Entah siapa yang ngajari designer jaman old membuat pola celana alusan –non-jean– lebar bawah istilah lawasan model yé-yé, tak satupun kid jaman now mengetahui persis. Jangankan anak muda geblek sekarang pingin ngerti dan nyobain, sumpe kagak berani. Padahal di era tahun 1970-an, anak muda tidak memakai celana komprang model yé-yé dapat dipastikan anak mami.
Bukan hanya gaya celana alus bila dipakai melambai-lambai mengipasi jalanan, yang kini mulai diglontorkan designer kondang macam almarhum Thea Porter misalnya gigih menggabungkan imajinasi esotis bebas mengalir hingga model bohemian, kini kembali digemari.
Apalagi jelang pergantian tahun 2017, para perancang busana kaum jetset mulai merancang design bergaya lawasan tahun tujuh puluhan. Desinger Inggris seperti Bella Freud, bahkan mulai mencuatkan karya tergres dengan ide cemerlang menggabungkan desing milik kaum jet set dengan gipsi, aneh tapi laku.
Mana mungkin gaya-gaya globe trotting yang glamour, mewah, hedonistic dan terlihat flamboyan digabruskan dengan model pakaian wong urakan. Rasanya tak ada yang mustahil dalam dunia fashion. Jangankan cuma mencampur-adukkan model kaum jet set dengan mode pakaian gipsi, lha wong model jas dan gaya rambut presiden AS aja dapat dibuat sesukanya oleh designer kondang jhe, apalagi cuma pakaian gipsi.
Nampaknya peminat mode gaya awut-awutan kid lawasan era 70-an mulai merambah jagat fasion. Lihat saja model celana robek saksenengnya, tulis Nicole Sacarovic coresponden luar negeri, mengusulkan topic liputan ‘back to 70s Era’ ke redaksi Sarklewer.com. “Sesekali dong mengcover liputan yang kagak berat-berat. Gwer usul buat ngisi rubrik Mode ‘Kembali ke Tahun 70-an’ pokmen itu. Redaksi harus berani menoleh ke tahun lawas,” tulis dia dalam emailnya.
Lantaran usulan coresponden yang kagak pernah minta honor tulisan dari luar negeri, apa boleh buat redaktur Sarklewer.com ‘terpaksa’ mengiyakan usulan dia ‘menoleh mode lawasan’. Padahal, kalau mau jujur usulan Nicole paling juga dapat bisikan simboknya yang lahir tahun 1950-an. “Honor gwe ditabung di kantor, boleh acara Natal and Tahun Baru, tapi jangan semua dihabisin. Lainnya kapan-kapan kalau balik buat jajan rame-rame,” katanya kemayu.
Lalu apa yang membuat periode ini menjadi era yang berpengaruh dalam mode? Menurut Lindsay Baker, BBC Culture, mode tahun 1970-an lebih lembut, lebih romantic, kurang agresif, dan lebih bebas mengalir. Juga mengingatkan pada budaya di Negara lain, terutama Afrika Utara dan Timur Tengah, dan yang lebih penting bernostalgia tahun 1930-an.
“We’ve had a tough, hard, modern, utilitarian approach in fashion for a few years, with a lot of digital prints. The 1970s bohemian look is the opposite, and it’s an easy approach to dressing,” tulis Lindsay Baker dalam BBC Culture, “It may also be that the ‘70s boho look chimes with our times in a broader sense, too. Yes, he says. “It feels more real, honest and human. In the current digital age people are valuing those qualities more – and also they are valuing experiences and travel. And the high street has reached saturation point – it’s why vintage has become so popular.”
Bila trend mode di luar negeri kembali ke era-70an, lantas apakah para designer Indonesia juga akan mengekor para perancang adi busana? Entahlah. Padahal kalau mau mengeksplor kemampuan designer negeri ini tak kalah dalam mendesing rancang mode stylis. Hanya saja, para designer kita, minder.
Tidak berani tampil beda. Bagaimana tidak minder yang dihadapi designer kelas dunia seperti Giorgio Armani, Saint Laurent atau Luis Vuitton entahlah. Yang pasti designer Indo tak mampu bersaing dengan perancang caliber dunia. (nicole/eddy je soe)
No Comment