dunia setelah dikeroyok virus corona. Tidak ada peneliti yang berkeingian untuk mengungkapnya.
Padahal harga speda lipat merk Brompton M6L yang diselundupkan menggunakan fasilitas penerbangan garuda, kisaran harganya di atas seratus juta rupiah. Jangan heran dan terkejut bila nanti anda menjumpai speda lipat berlapis emas 24 karat, hilir-mudik di ibukota negara membuat kepala pening tujuh keliling lantaran harganya bisa miliaran. Bandingkan dengan speda ‘onthel ontha’ dipatok berharga seratusan ribu rupiah.
No Comment