Sedikitnya tiga dari 18 mahasiswi peserta pelatihan jurnalistik mengaku pernah melihat film pornografi. Tidak hanya dilihat lewat film CD, tetapi mereka mengaku menonton dalam gadget smart phone. Bila ditakar umur para mahasiswi yang pernah melihat film porno, usia mereka tak lebih 21 tahun. Artinya, ketika mereka lulus dari sekolah menengah umum film-film pornografi tak mungkin mereka dilewatkannya.
Buktinya, film semi seperti Fifty Shade of Gray yang mempertontonkan adegan ranjang secara vulgar, mereka hafal di luar kepala nama actor dan aktris pemain film. Tidak ada salahnya, ujar Mawar –bukan nama sebenarnya– salah satu peserta di salah satu institute seni di Solo, melihat film “semi biru” sendirian di kamar.
![](http://sarklewer.com/wp-content/uploads/2017/12/Fifty-Shade-of-Gray-104.jpg)
“Mulanya sih pingin ngerti apa yang menjadi trending topic di media, kepingin ngerti. Enggak tahunya keterusan ingin ngelihat film semi biru. Emang salah, rasanya tidak. Sepanjang kami mengerti teknik bercinta saja,” ujarnya, “asyik juga sih. Tapi’kan nontonnya sendirian di kamar.”
Tak bisa disalahkan ketika seseorang telah menginjak dewasa ingin mengetahui teknik bercinta seperti dalam adegan film porno. Persoalannya, ketika anak-anak muda, kecanduan menonton film pornografi, ujar Nicole Sacarovic kandidat doctor psikologi contributor Sarklewer.com di luar negeri, takutnya akan dipraktikkan setelah memahaminya.
![](http://sarklewer.com/wp-content/uploads/2017/12/Hipies-iStockcom.jpg)
“Memang tidak ada salahnya melihat film porno. Apalagi sekarang film sex ada dalam gengaman. Yang ditakutkan, kalau sudah terbiasa nonton dan kemudian kepingin mempraktikkannya akan jadi runyam,” ujar dia melalui skype, “persoalan lain bagaimana kalau hamil dan terjangkit AID. Di luar negeri, setiap program gaget ketika memutar film porno dapat dipastikan terblock secara langsung.”
Film bergenre semi biru, seperti dalam trilogy Fifty Shade Gray, Fifty Shade the Darkn dan Fifty Shade of fleed, tak bisa langsung dituding sebagai biangkerok pembawa mahzab: harustahu, (perlu) dimengerti dan (tak) pantas ditiru dapat dijadikan pembelajaran. Apalagi di dalam dunia pendidikan, hal-hal yang dianggap porno menjadi tabu dibicarakan.
![](http://sarklewer.com/wp-content/uploads/2017/12/Fifty-Shade-of-Gray-103.jpg)
“Padahal sex education, sepanjang yang saya tahu, seharusnya diajarkan. Bukan perkara pelajaran bagaimana hubungan sex terjadi, tetapi lebih pada persoalan akibat berhubungan sex,” ujar Nicole, “daripada mereka tidak mengerti akibat pertemuan seltelur dan sperm bisa berakibat hamil. Belum lagi kalau terinveksi HIV Aid.”
Perkara mengajari sex education pada murid ditentang kaum intelektual agamawan, itu persoalan lain. Justru sebaliknya, di pundak merekalah pendidikan sex perlu disebarluaskan. Justru, ujar Nicole menambahkan, sex education tidak seharusnya dihambat diberikan mata ajar di bangku sekolah menengah atas.
“Pendidikan sex, bukan mengajari menonton film biru di dalam kelas. Tetapi lebih pada pengertian sebab-akibat berhubungan intim, bila tak terkontrol. Boleh juga selintas diputar film semi biru. Hanya saja pengajarnya harus memahami kondisi psikologis murid-murid,” katanya
Bukan hanya Nicole Sacarovic yang sepakat memberikan pelajaran sex education agar disampaikan di sekolah, tetapi juga aktivis perempuan. Menurut Pramitha Saraswati, mantan aktivis perempuan Selendang Ungu, yang tinggal di Jerman, menyatakan kekawatirannya akibat serbuan film porno yang disebar melalui hand phone pintar.
![](http://sarklewer.com/wp-content/uploads/2017/12/Photo-Model-Istock.jpg)
“Namanya kalau sudah ketagihan menonton film porno, pertanyaannya adalah apa mereka tidak ingin menjajal. Apalagi kalau cowoknya sering nongkrong bareng di rumah kos. Rasanya kok sulit menolak ajakan melakukan hubungan intim. Apalagi mereka nontonnya berdua di layar hp yang lebar,” ujar dia
Apa yang dikatakan Paramita sejalan dengan temuan kolumnis Cole Delbyck, Entertainment Writer HuffPost, juga menyayangkan bila film pornografi seperti serial Fity Shade of Gray atau Fifty Shades Freed mudah menyebar melalui gadget tanpa tersensor.
“Secara pribadi saya menyangkan begitu mudahnya film-film pornografi cepat tersebar melalui handphone pintar,” tulis dia
Sama halnya Cole Delbyck, gurubesar University of Łódź, Dr. Leszek Putyński mewanti-wanti pentingnya pengawasan terhadap film-film porno yang dengan mudah dapat diupload melalui smart phone. Apalagi, katanya dalam live conference, yang melihat film porno lebih banyak anak muda di bawah usia matang.
“Hal seperti itu yang penting diawasi regulasinya. Paling tidak pemerintah di negara berkembang penting membuat regulasi yang secara langsung dapat mematikan saluran pornografi,” tandas dia
.
No Comment