Jauh sebelum presiden Jokowi sering blusukan ke berbagai kampung pinggiran kota, kabarnya ilmuwan tenar Charles Darwin lebih dulu klayapan ke pinggir kali sepanjang bengawan Solo. Entah lantaran ingin jalan-jalan dan meneliti asal-usul manusia, atau emang dari sononya Darwin emang suka bikin heboh tak satupun disebut dalam literatur. Yang jelas, namanya semakin moncer sebagai ahli evolusi bertaraf internasional dan diakui koleganya. Apalagi setelah rekan sejawatnya menemukan setumpuk balung batok kepala mirip manusia dan gigi geraham komplit yang ditulisnya dalam jurnal bergensi ketika itu, dan konon Darwin pernah mempostulatkan cikal-bakal manusia dan menyebut berasal dari monyet. Padahal sebenarnya Darwin tidak menyebut menyebut secara spesifik, sebagai cikal manusia lantaran pernah ditemukan balung ‘buto’ disebutnya monyet dipinggir kali ndeso Trinil dan Sangiran.
Benarkah manusia berasal dari spesies monyet? Debat ahli evolusi tampaknya telanjur menggerus nalar sehat. Perdebatan asal-muasal mahluk hidup manusia, berasal dari monyet kadung meresap dalam benak setiap orang. Apalagi, kala itu, pernyataan tersebut dilansir ahli teori evolusi sekaligus ilmuwan sekaliber Charles Darwin. Padahal, Darwin hanya membuat asumsi dan tidak menyatakan kalau simbah-simbah kita itu sebenarnya keturunan monyet. Dalam bukunya yang kontroversial itu, ilmuwan Ingris yang pernah melakukan penelitian asal-usul manusia hingga ke benua Hindia-Belanda tak pernah bilang seperti itu. Tidak percaya, datanglah ke situs Sangiran, tempat kuburan para leluhur manusia dan mahluk hidup masa lalu berasal.
Nama ndeso Sangiran melambung tatkala Dubois menemukan situs –daerah temuan benda purbakala–pertama kali ditemukan P.E.C Schemulling yang senang blusukan melakukan eksplorasi pada akhir abad ke-19 dan dilanjutkan koleganya Eugene Dubois. Rupanya Dubois ogah berlama-lama tinggal di Sangiran dan melanjutkan penelitiannya di kawasan Trinil, Ngawi. Dubois tidak sia-sia ngeker-eker lapisan tanah di lembah Bengawan Solo, Trinil, sekitar 40 km timur Sangiran. Apalagi pada tahun 1891 Dubois menemukan tengkorak dan tulang paha Pithecanthropus erectus alias Manusia Jawa. Nama Sangiran melambung setelah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia menetapkan sebagai cagar budaya dan diakui UNESCO sebagai situs warisan dunia. Sejak itulah ndeso Sangiran moncer namanya ke seluruh penjuru dunia. Ribuan pengunjung yang ingin melihat sendiri fosil nenek-moyang mencapai jutaan orang setiap tahunya. Mereka tak hanya melihat balung butho –istilah masyarakat setempat yang pernah menemukan fosil tulang-belulang di area seluas lebih dari 48 km² di wilayah administrative Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah.
Eksplorasi Lawas
Situs sangiran pertama kali ditemukan oleh P.E.C schemulling. Menurut pelacakan sejarah masalalu, eksplorasi pada abad 19, Eugene Dubois pernah melakukan penelitian di Sangiran. Tak lama kemudian berpindah di kawasan Trinil, Ngawi. Berbeda dengan Dubois, pada 1934 ahli antropologi Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald juga terjun mengikuti jejak Schemulling setelah menemukan balung buto –tulang raksasa– yang diperdagangkan. Saat itu perdagangan fosil mulai ramai akibat penemuan tengkorak dan tulang paha Pithecanthropus erectus (“Manusia Jawa”) oleh Eugene Dubois di Trinil, Ngawi tahun 1891. Trinil sendiri juga terletak di lembah Bengawan Solo, kira-kira 40 km timur Sangiran.
Dengan dibantu oleh Toto Marsono, pemuda yang kelak menjadi lurah Desa Krikilan, setiap hari von Koenigswald meminta penduduk untuk mencari balung buta, yang kemudian ia bayar. Pada tahun-tahun berikutnya, hasil penggalian menemukan berbagai fosil Homo erectus lainnya. Sekitar 60-an lebih fosil Homo erectus atau hominid lain yang pernah ditemukan di situs Sangiran maupun Trinil. Termasuk seri fosil lain megathropus palaeojavanicus. Selain manusia purba, ditemukan pula berbagai fosil tulang-belulang hewan-hewan bertulang belakang (Vertebrata), seperti buaya (Crocodilus), Hippopotamus (Kuda Nil), fosil gajah purba (Stegodon), berbagai rusa dan harimau purba. Penggalian oleh tim von Koenigswald berakhir 1941. Koleksinya sebagian disimpan di bangunan yang didirikannya bersama Toto Marsono di Sangiran dan menjadi Musium Purbakala Sangiran. Sedang koleksi penting dikirim, Koenigswald pada koleganya di Jerman, Franz Weidenreich. Meski demikian bila Anda ingin menggali lebih dalam soal sejarah manusia purba sejak dua juta tahun lalu di jaman Pliosen akhir hingga Pleistosen tengah, pergilah ke museum Sangiran. Lebih dari 13.086 koleksi fosil manusia purba dan situs manusia purba berdiri tegak (hominid) terlengkap di Asia.
Saat ini kawasan sangiran juga telah didirikan empat klaster berbagai bangunan sebagai tempat penyimpan dan ruang pamer fosil berbagai hewan bertulang belakang, fosil binatang air, batuan, fosil tumbuhan laut serta bebatuan masa lalu. Jadi tak ada salahnya blusukan ke Sangiran. Anggap saja berkunjung ke kubur nenek moyang kita. Siapa tahu Anda masih kerabat dekat mereka. Termasuk kerabat spesies primate alias monyet. Nah jangan kawatir kalau eLoe kagak bisa naik andong seperti masa si mbahmu dulu, gubernur Jawa Tengah telah memberi kemudahan transpoort dari terminal Tirtonadi, Solo ke Sangiran memakai bus kecil mewah. Hanya saja jangan sekarang kalian ingin halan-halan berkunjung ke Sangiran, daripada kesambet virus corona Covid-19, nanti saja kalau udah aman.
No Comment