Mural atau grafitri bukanlah coret-coret urakan. Tetapi mural merupakan ekspresi dan wakah kesenian. Eksistennya kini makin popular, dan menjadi ajang kreatifitas alternative. Seni tidak mengenal tempat dan cara, demikian adigum lawas para pecinta seni. Tembok-tembok tinggi pun bisa menjadi sasaran ekspresi para seniman dengan aksi corat-coret. Hasilnya lukisan mural lahir dari tangan-tangan kreaif para pekerja seni
Jadi mural bukan lagi produk kreatifitas kaum marjinal. Lihat saja dinding-dinding yang mengelilingi stadion Kridosono di Yogyakarta, semua dipenuhi dengan lukisan, itu dulu. Setelah reformasi, bisa dikatakan hampir sebagian besar seniman menumpahkan kreativitasnya di dinding tembok lapangan bal-balan. Entah nantinya, akankah terulang kembali seni mengorat-oret tembok, jelang Pemilu 2024, tak bisa dipastikan.
Gambar di tembok bisa dipastikan berupa coretan seni, berbentuk kekecewaan pembatas stadion sepakbola kala itu. Gambar berbentuk seseorang bercerita, sembari membawa ‘halo-halo’ dengan cangkem berteriak dikelilingi berjejal gembel dan rakjat, sesuka para seniman menggambarkannya, jelas hal itu dimaksud sebagai gambaran hal itu: protes kejengkelan. Apalagi diikuti dengan tulisan yang menggambarkan kejengkelan warga masyarakat kala itu, seperti teks dengan tulisan warna merah menyala “Jangan bawa kendaraanmu ke kotaku, bikin mencret.” Itulah makna seni corat-coret di tembok kota-kota besar di Indonesia: Mural
Seni mengorat-oret bukan saja pernah terjadi di Jogya, tetapi di hampir seluruh kota besar Indonesia. Lihat saja gambaran masa lalu, sebelum pesta demokrasi terjadi di Jakarta. Cagak penyangga flyover di Prompung Jakarta, saat itu menjadi saksi membisu ketika para seniman ditangkapi setelah membuat mural di bawah flay over Prompung, Jakarta Timur. Kelima orang, seorang diantaranya perempuan, diciduk satuan polisi pamong praja dan dibawa ke balaikota negara.
Padahal mereka, membawa peralatan cat dan spray mengecat tembok sepertinya tak mempedulikan konsekwensi bila kemudian beneran ditangkap. “Ndak masalah. Emang knape gwe takut,” kata Faiz jebolan sekolah seni Taman Ismail Marzuki, “… mestinya biarkan saja seniman berekpresi, emang salahnya dimana? Mengotori tempat dan mengganggu pemandangan, huh. Mata mreka picek apa kagak? Justru pengguna jalan terhibur lihat karya seni kami.” Menurut sekawanan seniman dari berbagai disiplin ilmu seni di Jakarta, seharusnya pemerintah berterima kasih pada mereka, selain memperindah ruang pamer jalanan gedung, tiang pancang flayover, juga tidak mengganggu.
Kekeliruan terbesar, menurut Masearoch, seniwati berjilbab, jebolan seni kriya sekolah seni di Jogyakarta, tidak pantas bila pemerintah daerah menuduh para seniman membuat onar. BUktinya, kami tidak pernah berbuat anarkis melarang mengorat-oret tembok stadion atau gelagar penyangga jalan toll. “Bagaimana mungkin kami melakukan arnarkis dengan cat, kemudian dituduh ingin membakar tembok, gila ajah tuduhan seperti itu,” katanya di samping lapangan bal Kridosono tahun lalu, “Pejabatnya orha nduwe uteq.”
No Comment