Baru kali ini di negara komunis Rusia rakyatnya berani terang-terangan mencalonkan diri maju menjadi presiden. Lagian yang nyalon bukanlah kelas ecek-ecek, tapi selebritis dan jurnalis perempuan. Padahal sebelumnya, seseorang berani clemuit ngomong sedikit saja akan diciduk agen rahasia KGB. Telinga dan mata berada dimana-mana. Seolah tembokpun memiliki indera penglihatan dan pendengar di setiap lorong rumah di Soviet. Itu dulu.
Pertanyaannya, sosok seperti apakah presiden yang dikehendaki rakyat Rusia? Apakah sosok perempuan cerdas lagi cantik dan membela demokrasi, ataukah justruk seorang wanita bertangan besi berusia lima puluhan tahun. Tak jelas dan absurd. Meski demikian, perubahan yang digulirkan mantan Presiden Mikhail Gorbachev melalui sistem Glasnot dan Perestroika tampaknya membawa perubahan besar di Rusia.
Yang jelas keempat perempuan pemberani itu nekat mengumumkan pencalonannya ingin menjadi presiden Rusia. Mereka itu adalah selebriti TV flamboyant Ksenia Sobachak, wartawati Yekaterina Gordon mantan penduduk New York; ada pula pembawa acara TV Anfissa Chekhova, bahkan politisi senior blateran Rusia-Jepang, Irina Khakamada pun tertarik mengikuti kontestasi calon presiden. Dan yang paling menarik pencalonan aktivis hak asasi manusia Rusia, Ella Pamfilova juga ikut mencalonkan diri sebagai presiden.
Sejak pencalonan keempat perempuan melalui berbagai media massa, meski hiruk-pikuk bursa calon ‘tak resmi’ di negara beruang mereh, namun rakyat Rusia tetap dingin menyambutnya. Dan yang paling menarik, yakni Presiden Vladimir Putin belum mengumumkan apakah dia ingin mencalon diri pada pemilihan presiden 2018.
“Kami akan mengumpulkan sejumlah besar orang yang mungkin tidak setuju dengan diri mereka sendiri dan mungkin tidak setuju dengan saya, tapi mereka tidak mau hidup di bawah sistem saat ini,” kata Sobchak dalam sebuah konferensi pers seperti dikutib RBTH.Com beberapa waktu lalu.
Kenekatan Sobchak maju mencalonkan diri menjadi presiden Rusia barangkali tak perlu dirisaukan. Mengingat partai Komunis Federasi Rusia, yang merupakan bagian dari sistem kekuasaan saat ini, hanya meraih 13 persen suara pada pemilihan umum terakhir. Artinya, kalau Sobchak nekat ingin maju menjadi presiden, tentu perhitungan untung-rugi telah dikalkulasi dengan matang.
Meski pun pernyataan Sobchak seperti yang dirilis di media massa jelas mengisyaratkan kebimbangannya terhadap pencalonan dirinya. Bagaimana mungkin Sobchak menyatakan disatu sisi, ‘mereka tak mau hidup di bawah sistem saat ini; sedang sikap lain dia bilang, ‘mungkin tidak setuju dengan saya’; jelas pernyataan absurd.
Apapun kenyataannya, keempat calon presiden di Rusia tentu menandaskan bahwa sistem yang menganut paham komunis, setelah seabad Revolusi Oktober yang membawa kaum Bolshevik ke tampuk kekuasaan telah tumbang, tergantikan model demokrasi setengah hati. Itulah yang kini sedang dialami Rusia.
Dengan terjengkangnya Uni Republik Sosialis Soviet (URSS) pada 1991, baik Vladimir Lenin, kaum Bolshevik dan kongres dari partai besar tinggal sejarah.
Apa yang tersisa saat ini, seperti simbol bintang merah di menara-menara Kremlin, lima ribuan patung Lenin di seluruh Rusia, dan symbol Soviet lain tak lebih dari sekedar bentuk penghormatan, bukan sebagai representasi ideology. Dan ini dimulai pada tahun 1917 dengan antusiasme tinggi.
Menurut sejarawan Alexander Orlov, seperti dikutib RBTH.Com, “Kaum Bolshevik adalah satu-satunya kekuatan politik yang menggunakan kebencian sosial dan kehendak massa demi meningkatkan kekuatan mereka.”
Sementara peneliti kebijakan public Pyzhikov meyakini dan percaya bahwa kemenangan Bolshevik di Rusia tidak ada hubungannya dengan Marxisme. Meski teoritikus perjuangan kelas pada abad ke-19, Karl Marx dan Friedrich Engels, meyakini revolusi sosialis dapat terjadi di Negara dengan mayarakat kapitalis, yang kaum buruhnya mengalami penindasan olehkaum borjuis.
Sebagaimana yang dikatakan Pyzhikov, seperti dikutib RBTH.Com, ide pembentukan masyarakat yang adil dan tanpa kemiskinan atau penindasan didiskreditkan setelah beberapa dekade. “Setelah era Brezhnev (1970-an), jelas bahwa nomenklatur partai (Komunis) menjadi semakin jauh dari rakyat dan hanya digunakan untuk kekuasaan, tanpa ada masa depan yang jelas,” ungkap sang sejarawan.
Menurutnya, kekecewaan terhadap komunisme adalah pemicu keruntuhan Uni Soviet, yang kemudian berdampak pada permasalahan-permasalahan ekonomi di Rusia (eddy j soetopo/nicole sacarovic/berbagai sumber)
No Comment