Ketika kalian merasakan seolah-olah pernah melihat sesuatu dan yakin pernah sedang ngeliat atau mengalami, benar sadar hal itu benar-benar terjadi. Nah itulah orang acap menyebutnya Déjà vu. Bisa saja kalian benar-benar pernah mengalaminya, wong Prancis mengatakan itulah Déjà vu. Enggak usah panik, dan gusar, itulah kondisi normal lantaran agak sedikit terjadi gangguan otak kecil kamu. Santai ajah, meskipun hal itu pernah terjadi dalam kehidupan, seolah-olah benar-benar pernah nyata adanya.
Bisa saja terjadi, membuat dirimu terkejut dan menganggap hal itu pernah terjadi, padahal belum dilakoninya. Menurut seorang associate marriage dan terapi kesehatan, Theodora Blanchfield, hal yang dialami seseorang sedang terserang gangguan sementara hingga kesadaran mentalnya agak terganggu. Meskipun tidak bisa dikatakan sebagai awal dari kenthir alias mengalami ODGJ (orang dengan gangguan jiwa). “Kondisi seperti itu, ujar Theodora Blanchfield, bisa dibilang cuma gangguan di otak kecil kalian saja. Penelitian komprehensif yang kami lakukan hal itu lantaran ada dua aliran pikiran yang saling bertabrakan satu-sama lain,” katanya
Keinginan di masalalu, acap masih lengket dalam ingatan, njuk ujug-ujug njedul kembali. Layaknya film lawas diputar dalam ingatan otak. Memang kadang membuat diri kita terkejut dan terperangah, dan membatin pernah mengalami hal itu, tapi entah kapan. Itulah para peneliti menyebutnya Déjà vu. Pengalaman seperti itu, menurut refrensi dalam penelitian menyeluruh sejagad, lebih dari 97% orang diperkirakan pernah mengalami déjà vu setidaknya sekali, dengan lebih dari dua pertiga orang mengalami secara teratur. Menurut santo Augustinus, filsum kuno pada tahun 400 M, konsep déjà vu awalnya disebut sebagai ‘memori palsu’. Baru pada tahun 1890, baru filsum Prancis, Emile Boirac memakai istilah déjà vu.
Alih-alih istilah déjà vu awalnya digulirkan Agustinus, justru dalam dunia ilmiah ahli saraf F.L. Arnud mengusulkan istilah itu dimasukkan ke dalam kajian murni di jagat pshikologi. Apa boleh buat usulan Arnaud itu disetujui pada pertemuan Societe Medico-Psychologique. Para pakar peikologi bahkan menyatakan secara kajian déjà vu dianggap penting untuk menunjukkan gejala epilepsy, lantaran gejalanya masih berdekatan dengan persepsi atau ingatan seseorang.
Dipercayai bahwa déjà vu mungkin merupakan hasil dari dua aliran kesadaran yang berbeda yang bertabrakan: pengalaman mengenali situasi terkini, di samping perasaan bahwa ini adalah ingatan yang tidak akurat. Ciri utamanya adalah orang tersebut menyadari bahwa mereka sebenarnya belum pernah melihat hal itu sebelumnya. Acapkali, apa yang terjadi sebenarnya perkara persepsi soal ngebayangin impian di masalalu.
Jenis-jenis Déjà Vu
Meskipun perasaan déjà vu yang sebenarnya sama pada orang-orang dengan otak yang sehat dan mereka yang memiliki kondisi neurologis, hal-hal yang berbeda terjadi di otak selama masing-masing jenis ini. Mereka yang mengalaminya lebih sering menunjukkan gejala aneh. Hal itu disebabkan lapisan terluar otak, berwarna abu-abu, pengendali system ingatan terganggu menjadi lebih efektif membayangkan kejadian-kejadian di masa lalu lebih cepat
Pada mereka yang memiliki kondisi neurologis, tiga bagian otak terkena dampak: hipokampus, girus parahipokampus, dan neokorteks temporal—area yang terkait dengan pembentukan dan penyimpanan ingatan. Bagi mereka yang menderita epilepsi dan déjà vu, perubahan dalam sirkuit memori telah diamati, sementara itu, perubahan dalam sirkuit emosional terlihat pada individu “sehat” yang mengalami déjà vu.
Déjà vu diduga mungkin merupakan sinyal abnormal dalam lobus temporal medial, yang mengatur pemrosesan memori, khususnya memori visual. Kondisi yang mungkin mengalami lebih banyak déjà vu daripada mereka yang otaknya sehat meliputi. Bisa saja déjà vu dikategorikan sebagai gejala Skizofrenia, Epilepsi dan kecemasan akut masa lalu.
Meski demikian, istilah déjà vu, dianggap paling sering dianggap sebagai fenomena kekenthiran ringan. Orang yang lelah dan/atau stres sering melaporkan déjà vu. Hal ini diduga karena kelelahan dan stres biasanya memengaruhi memori jangka panjang dan jangka pendek. Sebuah hipotesis menyatakan bahwa jumlah dopamin yang berlebihan dapat dikaitkan dengan pengalaman déjà vu. Dalam studi epilepsi lobus temporal, penelitian menunjukkan bahwa kadar dopamin yang tinggi terdeteksi pada model hewan pengerat epilepsi lobus temporal.
Salah satu kasus déjà vu yang aneh adalah penggunaan obat flu amantadine dan Proin (fenilpropanolmina). Seorang pria yang mengonsumsi kombinasi obat ini untuk mengobati flu acapkali mengalami beberapa episode déjà vu per jam—yang berhenti setelah ia menghentikan obat-obatan ini. Kedua obat ini, selain khasiatnya untuk mengurangi gejala flu, bekerja pada sistem dopamin, dan diperkirakan bahwa episode déjà vu ini disebabkan oleh kelebihan dopamin dalam sistem.
Siapa yang Mengalami Déjà Vu? Meskipun siapa pun dapat mengalami déjà vu, mereka yang mengalaminya beberapa kali memiliki beberapa karakteristik yang sama, menurut penelitian yakni berpenghasilan tinggi, Pendidikan tinggi, sering bepergian dan beraliran liberal secara politik.
Haruskah Saya Menemui Dokter untuk Déjà Vu? Epilepsi adalah kondisi neurologis yang paling umum dikaitkan dengan déjà vu, karena memengaruhi lobus temporal otak Anda, tempat penglihatan ditafsirkan. Bagi kebanyakan individu yang sehat, déjà vu tidak memiliki dampak serius, selain sedikit perasaan bingung sesaat. Namun, jika Anda mengalami déjà vu yang sering (beberapa kali seminggu atau lebih), mungkin perlu mengunjungi ahli saraf untuk dievaluasi kemungkinan adanya epilepsi atau kondisi neurologis lainnya.
No Comment