Siapa Simpan Speda Onthel Warisan Bung Karno


Bung Karno bersepeda di jalanan pematang sawah. (courtesy pic Charles Breijer - Nederlands Fotomuseum)

Siapa bilang speda kuno tak laku jual. Bagi Anda pengemar speda pancal alias piet onthel ‘kebo’ berbanggalah lantaran dicap penyelamat kereta angin masalalu. Bukan hanya para pengemar speda lawasanan yang pantas diacungi jempol lantaran masih ngotot merawat speda lawas. Apa untungnya merawat piet onthel lawas peninggalan di jaman negeri masih dijajah Belanda dan Jepang sebelum pergolakan berakhir dulu.

Bukan hanya memori masalalu terlintas dalam jejak rekam ingatan sewaktu berjuang merebut kemerdekaan naik speda dikejar serdadu Belanda, tetapi juga waktu ngoncengin gebetan (baca: istilah dulu yang2an, asal kata sayang) pakai kebaya and keliatan culun melintas jalan ngronjal di desa.

Bung Karno bersama Ibu Fatmawati menikmati perjalanan samping persawahan di jalanan tempat tinggalnya (courtesy pic Ist)

Bukan sekedar alat transportasi mengangkut jerami dari sawah dan ikut bergerilya, tetapi juga digunakan membawa bambu runcing, dan acap dipakai bertandang ke rumah calon mertua. Jangan dianggap remeh mendorong-dorong speda lawas, bila melihat foto Bung Karno, jelas bukan speda sembarangan. Tentu speda bermerk bila si Bung sedang menuntun speda. Bisa jadi bikinan Belanda Reliegh yang dibawa ke Bandung. Speda kegemaran sang proklamator selain Reliegh, juga suka mengendarai merk lain Gazelle.

Bagi kolektor speda lawasan, nama-nama pabrik pembuat speda onthel seperti Reliegh dan Gazelle, konon kabarnya hingga sekarang masih memproduksi. Meski pemiliknya gonta-ganti tangan, toh pabrik besar di negoro Londo dan Ingris itu punya andil besar dalam perjuangan rakyat Indonesia.

Jadi jangan heran bila Anda menemui penggemar speda onthel lawas ingin menghadirkan masa-masa keemasan sekaligus kecemasan di masalalu, dan bernostalgia di jalanan raya ke Jogya atau Solo. Tidaklah mengherankan bila para pengemar speda onthel ‘kebo’ itu ingin bernostalgia blusukan ke kampung-kampung. Bukan hanya itu, beberapa waktu lalu, sewaktu walikota Solo dijabat duet Joko Widodo dan FX Hadi Rudyatmo, juga setiap minggu midher projo numpak piet bersama warga masyarakat.

Sebelum Gojeg sebagai alat transportasi resmi, ojeg speda di kawasan Stasion Beos, Jakarta, Glodog keberadaannya tetap ada hingga kini (pic: eddy jez)

Tentu warga masyarakat bersama duet walikota Jokowi-Rudy mider projo tidak mengangkut ‘dami’ alias jerami dari sawah nenek-moyang, tapi cukup jelas melihat dari dekat kesejahteraan warga kota menikmati hasil jerihpayah perjuangan para pahlawan sebelum merdeka. Keinginan melihat dari dekat kesejahteraan warga itulah yang dulu sering dilakukan walikota dan wakil walikota Solo midher projo, mengajak warga piet-pietan mubeng-mubeng kutho.

“Kalau dibilang ingin pamer, juga tidak. Wong kami cuma ingin jalan-jalan menyusuri Solo ke Jogya bolak-balik naik speda ontha jhe. Situ’kan tidak tahu kalau harga speda yang dipakai harganya bisa puluhan juta’kan,” kata Mardiatmono, 78 tahun asal Pedan di temui minggu lalu di ajang HUT Car Free Day (CFD) di Solo, “seneng saja diajak piet-pietan bareng pak Jokowi dan pak Rudy midher projo dulu.”

Menurut petani yang dulu pernah membantu jadi pengantar ransum tentara rakyat di Klaten, yang namanya kereta angin –sebutan speda– sejak teman-teman kakeknya sering ngepit mubeng-mubeng ndeso, menurutnya banyak cerita menarik dan mengesankan. Bukan hanya speda ‘perempuan’ yang digemari para pejuang waktu nguber musuh Londho, tapi juga piet onthel pakai dalangan. Piet buat laki-laki.

“Kalau yang pakai dalangan, itu speda bukan jengki. Speda lanangan, lebih kuat dan roso buat ngangkut bagor berisi beras,” ujar dia bercerita, “ini peninggalan kakek saya, tinggal satu ini Reliegh. Ndak tak jual. Buat kenangan. Padahal kalau saya jual bisa sampai puluhan juta. Apalagi speda yang dulu digunakan Bung Karno, pasti sangat mahal, kalau ketemu. Itu warisan sejarah.”

Kesan seperti itulah yang tetap awet melekat dalam ingatan para veteran kemerdekaan saat memperingati hari kemerdekaan di Tugu Lilin. Bukan hanya TRI yang bawa speda penuh dami dan di dalamnya diselundupkan Bren –senapan laras panjang buatan Soviet– dibawa kesana-kemari. Bukan hanya tentara yang gumbrigah –bangkit semangatnya– melihat kondisi rakyat compang-camping pakai celana dari kain goni –pembungkus beras dari serat tanaman Rosela. Bungkarno, ujar dia menirukan cerita kakeknya, ingin pergi ke sekolah mengendari speda seperti teman-temannya orang Belanda, sampai dibela-belain nyelengi duit jajan.

Speda pancal yang digunakan Bung Karno sewaktu diasingkan ke Bengkulu tahun 1938-1942

Bung Karno lantas berusaha mengerem uang saku buat jajan dan menabung sedikit-demi sedikit untuk membeli sepeda. Kemudian berusaha memperketat pengeluaran bulanannya agar bisa membeli sepeda. “Setelah beberapa lama menambung Soekarno akhirnya memiliki sepeda,” tulis Rosodaras, pengamat sosial dan penulis buku. Bung Karno juga dinilai piawai mengendarai speda onthel. Peninggalan speda onthel yang sering digunakan sewaktu dibuang Belanda di Bengkulu, hingga kini masih tersimpan pada tahun 1938-1942 di museum. Meski memiliki nilai sejarah tinggi, perawatan speda yang dulunya digunakan Bung Karno di tempat pembuangan di Bengkulu, mestinya masih dirawat dengan baik. Tapi entahlah saat ini. Biarkan speda onthel yang pernah dipakai Si Bung bercerita sendiri. (Th Desanto/Eddy Je Soe)

Previous Walikota Solo: "Brantas Radikalisme di Sekolah Dengan Pancasila"
Next Mencegah Kematian Pada Sel Otak Penderita Penyakit Parkinson

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *