Melacak kejayaan para pemain Wayang Orang (WO) Sriwedari bak mencari jarum dalam tumpukan jerami. Bukan hanya para pemain legendaries itu telah lama meninggal dunia, tetapi juga lantaran tak banyak orang di sekitar yang mengetahui kepiawaian para pemain wayang wong di atas panggung. Setidaknya di tahun 1970-an, nama tenar bintang panggung, acap disebut roll, memerankan tokoh Gatot Kaca, Srikandi, dan punakawan pun tak banyak dikenal.
Bahkan roll panggung para pemain WO Sriwedari, jaman lawasan, acapkali dipanggil ke Istana Merdeka sewaktu Presiden Soekarno untuk pentas di hadapan para tamu agung yang berkunjung ke Indonesia. Bukan hanya itu, gedung wayang wong Sriwedari dulunya juga pernah digunakan Bung Karno untuk berceramah tentang Pancasila dihadapan pejabat pemerintahan –istilah Haminte– Kota Solo
Padahal di era tahun 1970-1980 nama-nama seperti Rusman, Darsi, Surono, Mradjak merupakan bintang panggung yang sesungguhnya. Bukan lantaran Rusman setiap malam tampil bermain membawakan tokoh Gatut Kaca yang dikagumi bisa terbang beneran, tetapi pembawaan dan suaranya ‘gandhem’ bila sedang gandrung di atas panggung. Bahkan jauh sebelum tahun-tahun 1970-an yakni 1955 di gedung Sriwedari yang kemudian digunakan untuk sendratari WO, Bung Karno berorasi tentang kebudayaan dan pentingnya Pancasila. Memang diakuinya fungsi gedung WO dari waktu ke waktu berubah bentuk dan fungsinya sebagai gedung pagelaran wayang orang.
“Saya ingat betul, saat menonton wayang di luar ‘kerangkeng’ ram kawat dari di gedung wayang wong Sriwedari, suaranya membikin penonton berdesak-desak pating tremplek di luar gedung. Karena memang ingin nonton. Meski sound system tidak sebagus jaman sekarang, tapi suara pak Rusman itu yang membuat orang berdecak kagum,” ujar Hasta Gunawan, mantan Kepala Dinas Pariwisata, Pemerintah Kota Solo, ditemui beberapa waktu lalu.
Bukan hanya suara sang Gatutkoco yang membuat penonton WO Sriwedari ‘kepencut’ ingin nerokke, ujar Hasta menambahkan, tetapi juga cara bermain maupun saat mau mabur sembari gedruk-gedruk mengibar-ibarkan sampur –selendang– hingga sekarang tak banyak yang bisa menirukan. Permainan khas panggung Rusman sebagai Gatutkoco, ujar Hasta Gunawan menambahkan, seperti itulah yang tak bisa ditiru pemain muda sekarang.
“Meskipun sekarang pemain wayang wong itu lulusan dari institute seni sekali pun, tutur dia lebih lanjut, kekhasan gaya pak Rusman ndak diajarkan di kampus seni manapun. Bisa jadi lantaran, mereka main tinggal mancal, tetapi tidak diikuti penghayatan dirinya ditonton sebagai manusia hero Gatutkoco. Jadinya alah-orha mainnya,” katanya.
Tidak bisa dipungkiri, kecemasan Hasta sebagai pejabat dinas pariwisata, bila nantinya para pemain wayang orang tidak bisa mengembalikan kejayaan masalalu, icon Solo sebagai kota budaya lama-lama akan tergerus modernitas. Padahal dunia kepariwisataan lekat dengan persoalan budaya masalalu yang pantas dilestarikan dan dikembangkan.
“Apalagi yang akan jadi komoditas kepariwisataan kota Solo, kalau persoalan panggung budaya wayang, tari-tarian tidak bisa ‘dijual’ ke luar kota. Jelas dunia kepariwisataan akan sulit mengenalkan ke dunian luar. Nantinya perlu dilakukan revitalisasi prasarana dan sarana gedung pertunjukan wayang orang di Solo. Jadi kalau ada turis mancanegara atau dalam negeri, kita bisa pamer. Solo masih punya wayang wong,” katanya.
Kekawatiran kepala dinas pariwisata itu juga menyergap pengamat seni sekaligus pencetus gagasan SIEM (Solo International Etnic Music) Indro ‘Gembong’ Nugroho ketika diminta pendapatnya soal wayang wong. Menurut dia, keemasan wayang wong sudah selesai. Kalau mau dilakukan revitalisasi, ujar dia, entah bangunan maupun model pertunjukkan di atas panggung, seharusnya sudah dilakukan sejak dulu.
“Dulu sewaktu jaman walikota lawas, pemerintah pernah menerima bantuan dari pemerintah Jepang memberikan bantuan sound sistem dan penutupan ram kawat, juga kursi. Itu’kan artinya pemerintah jaman dulu sudah concern terhadap pertunjukan wayang orang. Tapi setelah itu di sekitar gedung juga dibangun Taman Hiburan Rakyat, dengan sound sistem keras. Apalagi kontraknya lama, hal seperti ini’kan tidak pas dan sinkron,” katanya.
Bisa dibayangkan, ujar dia melanjutkan, bila gedung kesenian dicampur-adukkan fungsinya dengan taman rekreasi yang bertumpu mengejar keuntungan tanpa mengindahkan batas kewilayahan seni tradisional, dipastikan katcau.
“Menurut saya, bila nantinya akan dibangun gedung wayang orang modern, yang perlu dikelola pertama kali adalah para pemainnya terlebih dahulu akan diapakan. Jangan sampai, sudah dibangun gedung baru, main di atas panggung asal-asalan. Tidak punya greget. Kalau seperti it uterus, sampai kapan pun dunia perwayangan di kota Solo akan tenggelam. Sebelum bertindak lebih jauh, mari sama-sama berkaca dan melihat dari dekat cara manage pertunjukan wayang wong Baratha di Jakarta. Biar seni perwayangan di kota Solo tidak pudar dan lantas modar.”
No Comment