Dedikasinya dalam dunia fotografi kala itu masih kuat, meski usianya hampir 78 tahun, sebelum wafat 6 tahun lalu. Lahir sebagai anak keempat dari enam bersaudara, Sri Suharti awalnya mulai berfoto saat duduk di bangku SMP, sebelum akhir hayatnya ia tetap jeprat-jepret mengabadikan suasana di tempat-tempat sakral –tidak semua orang bisa seenaknya hilir mudik– di dalam keraton kasunanan dan mangkunegaran, setiap ada acara
Berbekal kamera Rolleicord pinjaman perempuan kelahiran 10 Agustus 1930 mulai menggeluti dunia fotografi. Dia teman-temannya dijadikan sebagai model ndeso, begitu ia mengistilahkan. Padahal saat itu belum banyak orang yang menggunakan kamera format 120 mm. Ketertarikannya pada dunia gambar film tumbuh ketika ayahnya memberinya kamera sebagai hadiah, saat ia bersekolah di SMP (Sekolah Menengah Pertama) putri di Pasar Legi, Solo.
Suasana jaman agresi militer tentara Londo yang membawa kekacauan seluruh aspek kehidupan di Kota Solo membuat Sri Suharti menjadi penyebab Sri tidak dapat melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Ia masih ingat ketika rumahnya di Panularan diubah menjadi dapur umum tentara yang berperang dalam perang gerilya melawan Belanda. Ia bahkan terlibat dalam kancah perang saat para prajurit angkat senjata, ia berperan sebagai mata-mata gerilyawan di bawah komando Slamet Riyadi di Solo. Sri Suharti berkesempatan untuk mengabadikan tentara yang bersembunyi di rumahnya dalam foto. “Saya tidak tahu apakah saya masih memiliki foto-foto itu atau tidak,” katanya, kala itu.
Hobinya memotret nyaris sirna ketika ayahnya meninggal dunia pada 1951, jika bukan karena ia menerima lamaran dari Murjito, pegawai negeri yang bekerja pada Bagian Dokumentasi dan Urusan Masyarakat Kota Surakarta pada 1954. Empat tahun setelah ayahnya meninggal, dia tidak lagi menjalankan hobinya memotret. “Satu-satunya hal yang saya lakukan sepanjang hari adalah duduk, menatap dan merenungkan nasib, katanya,” Tapi setelah menikah dengan Mas Murjito, hasrat saya untuk memotret tumbuh lagi. “
Masih menggunakan kamera Rolleiflex dan Rolleicord pinjaman, Sri kembali menjalani hobinya yang terlupakan. Suaminya, Murjito, mendorongnya untuk kembali menyibukkan diri dengan fotografi, dan mengabadikan sejumlah peristiwa di Solo tahun 1970-an. “Mungkin sudah 16 tahun saya tidak memotret,” katanya, sebelum meninggal 6 tahun lalu, “tapi yang namanya hobi, segera saya menguasai kembali teknik motret.”
Meski suaminya bekerja untuk pemerintah, Sri Suharti dan keluarganya menjalani kehidupan sederhana. Kehidupannya mulai membaik setelah mendapat kepercayaan dari Keraton Kasunan Surakarta untuk berfoto di sekitar Keraton. Ia mendapatkan pekerjaan tersebut saat pihak Keraton menggelar acara keluarga.
Setelah itu, ia dipercaya menjadi salah satu fotografer ndalem (dalam) Keraton Surakarta pada pertengahan tahun 1975. Ia masih ingat betul bagaimana salah satu putri Paku Buwono X memintanya untuk berfoto di hari ulang tahun seorang putri Keraton. Dia diminta menggunakan film berwarna. “Sejak hari itu saya menggunakan film berwarna,” ujarnya.
Setelah acara itu, tugas terus berdatangan. Bahkan beberapa jenderal memerintahkannya untuk acara besar, hari belasungkawa di Sukoharjo ketika salah satu anggota pasukan Garuda tewas di Kairo, Mesir. Dia mendapat honor yang cukup besar yaitu 25 ribu rupiah untuk penugasan itu. “Saya menggunakan kamera Zeizz Icon 645 yang sering saya gunakan untuk acara-acara penting,” katanya.
Suatu hari, Sri Suharti ditawari gelar kehormatan dari keraton, namun tidak diterimanya secara langsung. Anak bungsunya yang juga bekerja di keraton mengurusi segala hal terkait penganugerahan gelar kehormatan untuk ibunya. Pada tahun 2000, setelah mengabdi di keraton selama 20 tahun, Sri Suharti menerima gelar dengan nama: Nyi Lurah Listyowati. Pada tahun 2006, jabatannya ditingkatkan dan ia diberi gelar baru: Nyi Tumenggung Trisno Prasetyaningtyas.
Gelar ini tidak membuat Sri Suharti sombong. Dia masih rendah hati dan tidak ingin jarak dalam hubungannya dengan orang-orang yang dia foto atau siapa pun yang bekerja untuk keraton. Bersama keenam anaknya ia masih mendiami sebuah rumah mungil di pinggiran Kota Solo dengan 17 cucu yang setia menemaninya.
Setelah bekerja keras memotret setiap kegiatan di dalam keraton, keinginan Sri Suharti memiliki camera terwujud. Bahkan beberapa camera diantaranya hadiah dari fotografer ternama dari Jakarta. “Mas Darwis (Triadi) memberikan saya Canon Ftb, Seagull, Nikon EM, dan Nikon FM2 dengan flash lama Metz CT 60,” ucapnya gembira. “Lumayan untuk memotret, saya akan berikan uang ekstra yang saya dapat kepada cucu saya. Saya bisa menghasilkan 10 ribu hingga 25 ribu rupiah setiap kali saya memotret. Tergantung siapa objeknya,” tambahnya.
Kehadirannya dalam dunia photografi, waktu itu tentu, acap membuat para undangan yang hadir pada acara di dalam keraton bertanya-tanya dalam hati. Bagaimana mungkin seorang perempuan sepuh dengan leluasa mengabadikan tetamu di dalam tembok keraton yang sedang berlangsung dengan khidmad, jeprat-jepret tanpa sungkan. Tidak hanya di ndalem keraton kasunanan Solo, tetapi juga ketika diadakan dalam acara di pura Mangkunegaran, Sri Suharti tidak canggung mengabadikan melalui cameranya.
“Setiap kali ada acara, di ndalem keraton kasunanan maupun mangkunegaran, saya selalu membawa camera. Biar bisa dicetak dan jadi koleksi objek yang saya photo,” katanya, “sukur-sukur setelah saya kirimkan hasilnya dapat penganti ongkos kirim. Sambil nguri-uri kabudayan.” (tim indepth/eddy je soe 2004)
No Comment