Ahli Penyakit dan Penemu obat Alergi Meninggal di Usia 108 Tahun


Doktor William Frankland, dokter pejuang penemu obat alergi meninggal di usia 183 tahun

Disaat dunia dihebohkan kehadiran Covid-19 alias virus Corona yang memakan korban nyawa ribuan warga di seluruh dunia membuat seluruh rumah sakit dan petugas medis berjibaku mengadu nyawa untuk menyelamatkan nyawa manusia. Tiba-tiba dunia kedokteran dikejutkan dengan wafatnya ahli alergi ternama sejagad dari Ingris, Doktor Alfred William Frankland. Di usia senja, 108 tahun, yang seharusnya dinikmatinya ‘kakek’ perintis imunoterapi, pencetus obat berasal dari serbuk sebagai bahan dasar obat khusus alergen, namun toh Gustiallah memanggilnya ‘berpulang’

Padahal pekerjaan yang telah dirintisnya puluhan tahun lalu membuktikan riset William Frankland tentang imunoterapi khususnya alergen dapat menyelamatkan kehidupan pasien penderita alergi. Padahal sebelumnya, tak banyak warga masyarakat yang mengerti cara meningkatkan kualitas hidup agar tubuh tetap tahan terhadap serangan alergi.

Kehidupannya didedikasikan berperang melawan penyakit alergi (courtesy Dailymail)

Kiprahnya berperang melawan penyakit lantaran alergi telah dimulai Alfred William Frankland sejak Perang Dunia II, saat dia diperbolehkan kembali bekerja di Rumah Sakit St Mary, London. Padahal sebelumnya, ia merupakan tahanan perang yang dikerjapaksakan di cam-cam tahanan Jepang. Selama 70 tahun, Bill begitu ia acap disapa koleganya, menekuni penyakit yang disebabkan oleh alergi dari laboratorium ke laborat lain.

Antusiasmenya terhadap alergi klinis tetap tidak surut, meski umurnya berkejaran dengan tubuhnya yang ringkih lantaran sepuh. Meski demikian, jangan kaget bila kebugarannya di usia sepuh itu, tak bisa disepelekan begitu saja. Ketajaman intuisi dan kekokohan mentalnya tak bisa diragukan bagi seorang pria seusia di atas 70 tahun masih bakoh bekerja di laboratorium. Penyakitnya pun tak diambil pusing ketika ia sedang berada di ruang laboratorium memecahkan penyebab penyebab utama alergi yang acap membuat banyak orang lain ‘mengi’ sesak nafas.

Sosok sepuh penemu obat antialergi yang disegani peneliti seantero jagad dunia kedokteran (Ist)

Jangan heran bila Bill nendedikasikan dirinya total berperang melawan penyakit alergi, meskipun dirinya juga memiliki penyakit serius. Tapi ia nekat hendak mewujudkan impiannya menemukan bahan obat yang mampu menolak anasir penyebab alergi. Apalagi waktu itu, mekanisme alergi, terutama IgE – Imunoglobulin E – belum ditemukan dalam pengobatan melalui antihistamin dan kortikosteroid. Bisa dibayangkan, betapa berat pekerjaan Alfred William Frankland alias Bill di Ingris saat itu.

Ketajaman ingatannya yang luar biasa merinci instruktif kasus penyakit terkait dengan alergi, membuatnya menjadi sumber nasihat bagi kolega di rumah sakit terpandang di Ingris, tak tertandingi. Kegigihannya dalam melakukan research, jelas tak bisa diikuti oleh dokter muda jaman sekarang. Bagaimana mungkin seorang dokter sepuh, berkutat di laboratorium dan masih melakukan penelitian hingga larut malam dan melacak refrensi dan mencari bahan serbuk sari sendiri di botanical garden. Dan Bill juga seorang dokter pendengar yang baik bagi pasien saat meminta penjelasan penyakit dan implikasi bila berobat di laboratorium klinik maupun di tempat ia sedang mengajar.

Keuletannya dan kepiawaian menekuni dunia alergi diakui dunia kedokteran

Di departemen inokulasi di St Mary’s pada tahun 1945 bekerja dengan Dr Freeman, vaksin alergen diproduksi dan digunakan dalam perawatan. Skala operasi sangat luar biasa menurut standar saat ini. Itu juga merupakan sumber utama pendapatan bagi Departemen, yang menyiapkan vaksin baik alergen maupun bakteri, dan membayar mahasiswa kedokteran untuk melakukan tes kulit, dan kemudian mengajari pasien, beberapa di bawah 15, untuk memberikan suntikan mereka sendiri. Dr Freeman memiliki peternakan serbuk sari untuk menghasilkan bahan baku untuk vaksin. Satu tahun, lebih dari 6.000 pasien diberi vaksin serbuk sari pra-musim.

Prinsip imunisasi alergen diperluas untuk mencakup bulu binatang dan spora jamur, dan sekarang diketahui bahwa sumber kontaminasi penting cawan Petri di laboratorium Alexander Fleming, pada tahun 1920-an, adalah salah satu cetakan Penicillium yang sedang dipelajari di Departemen inokulasi, yang terletak tepat di bawah laboratorium Profesor Fleming.

Meski sepuh Bill tetap mengikuti pertemuan dan dijadikan narasumber rujukan utama soal alergi (Ist)

Berbeda dengan gurunya (Sir Alexander Fleming) di St. Mary’s pada tahun 1930-an, Bill lebih banyak berada di klinik daripada di laboratorium. Belakangan, Bill tidak setuju dengan kolega terkenalnya tentang masalah apakah penisilin menyebabkan alergi.

Pada tahun 1947 Vera Walker, seorang spesialis mata dari Oxford yang tertarik pada alergi, menulis kepada Dr Freeman tentang memulai sebuah masyarakat alergi, pertemuan pertama yang berlangsung di St Mary’s pada tahun 1948, dua pembicara adalah Sir Henry Dale (seorang ahli farmakologi terkemuka, kemudian kepala Wellcome Research) dan Dr Freeman. Dr Frankland diangkat sebagai sekretaris pertama masyarakat baru, dan lebih dari 30 anggota bergabung, sebagian besar dokter.

Pada saat itu asma adalah kondisi alergi utama yang menarik. Masyarakat Alergi Inggris dengan demikian dimulai pada tahun 1948 tetapi tidak memiliki konstitusi yang ditulis sampai tahun 1951, di mana pada saat itu terdapat 40-50 anggota. Secara paralel, bagian Royal Society of Medicine dari Clinical Immunology and Allergy dimulai pada tahun 1965, dimana saat itu British Allergy Society memiliki 150 anggota. Antibody Club didirikan juga, membawanya ke dalam gambar. Ini adalah akar dari British Society for Allergy & Clinical Immunology (BSACI) dan Bill berperan dalam pembentukannya kemudian menjadi Presiden BSACI antara 1963-1966.

Menjadi rujukan dalam pertemuan ahli alergi (Ist)

Beberapa tahun lalu, Bill melakukan penelitian untuk menunjukkan kemanjuran antihistamin. Pada tahun 1955, Bill menggunakan dirinya sebagai bahan percobaan untuk memicu alergi akibat gigitan serangga Rhodnius Prolixus, yang dapat menyebabkan anafilaksis. Gigitan serangga berulangkali, tentu menyebabkan reaksi anafilaksis parah. Sebegitu ‘nekatnya’ Bill mencoba dirinya sebagai kelinci percobaan waktu itu. Kalau sekarang tidak mungkin dilakukan lantaran harus melalui protokol dan persetujuan komite etik kedokteran. Tapi itulah Alfred William Frankland alias Bill.

Bill memulai fase kedua karier alerginya ketika, saat mencapai usia pensiun dan pensiun dari St. Mary, ia diundang oleh Maurice Lessof, Profesor Kedokteran di Rumah Sakit Guy, untuk mengambil bagian di klinik alergi dan dalam pertemuan mingguan Departemen. Imunoterapi racun serangga di Guy mulai dilakukan saat ini, menggunakan racun lebah dan tawon yang dimurnikan, yang baru-baru ini terbukti efektif, tidak seperti ekstrak serangga ‘seluruh tubuh’ yang sebelumnya digunakan untuk pengujian kulit dan imunoterapi.

Dia menerima banyak penghargaan sepanjang hidupnya, yang tertinggi di tahun 2015 ketika Bill diakui dalam daftar penghargaan Ulang Tahun Ratu dan dianugerahi MBE oleh HRH The Duke of Cambridge. Unit alergi di Rumah Sakit St Mary dinamai menurut namanya sebagai pengakuan atas prestasinya, BSACI memberikan penghargaan untuk menghormatinya ‘The William Frankland Award’ yang telah diberikan setiap tahun pada Pertemuan Tahunan BSACI sejak 1999 kepada mereka yang telah memberikan prestasi luar biasa. Selamat jalan Bill (nicole dari London/eddy j soe)

Previous 7 Agustus 1946 Ditetapkan Sebagai Hari Jadi DPRD Kota Solo
Next Sandra Bullock Artis 'Loman' Senang Membantu Rakyat Miskin yang susah

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *