Menyikapi 100 Hari Kinerja Para Pejabat, Terserah Anda Menilainya


Pendapat umum istilah keren public opinion acapkali dikacaukan dengan polling atau jajak Meski kedua kosakata itu hampir dapat dipastikan mempunyai makna semantic yang memiliki bobot sebagai “alat” pelegitimir tatanan negara demokratis, tetapi keduanya –public opinion dan dan polling—sangat berbeda. Dalam sistem demokrasi, public opinion merupakan salah satu-atau bahkan satu-satunya- sumber legitimasi memperoleh kepastian tentang segala sesuatu, dan biasanya, menyangkut hal-hal paling esensial dan mendasar: merumuskan kebijakan yang akan diberlakukan penguasa. Dalam hal ini public opinion, sudah barang tentu, menempati strata utama sebagai stempel legimate: kehendak rakyat.

Kalau saja George Gallup, guru besar jurnalistik pada Iowa University, tidak terobsesi romantisme nostalgis tentang pelaksanaan demokrasi langsung di zaman Yunani kuno, barangkali istilah poll, sebagai salah satu cara pendekatan ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan mengukur opini public, tidak akan dikenal seperti sekarang.   Pada saat itu, rakyat secara langsung menyatakan pendapat mereka mengenai setuju-tidak suatu kebijakan puasa diberlakukan. Tampaknya, praktik demokrasi secara langsung yang mereka terapkan, disadarinya membawa konsekwensi logis, akan memunculkan dominasi kekuasaan melalui kekuatan tertentu. Sebagai akibat lebih jauh dapat dipastikan akan terjadi konflik internal.

Seiring dengan berkembangnya zaman dan pertambahan penduduk, muncul pemikiran perlunya pemekaran wilayah dengan tetap mempertahankan system sentralisasi dalam pemerintahan. Namun keruwetan baru muncul ketika system demokrasi langsung tidak dapat berjalan mulus. Akhirnya ide pemekaran wilayah yang tetap bersikukuh menggunakan system sentralisasi dalam pemerintahan, mengilhami munculnya gagasan baru berupa nation state. Dengan sendirinya kelahiran nation state mereduksi paradigma lama yang memakai system demokrasi langsung, menjadi apa yang disebut sekarang sebagai demokrasi perwakilan atau representative democracy.

Mikul nduwur mendem jero,

Dengan model demokrasi perwakilan tersebut kedaulatan atau kekuasaan rakyat didelegasikan kepada wakil-wakilnya seperti yang kita kenal dengan Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia. Sedang di negara lain, kita mengenal anggota kongres atau senat. Meski dalam praktiknya demokrasi langsung, dalam beberapa hal, masih dipakai untuk pemilihan presiden atau gubernur di Amerika Serikat misalnya, menurut Gallup, situasi seperti itu sangat tidak menguntungkan bargaining position rakyat. Ia melihat bahwa keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan politik seringkali didominir oleh sekelompok elite pemimpin politik –dalam hal ini pemerintah dan anggota-anggota parlemen—dalam jargon retorik politik acapkali mereka mengatasnamakan kepentingan rakyat. Tetapi pada kenyataannya tidaklah demikian.

Untuk memperkuat poisisi tawar rakyat, Gallup menyodorkan alternative lain yang dapat mengkompensasi atau menjembatani antara keinginan rakyat dan kecenderungan para elite politik, dengan cara poll atau pengumpulan pendapat umum. Menurutnya, ide dasar penyelenggaraan poll atau jajak pendapat melalui survey faces to faces interview atau menyebarkan angket, pada awalnya memang berkaitan dengan penyelenggaraan demokrasi perwakilan. Ia bercaya bahwa dalam komunitas masyarakat masih tertanam semacam rasa collective wisdom of ordinary people atau kearifan kolektif rakyat.

Persoalannya kemudian adalah betapa sulit mengungkap fakta mengenai apa yang dinamakan dengan kearifan kolektif rakyat. Selain persoalan tersebut telah merambah ke dalam dimensi psiko-sosiologis, secara teknis-kwantitasi, memang tidaklah mudah memberi kriterium terhadap suatu value dengan pas. Demikian pula kemungkinan terjadi limitasi metodologi dan teknis bisa dilakukan dalam pengumpulan data. Jelas disini bahwa polling merupakan salah satu metode bagi pengumpulan pendapat atau public opinion. Dengan demikian hendaknya dapat dibedakan antara public opinion sebagai genre politis dan polling sebagai stigma legitimate praksis politik.

Salah satu upaya mengingatkan makna marhaenisme

Pengumpulan pendapat umum, baik menggunakan metode polling dengan menyebarkan angket atau survey melalui wawancara langsung, bagaimanapun mudah dimanipulasi demi untuk kepentingan politik tertentu. Kalau tidak, bukan tidak mungkin Megawati tidak sesewot saat menanggapi kekalahan partainya dalam hasil polling di TV, beberapa tahun lalu, yang menurutnya mengkin, tidak fair. Sebab yang melakukan polling adalah rivalnya pemilik media cetak sekaligus televisi. Selain itu kesulitannya menyangkut urusan generalisasi yaitu bagaimana membuat justivikasi agar pendapat minoritas (sample) dapat mewakili sebuah suara mayoritas (populasi). Belum lagi masalah yang berhubungan dengan heterogenitas populasi dalam sebuah komunitas masyarakat, tentu bukan perkara mudah dan menjadi persoalan lain cukup pelik.

Untuk menarik suatu kesimpulan secara statistic, mau tidak mau, seseorang harus memahami benar persoalan infersi yaitu sutu metode penaksiran parameter dari populasi yang akan digunakan menguji hipotesis. Dalam hal ini, sejumlah besar asumsi dan sifat populasi suatu sample yang telah diambil, harus dipelajari hingga diyakini dapat digunakan pengujian yang dikedepankan.

Ketika para pejabat bersedia mendengarkan paparan

Cara seseorang memahami bagaimana suatu populasi memiliki distribusi, atau pemahaman terhadap distribusi variable acak yang digunakan dalam teknik inferensi, untuk mengulas -dan bukan sekedar komentar- terhadap hasil penelitian tak pelak lagi orang yang bersangkutan setidaknya mengerti metode-metode statistika. Kecenderungan yang terjadi sekarang ini yaitu, banyak komentar bertebaran tanpa terlebih dahulu melihat lebih dalam mengenai metode statistic apa yang digunakan. Tidak jarang seseorang dengan cepat memvonis bahwa metodologi yang digunakan tidak benar. Padahal bisa saja vonis yang dijatuhkan itu salah. Dalam statistic, apalagi bagi yang tidak mendalaminya, kemungkinan terjadi kekaburan makna sangat besar. Apalagi ditambah dengan istilah-istilah statistic yang tidak banyak dimengerti oleh orang awam makna sesungguhnya.

Demikian pula permasalah rancangan penelitian yang digunakan. Sering beranggapan keliru bahwa design penelitian haruslah mencakup beberapa parameter yang harus diketahui terlebih dahulu, sedang distribusi populasi atau distribusi acaknya menjadi urusan belakangan. Padahal hal itu tidaklah seluruhnya benar. Bila disimak lebih jauh, statistic infrensi mengajarkan meski terdapat beberapa parameter yang tidak diketahui, tapi memiliki distribusi populasi atau acaknya diketahui secara matematis, hal itu tidak perlu dirisaukan. Karena yang penting adalah asumsi dasar apa yang akan dipakai hingga uji parameter dapat dilakukan. Sebagai contoh misalnya polling di media massa. Dalam polling semacam ini, mestinya sampel yang diambil dari populasi berdistribusi normal dan variansinya homogen, tetapi sah-sah saja bila diasumsikan sampelnya berdistribusi tertentu.

Investigasi yang dilakukan jurnalis dalam film “The All President Man”

Permasalahannya, dan acap dilupakan, sering tidak dilakukan uji taksir terhadap parameter yang tidak diketahui tersebut dengan data sample. Atau bisa jadi seseorang merasa enggan melakukan uji hipotesis tertentu yang berhubungan dengan parameter-parameter populasi. Memang pada kenyataannya sangatlah sulit memperoleh sample yang memenuhi asumsi memiliki distribusi normal. Bahkan banyak sample yang didistribusinya tidak diketahui sama sekali.

Cilakanya apabila kesalahan penarikan generalisasi salah karena kesalahan asumsi dalam metodologinya diketahui orang -banyak diantara polling berkecenderungan tidak jujur sengaja menutup-nutupi metodologi yang digunakan- tamatlah sudah. Masih beruntung bila orang tadi mengerti dan paham benar tentang metode statistik, hingga membesarkan hati: ternyata ada juga yang memperhatikan. Tetapi bila yang berkomentar itu tidak mengetahui duduknya persoalan, yang terjdi adalah kredibilitas menjadi taruhannya.

Sebenarnya gejala ‘bantai-membantai’ terhadap hasil kinerja intelektual adalah lumrah, bila dilakukan dalam forum ilmiah. Tetapi apakah tepat bila tradisi itu dilakukan hanya melalui koentar di media massa; atau langsung tunjung hidung? Rasa-rasanya kurang fair. Apalagi komentar yang muncul biasanya disertai dengan luapan emosi, meski sambil bercanda. Juga sangatlah tidak fair bila seseorang mengomentari hasil polling sepotong-potong. Akan sangat berguna, dan bijak apabila para komentator bersedia melakukan polemic di media dengan melakukan analisis kekurangan dan kelebihan hasil polling, dengan catatan row data terbuka untuk dianalisa.

Selamamat Ulang Tahun Ibu Megawati, tetap bakoh (courtesy pic Ist)

Bila terhadap khalayak dituntut bersikap arif dan kritis, tidak pada tempatnya dan lazim dilakukan oleh komunitas cendekiawan, dalam hal ini pers, bersikap anti-kejujuran ilmiah. Hal ini dilakukan agar khayalk bisa menilai realibitlitas dan validitas hasil polling selengkapnya. Misalnya dengan memaparkan kepada pembaca menganai cara penarikan sample yang dipilih ari ppulasi: menggunakan prosedur (acak) ataukah memilih memakai non-random sampling. Pemaparan tersebut setidaknya berguna bagi pembaca untuk mengetahui apakah prosedur yang digunakan dalam penarikan sample secara acak atau tidak. Hal ini sangat penting artinya karena kedua prosedur penarikan sample tersebut memiliki karakteristik yang berbeda.

Penarikan sample acak misalnya, memiliki arti bahwa setiap anggota populasi yang terjaring memiliki nilai kementakan (propbabilitas) yang sama untuk dipilih. Dengan demikian teori probabilitas statistic layak dipakai mengetahui signifikasi dan perhitungan kesalahan sample (sampling eror). Ini berarti bahwa data statistic sample yang diolah hasilnya dapat dibuat generalisasi terhadap parameter populasi yang diteliti. Lain halnya dengan cara penarikan sample yang tidak dilakukan secara acak. Hasil pengolahan data statistic hanya berupa proporsi peimbangan pendapat yang diperoleh.

Terlalu dilebih-lebihkan bila ditulis seolah-olah data sample bisa digeneralisir sebagai keadaan yang sebenarnya dalam populasi. Acapkali pers sengaja melakukan pengaburan makna statistic dalam pemberitaan. Untuk membuat generaslisasi suatu hasil penelitian, pers terkadang mencantumkan tingkat signifikasi (level of significance). Pencantuman ini memberi kesan seolah-olah bisa dilakukan penyimpulan inferensial atau generalisasi, dari sample ke populasi. Padahal, sampel yang diambil tidak diperoleh melalui prosedur acak. Generalisasi sampel terhdap populasi hanya bisa dilakukan apabila berdasarn asumsi lain di luar asumsi-asumsi yang mendasari uji signifikasi statistic.

Inilah yang barangkali menimbulkan kesimpang-siuran pendapat. Cara aman untuk menghindari hal itu, selain mencatumkan metode yang digunakan, yaitu jangan memaksakan kehendak dengan mengedepankan statistic sebagai bemper pembenaran bagi tindak rekayasa sistematis… “Statistic are not collected, but produced; results are not findings, but creation,” tulis Irvine, et all., (1979).

Bukankah masih ada metode statistic non-parametrik selain parametrik yang mengharuskan memenuhi asumsi uji distribusi sampel dan hipotesis? Dalam statistic non-parametrik atau statistic bebas nilai, asumsi-asumsi tertentu mengenai distribusi sampel dan uji hipotesis yang berkaitan dengan parameter-parameter populasi tidak diperlukan. Meskipun uji nonparametric masih memerlukan data yang disusun dalam skala nominal atau ordinal. (Cortesy content text by Budi Rahayu | IMSS)

Previous Marilyn Monroe Tidak Berencana Magarin Laut Selat Sunda
Next Kenakan Outfit Tipis Biar Jakun Opha Naik-Turun

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *