Lima tahun lalu, jurnalis papan atas mengulas mode tahun 70-an kembali. Munculnya gaya hidup 70-an kembali ditengarai oleh mahzab bohemianism yang dianut para artis, penulis, jurnalis, musisi dan aktor di kota-kota besar eropa yang terpinggirkan dan miskin. Nampaknya penganut mahzab gaya hidup bohemianisme tak bisa dipandang remeh, lantaran memang pilihan memandang politik, sosial dan budaya yang tidak lazim dan bahkan bertentangan dengan gagasan yang diuber-uber warga masyarakat biasa agar hidupnya mapan, tenteram dan sejahtera tapi ditinggalkan para bohemian. Bisa jadi mereka, para pengikut bohemnian, udah telanjur bosen dengan kehidupan mewah, glamour dan mapan itu ingin kembali ke masa-masa kehidupan rakyat pada umumnya yang sedang mengalami kesusahan.
Bisa jadi penyebab utamanya bukan lantaran pemerintah tak peduli terhadap kehidupan rakyatnya, tetapi emang udah dari ‘sono’nya mereka terpinggirkan dan kesusahan alias, kalau boleh dibilang, melarat-rat-rat. Para pengikut bohemian di era pandemi saat ini justru ingin menikmati gaya hidup susah di pojok-pojok dusun dan kampung di seluruh penjuru tanahair dan juga di negri-negri kaya-raya lain seperti di Manila yang akan melakukan pemilihan umum dalam waktu dekat. Bila pada tahun 70-an mencuat model bohemian-gypset yang bebas mengalir tetapi ekotis, menurut Lindsay Baker, tahun 2024 bisa jadi akan terulang kembali jelang pemilihan kepala daerah alias Pilkada.
Mereka tak lagi mengenakan pakaian yang glamour, chick dan mewah, tetapi justru malah melawan arus makai pakaian alakadarnya compang-camping, ngikut kampanye sebagai pendukung calon pejabat tingkat daerah maupun provinsi. Hanya saja, di dalam dompet para bohemian itu terselip ‘duit plastik’ yang sewaktu-waktu dapat digesekkan dan tinggal di hotel mewah, toh mereka ogah menggunakannya. Tentu mereka berharap memperoleh duit dari ‘ngamen’ jadi jurubicara alias jurkam, entah partai apapun tergantung perolehan amplop sewaktu cuap-cuap. Modalnya, tentu wajah molek, bisa tereak-tereak seperti pesanan, dan siap bergoyang pinggul bila disediakan musik dengan laudspeaker digeber pol-polan. Mungkin juga ada yang ogah ikutan kampanye, atau jadi vote getter pencari suara, bila hasilnya tak membuat isi dompetnya buat beli lipenstip. “If it’s only one million, why join as a campaigner? It’s better to read textbooks. Besides, the people we support won’t want to know what you’ve become,” kata Viesley Morante, jurnalis kampus di Manila
Tak mengherankan bila para selebritas papan atas orang kaya baru atawa Okb, yang tadinya memuja dan mengelu-elukan kehidupan para pesohor multimilyarder tidak mengenali penampilan kaum bohemian yang ‘menyamar’ sebagai wong mlarat saat bertemu dengannya. Mungkin itulah yang menjadi kebahagiaan para penganut bohemian ketika menikmati pergantian musim semi di negeri kaya raya itu. Itulah fenomena tergres dikala dunia dirundung wabah pandemi virus mematikan tahun 2020 ini. Kaum Gypset sebutan bagi penikmat kehidupan gabungan ‘jet set’ dan ‘gipsi’ jelas nyeleneh mengenakan pakaian justru sangat sederhana. Mengenakan jaket broklat coklat kumuh dan celana ala kaum gipsi, mirip tahun 1970-an toh tetap saja, tentu bagi yang mengenal wajah asli para super kongklomerat itu, akan terperangah atas kesederhanaan pakaian yang dikenakannya.
Mengingatkan pada pakaian yang sebelumnya dipakai para kongklomerat kaum Gypset saat berada di Fashion and Textile Museum, karya-karya designer ngetop saat itu seperti Thea Porter yang menjadi langanan Julia Roberts, Nicole Richie dan Mary-Kate maupun Ashley Olsen pada tahun 2000 dulu. Entah lantaran apa yang menjadi penyebabnya, para kongklomerat Gypset itu ingin kembali pada masa-masa dirinya pontang-panting cari makan dan hidup melarat-rat ingin balik ke masa lalunya.
Lalu apa yang membuat periode ini menjadi era yang berpengaruh dalam mode? “Pada akhir 1960-an orang menginginkan perubahan,” Dennis Nothdruft, kepala kurator museum, mengatakan kepada BBC Culture. “Fashion menjadi lebih lembut, lebih romantis, kurang agresif, bebas mengalir. Budaya lain – terutama Afrika Utara dan Timur Tengah – serta nostalgia untuk tahun 1930an dan era Victoria disadap. Dan fashion menjadi lebih selaras dengan musik. “Barbara Hulanicki dan Ossie Clark mungkin lebih dikenal, tapi Thea Porter berada di garda depan, katanya.
No Comment