Meski kedua pedagang mainan tak pernah absen menjajakan dagangan saat pesta tahun baru Cina, kali ini keduanya mengaku pendapatannya lebih besar dibanding Imlek tahun lalu. Padahal kedua jenis mainan yang mereka angkut menggunakan bronjong, dari tempat tinggal berbeda ke depan Pasar Gede, lumayan jauh. Toh mereka nekat ngalap berkah memperoleh rezki di tahun fengsui tikus besi.
Penjual dagangan mainan Liong, Misdi, 42 tahun, asal desa Gulon, Panggung Redjo mengaku setiap ada pesta tahun baru Imlek, dagangannya terjual 15-25 dalam waktu seminggu. Pada hari ketiga, Jumat, 10 Januari 2020 lalu, dagangannya baru lima mainan yang terjual.
“Padahal liong dengan mata berkedip-kedip, memakai bateri kecil, perlu cepat laku. Kalau tidak bisa tekor. Apalagi jenis mainan ini ngambil dari pengepul mainan. Untungnya tidak seberapa sih, Rp.15.000 per satu liong. Tapi bateri beli sendiri,” katanya sambal meladeni calon pembeli.
Misdi menambahkan, harga jual satu set liong dia patok sebesar Rp.45.000. Kadang kalau lagi sepi banget, harganya dia turunkan sampai Rp.25.000. Masih beruntung, ujar dia menambahkan, malam itu tidak turun hujan lebat. “Takutnya pas lagi sepi, hujan turun. Kalau Cuma gerimis kecil, nekat saja digelar di samping tugu jam pasar Gede,” katanya, “mudah-mudahan tahun ini bisa dapat Rp.300.000 sampai rampung perayaan Imlek.”
Lain penjual Liong lain pula pengamen robot berbahan lentur dari jenis scheroform-karet, Jodi, 35 tahun, asal desa pinggir Wisma Pondok Haji, Panasan. Meskipun tidak mentargetkan memperoleh ‘saweran’ dari pengunjung yang ingin berswafoto Bersama robot Jepang, ia mengaku memperoleh duit lumayan banyak. Hanya saja, ujar Jodi menambahkan, pendapatannya harus dibagi rata dengan teman-teman yang berpakaian robot.
“Kami datang berlima. Ada yang rumahnya di perbatasan Pondok Haji, dua orang, lainnya dari pinggiran Karanganyar. Lumayan juga selama seminggu dapat saweran bisa sampai Rp.350.000 kotor. Nanti dibagi berlima,” ujar dia, “kalau dirata-rata sehari dapatnya Rp.25.000, per orang pakai costum. Tapi tidak mesti. Wong namanya juga pengamen.”
Lebih lanjut Jodi menambahkan, costum seragam robot Jepang, menurut dia banyak disukai pengunjung yang ingin berswaphoto. Bukan hanya anak-anak bawah umur yang ingin berpotret di depan robot, tetapi juga ABG perempuan pun senang mejeng di depan robot milik komunitasnya.
“Kami tidak mematok harga untuk berphoto di depan robot. Mereka mengasih duit seiklasnya. Mau ngasih seribu atau berapapun, kita terima. Wong tinggal nyemplungin di wadah kotak kaleng biscuit. Pengalaman kami jarang yang ninggalin uang coin lima ratusan,” ujar dia.
Bukan hanya penjaja mainan Liong dan pengamen robot yang memperoleh pemasukan lumayan di hari perayaan Imlek tahun ini. Para pedagang dan tukang parkir di sepanjang jalan kiri-kanan jalan Jenderal Soedirman panen uang receh Rp.3000-Rp.4000 setiap kendaraan motor yang diparkir.
Padahal tak kurang seratus, ujar Marzuki salah satu petugas berseragam resmi dinas perpakiran, tarif resmi kendaraan roda dua dipatok hanya Rp.2000 per jam pertama berhenti. “Namanya juga bisa dibilang parkir ‘liar’ dari penduduk setempat. Susah melarang mereka mencari penghasilan dari kerja memarkir motor,” ujar dia.
Selain pencari kerja musiman pada hari-hari besar keagamaan, tampaknya juga membawa berkah para penjualan makanan dadakan. Mereka datang dari berbagai kota di sekitar kota Solo, mengadu keberuntungan berdagang. “Ada yang jualan cumi goreng, latengan gudeg ceker dan minuman bermerk atau tanpa merk, juga disesaki pembeli. Hanya saja, kegiatan bazar dagangan, selain membayar tempat menggelar selama perayaan juga dibebani retribusi kebersihan, Rp.3000 per hari.” (tim indepth/eddy je soe)
No Comment