L iek Sardju ingat betul tatkala terserang gabag, membuat badanya panas-dingin berminggu-minggu, pada era 60-an. Ia harus dipapah sekampung naik andong dari kampungnya Jagalan, ke rumah sakit Pantikosala, Kandang Sapi, Modjosongo. Selain tidak banyak dokter praktik umum seperti saat ini, juga hanya rumah sakit besar seperti di Rumah Sakit Kadipolo, CBZ dan rumah sakit tentara Djawatan Kesehatan Tentara (DKT).
Paling dekat di bawa ke Kandang Sapi. Selain tidak banyak ongkos ke luar dari kantongnya, ke rumah sakit Panti Kosala, menurutnya penanganannya sangat cekatan. Apalagi yang menangani tenaga dokter bertangan dingin terkenal ahli gabag yaitu dokter Oen. Menurut Sardju, kepiawaian dokter yang satu itu memang tak ada taranya. Selain ramah, tanpa pandang bulu menangani pasien yang berobat di RS Kandang Sapi.
“Pokoknya, orang di sekitar Jagalan itu kalau ndak berobat ke RS Kandang Sapi ndak marem. Apalagi yang menangani dokter ahli gabag, dokter Oen,” ujar Sardju beberapa waktu lalu, “dokter Oen ndak pernah membedakan pasiennya bakul atau juragan sapi. Smua ditangani. Saya mondok seminggu di bangsal kelas embek.” Dokter Oen Boen Ing, memang bukan sembarangan dokter. Bila dibandingkan dengan dokter sekarang, bak langit dan bumi bedanya.
Pengabdian tanpa pamrih sebagai dokter seumur hidup menolong sesama manusia tanpa pandang bulu, tampaknya mengalir dalam darah arteri vena terkecil di sekujur tubuh Oen. Tenaga, kemampuan dan pikirannya dicurahkan total bagi memenuhi panggilan nuraninya menolong warga masyarakat Kota Solo. Padahal kalau ia mau berbuat melenceng dari sumpah profesi sebagai dokter, jelas pendapatan berpraktrik di luar rumah sakit, bisa saja berlipat-lipat untuk kepentingan diri dan keluarganya. Tetapi dokter Oen tidak melakukan hal itu. Ia lebih senang membesarkan klinik di tapal batas Kota Solo bagian utara bersama koleganya, menjadi rumah sakit yang besar.
Dilahirkan pada 3 Maret 1953, dari keluarga pengusaha tembakau kaya raya asal Wonosobo dan Salatiga, tak membuat Oen terlena oleh kehidupan hedonis serba mudah dan nyaman. Kakeknya seorang sinshe yang membuka balai pengobatan di desa, jauh dari keramaian kota besar tampaknya menarik perhatian Oen mempelajari hal-ichwal pengobatan tradisional. Setiap kali diajak liburan di rumah kakeknya, Oen seringkali memperhatikan cara engkongnya mengobati pasien. Ia mulai menghafal pelbagai jenis ramuan herbal yang diberikan kakeknya pada pasien, hingga hafal letak penyimpan obat dedaunan di laci.
Pelajaran berharga yang dipetik saat Oen sering berkunjung ke balai pengobatan, ketika kakeknya berpesan agar ia melayani sepenuh hati pada orang lain. “Tuhan memberikan rejeki pada kita selama tangan kita melayani, selama hati kita dipenuhi raca cinta,” tutur kakeknya yang membekas sampai akhir hayat Oen Boen Ing. Pernah suatu hari Oen dipanggil ayahnya mengendari mobil melancong keliling Solo.
Ayahnya meminta Oen agar meneruskan bisnis tembakau dan mengurus administrasi keuangan bisnis keluarga, bukan menjadi sinshe. Tapi Oen tetap pada pendiriannya ingin menolong sesama manusia. “Aku ingin melayani orang lain, membuat orang lain yang susah jadi sehat. Aku ingin seluruh hidupku menjadi penolong, ayah,” ujar dia setiap kali dirayu meneruskan bisnis tembakau ayahnya.
Akhirnya, Oen diperbolehkan melanjutkan di sekolah Kedokteran STOVIA, sekolah dokter terkenal di era pergerakan kemerdekaan. Oen Boen Ing lulus pada 1932 menjadi sarjana kedokteran, dan kerap dipanggil dokter Oen. Bersama temannya, Tan Kiong Djien, ia menggagas klinik pengobatan modern yang dikelola secara profesional. Beserta koleganya, Tan Kiong Djien dan Oen mensosialisasikan pembentukan Hua Chiao Tsin Nien Hui atau Perhimpunan Pemuda Tionghoa.
Dari situlah kemudian pembangunan Poliklinik Panti Kosala yang artinya Penolong Kehidupan didirikan. Kiprah Dokter Oen tak hanya berada di belakang meja dan memeriksa pasien di rumah sakit saat keadaan aman. Semasa perang serangan umum Solo pada 1949, saat pasukan Slamet Riyadi berjibaku mengusir NICA, Dokter Oen hadir menolong pasukan yang terluka tak menghiraukan hujan peluru.
Ia sering blusukan membawa pasukan yang terluka parah. Tak jarang ia kerap pula mengaputasi, saat terjadi perang bubat di Solo, bila diperlukan. Di tempat praktiknya, ia menempatkan kotak uang bagi pasien yang ingin membayar semampunya. Tak mengherankan bila pasien kebanyakan berasal dari masyarakat tak mampu seperti tukang becak, pedang sayur, penyapu jalan, kuli pasar. Tak jarang dokter Oen justru memberi sangu pada pasiennya bila datang berobat jalan kaki. Tidak mengherankan bila kepergiannya menghadap sang pencipta ribuan rakyat jelata ikut melayat pada tahun 1982. Ia memang terlahir sebagai dokternya kaum papa (Thomas/eddy j soe/berbagai sumber)
No Comment