Meski lama tidak bertemu muka dengan seorang teman, ia merasa tidak nyaman ketika teman yang diajak bicara setiap saat acap melihat layar smart phone dan tangannya sibuk memencet tombol keyboard. Bukan hanya jengkel, melihat perilaku aneh sohibnya yang ‘ngecuekin’ kedatangannya. Bisa saja dalam hatinya ngedumel, ‘sialan tuh orang’, toh lantaran kesopanan, ia membiarkannya.
Bagi seseorang yang berasal dari belahan negara lain, ketika diajak berbicara wajib hukumnya menghormati lawan bicara, meski nada dering hand phone berbunyi berkali-kali. Kalau pun terpaksa, ia akan mengangkatnya dan meminta maaf kepada lawan bicara, dengan mengatakan sedang berbicara dengan orang lain, akan segera menghubunginya. Bukan membiarkan lawan bicara Anda menunggu.
Meski pun bukan peristiwa besar ‘membiarkan’ teman Anda menunggu, jelas tidak sopan. Ralamalan futurolog Alvin Toffler yang menyebutkan tidak lama lagi kehidupan seseorang akan terjajah oleh kemajuan teknologi canggih komunikasi, benar-benar terjadi. Dampaknya hampir seluruh penghuni di negara maju dan berkembang diterjang gelombang kejut peradaban. Kehidupan bersosial diakui atau tidak terjajah oleh peralatan komunikasi hand phone yang mampu berseliweran membaca media sosial
Bukan kali ini para psikolog dan ahli jiwa mulai mempertanyakan dampak hubungan sosial pemakaian smart phone berselancar terhubung melalui komunikasi pengguna situs sosial media. Kekhawatiran akan terjadi ganggungan hubungan antarsesama kerabat, menurut Alvin Toffler, diperkirakan akan semakin renggang dan memicu kebiasaan lama bergunjing hal-hal yang tidak perlu dilontarkan, dan akhirnya depresi.
Paling tidak menurut hasil penelitian yang dilakukan Melissa G Hunt yang diterbitkan di Journal of Social and Clinical Pschology, dampak pengguna media sosial dapat berakibat meningkatnya depresi klinis. Menurut laporan hasil penelitian Hunt yang memantau penggunaan smart phone menggunakan aplikasi iPhone di Amerika Serikat menunjukkan kecenderungan pemakai mengalami gangguan emosional.
Setelah dilacak jejak pengguna secara komprehensif terhadap 143 mahasiswa yang sering berhubungan melalui medsos, mayoritas pemakai face book, Instagram maupun Snapchat; dan membandingkan dengan kelompok kontrol, perangai mahasiswa itu mengidap rasa cemas, ketakutan bahkan gejala psikosomatik.
Menurut Hunt, temuan menarik dari survey lain yakni setelah ‘sampel’ responden yang terjaring mengurangi pemakaian media sosial selama 30 menit dalam sehari kecenderungan perasaan cemas, takut dan gejala depresi psikosomatik berkurang.
“Temuan menarik dari survey ini yaitu, hanya 30 menit Instagram, Facebook, dan Snapchat sehari, merupakan pengurangan signifikan dalam jumlah waktu yang digunakan banyak orang di media social,” tulis laporan Hunt.
Setelah menganalisis data, Hunt menyimpulkan bahwa, “secara eksperimental membatasi penggunaan media sosial pada ponsel hingga 10 menit perbincangan per hari selama tiga minggu penuh memiliki dampak signifikan pada tingkat kenyamanan, tanpa rasa cemas dan ketakutan.”
Meskipun hasil penelitian cukup mencemaskan, toh penggunaan media sosial tidak memengaruhi aspek hubungan sosial antarpersonal meluas seperti yang dikawatirkan Hunt berdasarkan survey. Menurut mereka, aspek dukungan interpersonal tetap tidak berubah, meski pun mencuatkan rasa cemas, tidak Pede lantaran rendah diri.
Tetapi, kata Hunt, “kesepian dan gejala depresi tetap memiliki bukti signifikan terjadi pada kelompok eksperimen. Terutama siswa yang siswa yang setiap hari menggunakan media sosial lebih dari 8 jam, merasa lebih tertekan secara psikologis untuk tetap membuka medsos.”
Dalam penelitian yang dilakukannya, Hunt mengukur depresi menggunakan metode Beck Depression Inventory (BDI) berdasar skor di atas 14 pada skala BDI menandai cut-off ditengarai depresi klinis. Siswa yang mengurangi penggunaan media sosial mereka turun dari rata-rata 23 menjadi 14,5 “Artinya terdapat responden yang diwawancarai masih mengalami tingkat depresi klinis, dan menunjukkan kejelasan significan.”
Lebih jauh dalam wawancara terstruktur yang dilakukan Hunt, tim peneliti juga mengungukur tingkat kekawatiran, kesenangan, depresi, ketakutan, kehilangan, harga diri, kesepian dukungan social, otonomi dan penerimaan diri pengguna media social.
“Berpantang atau menghentikan komunikasi lewat media social secara ekstrim tidak perlu larangan. Meskipun sebenarnya ada baiknya diimbau agar membatasi diri agar tidak cemas. Bisa jadi ponsel kita acap membuat kita kesepian dan tertekan,” tulis laporan itu.
Hasil analisis dengan membandingkan kelompok control dalam survey yang dilakukan, Hunt menyimpulkan secara eksperimental membatasi penggunaan media social pada ponsel hingga 10 menit per platform per hari selama tingga minggu penuh, memiliki dampak signifikan pada tingkat kenyamanan yang menggembirakan.
“Secara eksperimental membatasi penggunaan media sosial pada ponsel hingga 10 menit per platform per hari selama tiga minggu penuh memiliki dampak signifikan pada tingkat kesenangan,” kata dia, “kesepian dan gejala depresi menurun pada kelompok eksperimen.” (eddy j soe / dari berbagai sumber)
No Comment