Kreatifitas dalam jagad seni barangkali tak harus dilumuri sokongan duit jutaan hingga milyiaran untuk menghasilkan karya yang pantas diacungi jempol. Berbahagialah kalian bila masih diberi kesempatan melihat karya sang seniman melalui jejaring webside yang mendunia seperti di portal ‘What’. Bukan hanya karya para seniman berkaliber dunia yang ditampilkan domain itu, tetapi juga kreatifitas pinggiran ndeso dan mahasiswa seni. Bisa jadi karya mereka tak dilirik kolektor dan terbeli melalui balai lelang Christie yang megah dengan bandrol miliaran. Bahkan mereka, para penyimpan hasil karya seni, entah lukis atau patung, tak berharap hasilnya disatroni pembeli. Bagaimana tidak, bila karya-karya seniman itu cenderung dipamerkan lewat dunia maya dan tersebar melalui internet. Toh memperoleh penghargaan dengan acungan jempol semata pertanda disukai mata di atas layer monitor laptop atau handphone.
Coba sesekali bukalah karya para perajin seni yang diunggah di jejjaring internet domain What, entah mereka sendiri yang mengupload atau rekan sesame seniman, tak disebutkan asal-usul mereka. Jangankan ditanya nama perajin itu, dilirik tempat berkarya merekapun taka da keterangan menyebut proses berkreatif mereka berada. Barangkali, melihat dari postur dan gestur penampakan tampang para seniman yang memamerkan karya-karya seni mereka, jelas terlihat asal-muasal para seniman itu dari negeri daratan tiongkok alias China. Beberapa karya yang dimunculkan pun agak aneh dan ornament patung dari lempung dari tanah pinggiran ndeso.
Gambar yang dimunculkan di jejaring lewat intenet tersebar lewat domain ‘What’, memperlihatkan proses sang seniman menciptakan pelbagai karya nemplek di perbukitan. Dari membabat rerumputan, dan menorah-norehkan tanah lempung dengan air dalam ember, dan kemudian meracik secara instan ornament patung setengah jadi pantas diapresiasi. Bukan perkara hasilnya tak bisa digeret dan didirikan ke tempat lain, lantaran memang berada di sisi tebing tanah lempung digarap secara langsung hingga menjadi ornament tokoh yang dikehendaki.
Kesemuanya itu tercipta dalam gambar buah karya patung-lempung setengah jadi nemplek di tempat aslinya, tebing. Lihatlah karya seniman dengan potongan rambut cepak ala tantara Indonesia itu, dengan cekatan memoles, nempel dan mereka-reka jenis sosok patung siapakah teyang akan dibuatnya. Sungguh sangat menakjubkan. Terlepas dari siapakah yasng punya ide melemparkan karya seniman patung lempung di tebing, domain bertajuk land art itu disenangi penonton dalam jejaring webside dengan acungan jempol ribuan tangan.
Setidaknya ornament patung lempung setengah jadi yang dibuatnya menggambarkan sosok seperti Kong Hu Cu atau sosok para dewa dalam agama penganut faham Confucianism Kong Fu Tze, dan masih banyak lagi, seperti hewan sapi maupun sosok lain dibuatnya dalam versi patung lempung itu. Sepanjang pengetahuan yang pernah kami lihat, kreativitas membuat patung setengah jadi dari bahan lempung seperti itu, belum pernah dilakukan para para pematung di negri ini. Padahal bila dipikir-pikir, membuat patung, atau katakanlah ornament di tebing jurang lokasinya tersedia di sepanjang jalan yang dilewati mobil-mobil mewah di kiri-kanang toll.
Bisa jadi para seniman, pematung tidak punya niat dan bahkan keberanian mencetuskan hasrat seninya lantaran belum tentu akan menghasilkan duit untuk menghidupi keluarganya. Lain cerita bila mereka membuat patung bukan dilakukan di tebing tanah lempung pinggir jalan, siapa tahu akan dilirik kolektor seni calon pembeli. Tentu bisa dimengerti dan masuk akal. Hanya saja, kreativitas yang bersangkutan sebagai seniman patung tak mungkin terpatri dalam khasanah pengamat seni bahwa ia bukan lagi sebagai pekerja seni. Setidaknya penghargaan lewat acungan jempol pemburu seni dunia maya internetan, meneguhkan bahwa yang bersangkutan pantas disebut sebagai seniman patung, meski berkarya di tebing jalan. Persoalannya adalah apakah memungkinkan bila seorang seniman tanpa memperhitungkan untung-rugi mau bersusah-payah berkarya tidak memperoleh keuntungan semata, rasanya sulit ditemui di negri yang kini dilanda pandemi lebih dari setahun. Selain itu juga, apakah ada mahasiswa-mahasiswi menggeluti seni tanpa ingar-bingar mempublikasikan karya-karyanya seperti seniman luar negri, tampaknya tak bakalan mungkin bisa ditemui. Perhatikan dan lihat saja kenyataannya, para calon seniman yang menekuni patung hingga saat ini tak banyak menghasilkan karya-karya spektakuler yang dipamerkan di galeri terpandang di Jakarta atau di kota-kota pelajar.
Jangan-jangan hasil didikan sewaktu kuliah di perguruan tinggi seni dulu tidak diajari melakukan eksperimen membuat patung di luar jadual perkuliahan, ataukah para dosen dan pengajar tidak memberikan ilmu yang mencukupi pada mahasiswa didikannya. Sulit dibuktikan meskipun sebenarnya hasil kreatifitas mahasiswa seni gampang dilucuti memang tidak pernah berkarya ciamik bila dibandingkan dengan mahasiswa satu jurusan art student yang sama. Lihat saja karya-karya yang pernah dipamerkan di galeri-galeri di Thailand atau Mianmar, misalnya, sungguh jauh berbeda karya-karya mereka dengan mahasiswa seni calon seniman patung di negri ini. Apa boleh buat, memang kondisinya belum sampai ke arah hasil seperti yang diharap-harapkan mampu bersaing dengan rekan seniman manca negara. Jangan tanya mengapa hal itu bisa terjadi.
No Comment