Lenggut-Lenggut Ngejazz di Balai Soedjatmoko


Perhelatan Ngejaz di Balai Soedjatmoko Mampu Menarik ABG Lenggut-Lenggut Menikmati Jazz

Setidaknya lebih dari 15 kali pertunjukan jazz yang dihelat pengembang budaya kelompok Kompas-Gramedia di Balai Soedjatmoko pernah ditampilkan tanpa henti. Tidak hanya musisi lokal seputar Solo yang diundang manggung, dengan bayaran pertemanan, tapi juga didatangkan dari luar kota. Jangan membandingkan bayaran yang dikantongi para musisi jazz yang dihelat Dishubpar (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata) di masa lalu, dengan penampil jazz di Balai Soedjatmoko.

Apalagi buat nyangoni music jazz yang diundang dari luar kota bawa peralatan sendiri nyebrang ke kota Bengawan. Jelas tak mungkin bisa membayar puluhan hingga ratusan juta, bila mengundang musisi berkaliber nasional maupun internasional ke Balai Soedjatmoko. Meski pun tidak mengeluarkan puluhan hingga atusan juta rupiah para musisi jazz yang dijawil pemrakarsa jazz di balai Soedjatmoko, tetap hadir.

Ajang Ngejazz Wong Solo Berulangkali Diadakan di Kota Bengawan

Mereka, para musisi dan crew jazz jarang menampik undangan pemrakarsa Balai Soedjatmoko dan gruduk ke selasar di samping toko buku Gramedia. Sebut saja salah satu penampil yang acap tampil mengisi life music jazz seperti kehadiran pemusik Solo Jazz Society, tak mungkin endho bila memperoleh kehormatan manggung di selasar sempit di bekas ruang depan intelektual Soedjatmoko.

Jangan heran bila hidangan life music jazz di Balai Soedjatmoko lebih banyak digrudug para pencinta seni jazz generasi milenial zaman now.  Kehadiran para pecinta jazz di Balai Soedjatmoko selain lebih banyak dipenuh-sesaki mahasiswa dari luar kota, yang menunggu jadual tampil dua bulanan sekali di selasar Balai di Jl Slamet Riyadi, Solo.

“Asyik juga ndengerin jazz sambil nyomak-nyamuk maem-minum gratis di gerobak angkringan sampai kenyang yang disediakan panitia,” ujar Angia Ratnaputri, mahasiswi UGM yang suka ngejazz.

Kedekatan para musisi dengan penonton pun menjadikan pilihan penonton yang gandrung ngejazz di Balai Soedjatmoko. Selain tanpa basa-basi, sambutan protokoler dari sponsor dan pemerintah yang ngelontorin duit, panitia ngejazz di Balai Soedjatmoko memang tidak memberi jarak antara penonton dan musisi.

Daya tarik tontonan ngejazz di Balai Soedjatmoko lantaran banyak musisi muda dan acap masih berstatus mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Solo, Jogya, Salatiga dan Semarang; kadang juga menampilkan musikus tuweq.

Tidak hanya generasi sepuh yang suka manggung ngejazz di Balai Soedjatmoko

Barangkali memang penyelenggara ingin menampilkan musisi jazz campuran muda-tuwir jadi satu panggung.  Apalagi perhelatan para musisi jazz yang manggung setiap dua bulan sekali itu, dimainkan anak muda berdandan sak-karepe dewe, tentu menjadi daya pikat tersendiri.

Bisa jadi pula paguyuban ngejazz di Kota Bengawan itu  satu-satunya yang diminati penonton muda belia, ketika mereka komplit manggung bareng dengan membawa peralatannya sendiri.  Tidaklah mengherankan bila selasar depan Balai Soedjatmoko lebih sering umpek-umpekan disesak-padati para pengemar jazz, campuran ABG-orang tua.

Tak hanya ABG (anak baru gede) yang terpaku di kursi lipat hingga usai pertunjukan Jazz hingga larut malam, tetapi tiyang sepuh pun dibuatnya lenggut-lenggut mengikuti alunan musik Brasil  Tidaklah berlebihan bila malam itu, Kamis (22/3/2018), pengelola Balai Soedjatmoko mengundang Lola Thojjib, Endah Laras, Aditya Ong Trio dan JB Project.

Penampil musisi lokal Solo-Jogja, yang mendominir pertunjukan jazz di Balai Soedjatmoko, tentu akan terasa ciamik andai saja peniup flute dari Semarang disandingkan Saxopone asal Jerman mau berlama-lama nimbrung sampai tuntas. Sayangnya, Hans Buyer sang pengelana peniup saxopone tak diundang malam itu.

Balai Soedjatmoko, memberi tempat buat musisi jazz sepuh dan Abg bergabung lenggut-lenggut ngejaz

“Sayangnya tiupan flute dari Semarang tak disandingkan dengan saxophonis wong londho. Andai saja dia mau niup sampai larut malam dan mengundang Hans, tentu jazz semalam akan terasa pedas. Gwe kira peniup flute dan saxophone bisa guabrusan. Kalau gitu kan bisa jazz rasa sambal, ech kliru rasa samba ding,” ujar Vioneta mahasiswi asal Solotigo, “daripada nonton David Forster, larang. Mending nongkrong di sini bisa wedangan.”

Apa yang dinikmati Vioneta bukan mengada-ada. Genre musik jazz bergaya samba, yang dipelesetkan Vioneta menjadi sambel itu pun juga dinikmati peneliti musik keroncong asal Australia, Lancel Lessel, yang pernah nongkrongin pertunjukan jazz di Balai Soedjatmoko.

“Sangat menarik. Musisinya masih muda. Dan yang lebih menarik mereka melantunkan lagu lawas seperti ‘Girl from Ipanema’. Sayangnya karya Carlos Santana yang lain Black Magic Women, tak terdengar. Kalau saja itu yang dinyanyikan, pasti akan terasa pedas dan enak dinikmati,”ujar dia waktu itu.

Penikmat jazz asal Solo Eddy Je Soe mengacungi jempol rangkaian acara ngejazz dua bulanan di Balai Soedjatmoko. Biar suara tak terdengar, ujar dia, tersalurkan maem sego kucing dan wedangan gratis sembari lenggut-lenggut, ngejazz. “Mbok sesekali ganti nampilin rege. Mosok alasannya, music regae bikin rusuh. Siapa bilang?” (eddy je soe/Aan)

 

Previous Walikota Solo: "Membangun Tanpa IMB Dirobohkan’’
Next Red Sparrow Film Spy Ciamik

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *