Biznis Kuliner ‘Keplek Ilat’ Menggelepar Diterjang Pandemi


Kulinerian di masa lalu masih menggelepar belum bangkit kesambet covid19

Lebih dari setahun laju perekonomian yang ditopang jagad kulineran tersungkur babak bundas. Bukan hanya tempat tongkrongan mewah di hotel atau caffe pojok yang biasanya dipenuh sesaki pengunjung, kini kosong melompong. Mereka gulung tikar, lantaran kesambet pandemi menjengkangkan kebakohan ekonomi mikro yang dulunya digdaya. Lihat saja deretan penyaji makanan cepat saji di Galabo  pinggir tepi rel yang membelah kota Solo, hingga kini lunglai tak berdaya. Meski pemerintah menginstruksikan agar kebijakan percepatan pemulihan ekonomi mampu menghidupkan derak ekonomi kulineran toh tetap bergeming. Mandeg greg.

Tidak perlu tuding-menuding menyalahkan mengapa model sistem ekonomi jelata hingga kini tetap poranda tak mampu bangkit, setidaknya bertahan hingga kini. Bahkan ekonom peraih nobel sekelas Noam Chomsky belum tentu mampu menulis resep kebijakan yang mampu menghidupkan model ekonomi –meminjam istilah para pejabat pemerintah– kreatif seketika. Para pelaku biznis kulineran di banyak kota-kota besar, diibaratkan mengelepar bak ikan hias berada di luar aquarium, megap-megap. Bila hal itu tidak segera diguyur air, atau dipindahkan ke kali Begawan dengan konsekwensi kinthir dan lenyap, bukan mustahil semua akan tewas dalam waktu singkat.

Kulineran wedangan di selasar Omah Lawas tahun lalu (photo credit je soe)

Pemerintah tentu telah berusaha menolong melalui berbagai kegiatan dengan mengelontorkan kebijakan bagi pelaku usaha mikro-kecil dan menengah, tidak tanggung-tanggung. Toh pada kenyataannya, paket kebijakan yang bertujuan mengungkit kebijakan perekonomian belum jua mampu menggeliatkan usaha ekonomi pedagang sendal jepit. Salah satu penyebabnya yakni pedagang dan calon pembeli takut setengah mati kesamber covid19.  Tentu hanya kepatuhan menghindar menyebarkan rantai penularan itu saja yang perlu terus digulirkan. Biar denyup kehidupan kulinerian di Kota Bengawan kembali hidup semarak seperti di masalalu. Paling kurang bisa menghidupi derap roda ekonoi para pebisnis mengandalkan hidupnya pada jajanan ndeprox ala wong Solo senenge keplek ilat. Bukan hanya para pebiznis yang diuntungkan dengan meredanya ‘serbuan’ pandemi covid19, tetapi juga para pegawai dan karyawan penyaji bila virus mematikan itu segera lenyap.

Tentu tak hanya biznis kuliner Galabo di pinggir rel kereta yang membelah kota Solo hingga kini masih belum seramai masalalu. Meski pedagang tetap setia membuka gerai warung dagangannya. Menurut salah stu pedagang tengkleng yang di Galabo hampir setahun lalu jualannya tak mencapai 15 mangkok setiap harinya. Padahal biasanya, sebelum virus melanda, ia mengaku saban malam bisa menjual satu sampai dua kendil tengkleng. “Kalau dibilang nyungsep bisa dikatakan nyungsep, hampir satu tahun lalu. Gimana mau jualanan, wong yang jajan ngiras tidak ada. Mereka takut kesambet virus,” katanya. Bukan hanya penjual kulinera di dalam maupun pinggir rel Galabo, tetapi kondisi nyungsep juga menjengkangkan penjual sego liwet di jalan Nonongan. Di jalan itu, hampir setiap hari pendatang yang ingin maem sego liwet, tentu menjadi jujugan kulineran.

Kulinerian wedangan di Omah Lawas tahun lalu (photo credit eddy je soe)

Biznis kulier di Solo boleh dikatakan hampir setiap jengkang gerai dipenuhsesaki para peramu makanan dengan aneka rasa dan jenis penggoyang lidah biar gelut –istilah keplek ilat– bisa ditemui. Tak pelak kota penyandang gelar bejibun, selain sebagai kota batik, bengawan, budaya dan jangan lupa kota keplek ilat kulinerian terpandang seluruh penjuru negri. Jangan bilang tidak tahu bila seseorang dari luar kota bertanya tempat jualan melegenda, seperti lontong balap, nasi liwet, tengkleng kalau ditanya, ngisin-isini. Jajanan lain yang tak kalah menjadi icon citra Solo sebagai kota keplek ilat, seperti caffe, dan tempat cangkruk wedangan alias hiek. Suatu ketika, seorang rekan jurnalis dari Manila ngajakin maem khas di Solo. Namanya juga tamu, mau tidak mau mengulurkan fulus buat ntraktir. Dia terkejut saat dari dompet saya luncurkan duit merah tak lebih dari selembar, masih ada kembaliannya. “Kenapa dikembaliin, katanya. “Memangnya tidak laku? Atau kembalian habis traktir saya. Murah sekali. Nanti saya ganti.” Gak usah diganti, transfer saja. Tak beliin kamu batik. “Kalau mau maem mahal ke Jogya, kataku pada dia.” (budi/je soe)

Previous Darah tinggi Pencabut Nyawa Tersembunyi
Next Blusukan ke Rumah Uwak di Sangiran Jangan Naik Andong

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *