Semua Serba Murah: Heik!


Heik
Heik (dok. eddyjsoe)

Entah haik yang dimaksudkan berarti ’ya’ seperti dalam pengertian bahasa Jepang atau bukan, yang jelas menelusuri akar kata heik bagi istilah pedagang angkringan sulit dicari padanannya. Kenapa penjual angkringan itu disebut heik. Bisa jadi, istilah heik berarti ’ya’ dalam bahasa Jepang.

Melacak istilah heik bagi pedagang angkringan ternyata tidaklah sesulit ketika kita ingin melacak asal-usul istilah itu sendiri. Entah sejak kapan istilah angkringan berubah menjadi Heik bagi penjual jajanan yang hanya berjualan di malam hari itu.  Yang jelas, istilah yang sulit dicari maknanya itu kini makin menjamur di kawasan Solo dan Jogjakarta.

Hampir dapat dipastikan di setiap emper pertokoan maupun di tikungan sepanjang jalan Raya-Solo di Jogyakarta atau di jalan Slamet Riyadi, Surakarta, mereka mengelar tenda di atas gerobak angkring dagangannya. Semua jenis makanan, terutama makanan ’rakyat’ seperti tahu, tempe, bacem, pisang goreng, singkong rebus, kacang bawang, sosis, mihun, bakmi dan nasi tersedia di situ.

Tapi jangan salah sangka, meski para penjualnya rela begadang hingga dini hari, toh pendapatan mereka tidaklah sebesar yang dibayangkan banyak orang. Pasalnya, hampir seluruh jajanan yang digelar di atas angkring sebenarnya dagangan titipan para penjual jasa boga lain.

Pedagang Heik daerah Solo
Pedagang Heik daerah Solo (dok. eddyjsoetopo)

Para pedagang angkringan itu hanya sekedar menunggui dagangan milik orang lain. ”Jajanan yang digelar di sini hampir seluruhnya milik taoke. Kami ’kan hanya menunggu milik orang lain,” ujar Makyo alias Kemin pedagang Heik legendaris di depan monumen Pers Solo. ”Jangan dikira setiap hari kami dapat jutaan rupiah. Itu keliru. Paling banter cuma bisa bawa pulang sekitar 300-450 ribu kotor.”

Kemin bukanlah mengada-ada. Pendapatan yang diperoleh dengan begadang setiap hari tidaklah sebesar yang dibayangkan banyak orang. Dibanding keruwetan mengelar dagangannya dengan memasang-tutup gerobak-tenda yang harus didorong-dorong saban sore hari, sebenarnya ia lebih suka, bila disuruh memilih, berjualan lain kalau ada peluang. Tapi apa boleh dikata, pelbagai jenis usaha pernah dilakoninya, hampir separuh usianya yang kini menginjak kepala enam itu, tidak pernah cocok dengan perjalanan nasibnya. ”Mungkin ndak hoki,” katanya sembari tertawa.

Ia hanya bisa pasrah setelah pelbagai jenis usaha yang satu beralih ke usaha lain, tidak pernah ada yang cocok. ”Barangkali memang bakat saya jualan wedang dan jajanan angkring,” ujarnya. Menurutnya pelbagai profesi bisnis pernah ia jalani. Dari bisnis kelas ecek-ecek, jualan keliling sendal dan dompet kulit, atau jual makanan angkringan keliling pernah pula ia lakoni.

Berkali-kali ia digusur Trantib ketika mengelar dagangan di pledestarian ruas jalan utama di Slamet Riyadi. Kemin ingat betul, ketika membantu orang tuanya, lari pontang-panting menyelamatkan dagangan saat diusir petugas polisi pamong praja pada tahun 70-an. ”Saya nyaris tersiram air panas yang ada direbus di ceret,” katanya mengenang peristiwa 24 tahun lalu.

Kemin bukanlah penjual dagangan Heik yang terpaksa melakoninya sepanjang kariernya sebagai pebisnis lesehan main kucing-kucingan dengan petugas kebersihan pemerintahan kota. Ngadikun pedagang angkringan di kawasan Bandara Adisucipto, Jogyakarta pernah mengalami peristiwa yang sama.

”Tidak hanya petugas Bandara saja yang suka ngoprak-oprak, polisi dan tentara juga sering merahasia,” tuturnya. ”Apalagi kalau pas ada tamu negara yang mendarat di Bandara. Bisa-bisa ndak jualan seharian. Tapi itu dulu. Setelah geger reformasi, sekarang jarang. Apalagi sejak kebutuhan hidup makin sulit dijangkau.”

Apa yang dikatakan Ngadikun barangkali ada benarnya. Sejak harga kebutuhan sembilan bahan pokok mencekik leher, tak terbeli, tak ada alternatif lain kecuali mencari alternatif harga pangan murah-meriah. Mereka tak perlu berpikir ’alot’ soal asupan gizi yang harus mencukupi empat sehat lima sempurna segala macam, yang penting bagi mereka, asal kenyang.

”Kandungan gizi tidak penting-penting amat. Pokonya asal murah-meriah dan kenyang,” kata Ngadikun sembari tertawa.

Usaha kaki lima angkringan atau Hiek tak dapat dipungkiri berkembang pesat di Kota Solo dan Jogjakarta. Di setiap ruas jalan utama maupun gang kampung dapat dengan mudah ditemui para pedagang menjual nasi kucing dan berbagai lauk sederhana pendukungnya. Bahkan, jika dulu warung ini dikenal juga dengan warung remang karena buka pada malam hari dengan penerangan sentir atau teplok, saat ini di siang hari pun telah mulai betebaran di setiap sudut pemukiman.

Angkringan yang dulu menjadi ikon kaum papa seperti pengayuh becak dan buruh kecil lain, kini menjadi alternatif pembeli yang mulai terbelit kesulitan ekonomi. Mereka, para pembeli itu, bukan hanya kaum papa, tetapi bisa disebut kelas menengah kota seperti karyawan, Pegawai Negeri Sipil (PNS), bahkan anggota TNI/Polisi pun tak jarang menyantap nasi kucing.

Biasanya tutur Jembug, 63, salah satu pedagang Heik di samping RSU PKU Muhammadiyah, Solo, para pegawai negeri dan tentara yang datang pada saat tengah bulan. ”Sekitar tanggal 20-an mereka mampir membeli nasi kucing dan lauk-pauk untuk di bawa pulang. Mungkin ngepas-pasin dengan uang gajian. Pada pertengahan bulan itu hampir dapat dipastikan dagangan saya habis terbeli,” ujarnya. Ia menambahkan, hampir semua makanan yang dijualnya dipasok juragan atau titipan dari orang lain. ”Hampir semua dipasok juragan, sedang saya hanya menyediakan minuman seperti teh, jahe, susu maupun kopi, karena sebenarnya ini yang menjadi andalan pendapatan.” Yang penting ’heik’ semua serba murah! Asal kalkulatornya tidak eror saja, pasti murah (eddy j soetopo)

Previous Lenjhongan Jajanan Masalalu
Next Belalang Jadi Lauk Lebaran

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *