Maraknya pelecehan sexual hingga tindak bejat pemerkosaan terhadap ABG (Anak Baru Gede) yang dilakukan remaja setengah umur atau sesama kian mengkhawatirkan. Celakanya tindakan itu juga menimpa santriwati dilakukan guru pengajarnya. Sungguh sangat mengkawatirkan. Di ruang penebar nilai moralitas pendidikan digandengkan dengan pengetahuan agamawi, mestinya lebih steril bila dibandingkan dengan kehidupan bebas di luar, tapi ironisnya justru sebaliknya. Di dalam ruang kelas pondok, peserta –mayoritas santriwati, mereka teraniaya secara fisik dan mental, lantaran digagahi pengajarnya.
Andai saja pelecehan dan pemerkosaan yang dilakukan tidak di pondok pesantren tak akan terkuak bila media-sosial tidak mengabarkan atas perilaku bejat sang pengajar. Kegaduhan seperti itu mestinya telah diantisipasi sebelumnya untuk mencegah tindakan bejat oknum pengajar. Pengurus dan sekaligus penanggungjawab tempat pendidikan di pondok seharusnya dan wajib menscreining calon latar belakang, psikososial calon pengajar yang akan direcruit menjadi tenaga tetap membimbing anak didik satri dan santriwati di pondok pesantren.
Celakanya, sejak dulu justru hal itu tidak pernah dilakukan secara serius, oleh pengelola dan penanggungjawab lembaga pendidik pesantren melakukannya. Lebih celaka lagi bila, para direktur atau ketua sekaligus pemilik lembaga pendidikan pesantren, membiarkan tidak perlu calon pengajar dan santri dilakukan screening, atas dasar saling mermpercayai satu-sama lain. “Tujuannya untuk kemahslahatan umat, berdasar nilai-nilai agami yang dianutnya, bukan mencelakakan,” ujar salah satu penggiat sekaligus guru di pondok pesantren mewah di Indramayu, 15 tahun lalu.
Padahakekatnya argumentasi tersebut, tidak ada yang keliru dan sah-sah saja meyakini hanya saja, bila hal itu tidak dilakukan pengawasan ketat, bisa jadi akan kebablasan. Bila decade 80-an sebelum HP canggih yang dapat ngelihat gambar sekaligus video marak, tak banyak terjadi. Ujung-ujungnya di jaman now, siswa-siswi sewaktu berada dalam boarding class konsentrasi belajarnya terganggu. Berbeda ketika gadge layer lebar canggih belum berada dalam genggangam siswa-siswi. Paling banter, ujar pengamat budaya pop, asal Semarang, Maming dalam unggahan di media social.
“Jangan tanya buku bacaan sekolah dalam tas siswa, tapi geledahlah yang ada di dalamnya selain stensilan serta kisah-kisah panas. Di era 1990-an, nama novelis Fredy Siswanto, novelis esex-esex laku keras di lapak pinggir jalan atau perpustakaan swasta. Novel semacam itu yang banyak diburu dan dibaca masa itu.”
Menurut dia, Fredy Siswanto, di jamannya merupakan novelis spesialis hot bila menggambarkan adegan ranjang. Nama novelis esex-esex selain Fredy Siswanto lain yang banyak digandrungi seperti Mariana S, Susy Astika, juga Tara Zagita menjadi pilihan diburu pembeli. Selain harganya murah, dibandrol Rp.2000 di pinggir jalan kala itu, juga cerita dan gambarnyapun blak-blakan mengumbar aurat. Bila dilirik pangsa pasar pengemar novel esex-esex meluber, jelas peneberbit picisan kaki-lima berebut mereproduksi ratusan novel.
Para penulis sex, dalam cerita media picisan tidak pernah sekalipun memperlihatkan photo diri dalam backcover. Jangankan memajang photo, diketahui nama penulis benerannya pun tak tercantum dengan jelas. Selain tidak nyaman, bila ketahuan penulis novel esex-esex kerabatnya juga, menurut salah satu penulis yang enggan disebut namanya, ketahuan dipalakin honornya. Bisa dimaklumi, memang penulis novel stensilan, sekali buku beredar bisa memperoleh honor 2-3 juta. “Lumayan nyamleng. Dapat honornya lumayan gede. Ekplore pengalaman orang lain bercerita, juga ketemu diajak makan atau wedangan di tempat prostitusi.”
No Comment