Entah mengapa chantik —kepala buritan perahu— terpasang patung kepala raksasa menyeramkan ketika rombongan Keraton Kasunanan Surokarto Hadiningrat melakukan lawatan melamar putri kerajaan Madura menjadi permaisuri Pakubuwono IV. Lantaran berlayar melalui Bengawan Solo dan menyeberang berbagai kanal dan laut, pangeran Pakubuwono V, putra mahkota raja keraton Kasunanan Solo, menaruh patung kepala butho yang diberi nama kiai Rojomolo.
Konon menurut floklor, patung kepala rojomolo diartikan sebagai simbol perahu yang ditumpangi kerajaan juga dikawal oleh raja-raja demit penjaga laut dan kali bengawan ketika melamar permaisuri Pakubuwono IV ke Madura. Hingga kini, kedua patung Kyai Rojomolo tersimpan di Musium Radjapustaka dan di dalam Keraton Kasunanan Solo.
Entah permaisuri Pakubuwono IV berhasil di bawa ke Keraton Kasunanan Solo, tak banyak literatur yang membahas lamaran kerajaan Solo ke Madura. Sama halnya sisa perahu yang dipakai menyusuri Bengawan Solo menuju ke Madura tak banyak literatur yang membahas persoalan lamaran raja Solo ke Madura.
Meski demikian, tutur mbah Hadi sebelum meninggal, penjaga museum Rajapustaka, mengatakan perahu yang digunakan melakukan lawatan ke Madura mestinya masih berada di suatu tempat di sekitar telukan. “Menurut cerita perahu ada di sekitar delta di Telukan, tempat ketika PB IV meminang permaisuri ke Madura,” ujarnya, “kedua Chantik kyai Rojomolo juga tersimpan di keraton dan musium.”
Hingga kini canthik kedua kepala perahu Rojomolo, diperkirakan telah berumur 120 tahun tersimpan di dua tempat. Selain dianggap sebagai benda peninggalan bersejarah Keraton Kasunanan abad XVIII, canthik Rojomolo tak memperlihatkan tanda-tanda lapuk dimakan rayap. Itulah sebabnya, banyak warga yang datang berkunjung ke musium masih menganggap Rojomolo angker tak bisa dianggap main-main.
Meski jaman telah berubah toh masyarakat Solo dan sekitar, bila berkunjung ke Museum Radya Pustaka, masih menomorsatukan konsekwensi kesakralan benda yang dianggap keramat sehingga tidak berani yang cegegesan tidak hormat di depan patung kepala butho terbuat dari kayu jati alas angker Donoloyo, Wonogiri Selatan.
Pernah suatu kali, tutur Almarhum Mbah Hadi, beberapa waktu lalu, serombongan pelajar dari Jakarta, seenaknya mengeplak kepala Rojomolo sambil berteriak-teriak. ”Tidak ada yang ditakuti. Apaan cuma kayu?” Belum sampai anak itu keluar dari pintu depan, cerita Mbah Hadi, tiba-tiba ia terpental dan beteriak-teriak histeris. ”Kejadian itu kalau pada hari Jum’at, Kliwon, tahun 1980-an,” cerita Mbah Hadi sebelum tersangkut kasus waktu itu.
Menurut penuturannya, canthik Rodjomolo, pada waktu kejayaan Keraton Kasunanan Abad XVIII selalu digunakan raja untuk mengarungi Bengawan Solo dari Bandar Beton, Nusukan, Semanggi dan Mojo setiap musim penghujan. Selain perahu lain yang acap hilir mudik mengangkut garam dari Gresik, perahu dengan Canthik Rojomolo, sesekali juga ikut mengawal perahu niaga milik keraton Solo, bila situasi ditengarai tidak aman.
“Perahu keramat semasa Raja Paku Buwono (PB) IV, yang dinamai Kiai Rojomolo, sesekali ikut mengawal kalau ditengarai situasi di sekitar sungai Bengawan Solo tidak aman,” tuturnya waktu itu.
Entah kenapa canthik perahu kraton memilih nama Rojomolo bukan yang lain, tak satupun sejarawan dan pengkoleksi benda-benda keramat di Solo mengetahui alasan PB IV memilih nama itu. Padahal kosakata Jawa, Rojomolo artinya raja persoalan. Literatur lawas yang tersimpan di Museum Radya Pustaka menyebutkan kemungkinan besar nama Rojomolo diambil dari folklore di Kerajaan Kickapura, berarti telur jelmaan Dewi Watari, pengawal Resi Indradewa. (eddy j soetopo)
No Comment