Kegaduhan terkait perlu-tidaknya warga masyarakat miskin, memperoleh bantuan pemerintah agar hidup mereka tidak semakin menderita. Pasalnya setelah kegaduhan pemilihan umum untuk memilih presiden, dan anggota legislatif nampaknya belum ada kesepakatan, kapan rakyat dapat menikmati keadilan. Bukan hanya persoalan perlu tidaknya rakyat akan memperoleh bantuan untuk hidup, termasuk soal keadilan sosial. Rasa-rasanya, bagi warga masyarakat yang pernah mengenyam kehidupan sosial-politik di era kepemimpinan Orde Lama maupun Orde Baru saat itu, jelas dapat membandingkan, enak-tidaknya rakyat menikmati dalam kehidupan bernegara menjadi jelata.
Tidaklah mengherankan, bila kemudian kaum rakyat jelata di masa orde lama ketika presiden pertama Bung Karno menjabat sebagai orang nomor satu di republik ini, banyak kaum papa memperoleh perhatian seksama agar dapat menikmati kehidupan layak. Meski terdapat kegemparan ketika terjadi pemilihan umum dengan partai-partai politik seusai merdeka, toh dalam sistem kenegaraan kala itu, aman ketika parpol berkampanye dengan nyaman dilihat rakyat. Entah lantaran saat kampanye pemilu yang diikuti hanya beberapa partai politik, saat kampanye tidak membawa bingkisan apapun dibagi-bagi pada rakyat melarat. Kita tahu dari jejak sejarah masalalu, presiden dan para menteri-mentrinya tetap mengikuti perintah presiden agar tidak membikin kegaduhan hingga memicu kegentingan menjelang pemilihan umum.
Persoalan politik bila tercampur aduk dengan tujuan hidup dalam rekam-jejak pemilihan umum –entah pilpres (pemilihan presiden) atau pilgub (pemilihan gubernur-walikota) tentu akan menimbulkan gejolak ditingkat akar rumput –istilah rakyat jelata miskin pinggiran– jelas sulit diprediksi kapan akan terjadi. Bukan hanya figur calon pemimpin di satu negara yang akan menduduki jabatan diperebutkan dan dapat dipercaya memimpin kotanya, tetapi juga persoalan berapa banyak yang bersangkutan bersedia menyebar fulus untuk melancarkan suara dalam pemilu. Kita mengerti bahwa pemilihan umum yang mestinya menjadi ajang pesta demokrasi agar calon pemimpin terpilih nantinya dapat mensejahterakan rakyatnya seperti yang diidam-idamkan rakyat, acapkali tak akan tercapai. Lantaran mereka, para kandidat ketika berada di podium berkampanya hanyalah isapan jempol dan “ngedabrus” ingin berbuat baik memperjuangkan aspirasi rakyat dan mensejahterakan kehidupan kaum miskin kota-dan pinggiran, toh nantinya tak bakalan diwujudkan
Pertanyaannya kemudian, lantas untuk apa negara melakukan pemilihan umum mencari pemimpin yang dapat membawa perubahan bagi kehidupan seluruh rakyat negri ini. Sehingga rakyat jelata yang jauh dari kehidupan layak dapat terpenuhi. Rasanya, sejak awal gerakan kemerdekaan cita-cita luhur seluruh pejuang yang rela mengorbankan nyawanya berjibaku, hingga kini rakyat belum seluruhnya mengenyam kemerdekaan seperti cita-cita bangsa. “Sulit membuktikan bahwa calon kandidat pemimpin yang ingin menjadi pejabat negara, di Indonesia mampu membuktikan agar rakyat miskin dapat diatasi hingga mereka layak bertempat tinggal usai kemerdekaan negri menikmati hidup layak,” ujar Eddy Jez, direktur eksekutif IMSS (Institute for Media and Social Studies).
Menurut Direktur Eksekutif IMSS. sejak awal pemilu tahun 1955 hingga terpilihnya para legislator di parlemen maupun pergantian kepala negara, kehidupan rakyat yang memilih mereka –anggota maupun presiden– tak terwujud menjadi lebih baik kehidupannya. Lihat saja dan buktikan, setelah mereka terpilih menduduki kursi empuk di parlemen, semuanya hanya jualan abab. Sampai mulut mereka berbusa-busa menjanjikan taraf hidup rakyat yang memilihnya, cuma obral janji. Nggedabrus ingin membantu mewujudkan kehidupan bangsanya menjadi lebih baik dan sejahtera, nyatanya cuma cangkeman belaka.
“Apakah mereka tidak malu dengan warga-rakyat yang telah memilihnya untuk mewakili duduk di meja parlemen. Mestinya mereka malu dengan dirinya sendiri dan, memalukan partai pengusungnya. Watak culas, mana mungkin bisa dipercaya.” Mereka hanya ingin melaju agar keluarga dan kroni-kroninya dapat menikmati kehidupan diatas penderitaan rakyat pemilihnya. Hanya aktivis yang jujur dan konsisten mengamati perilaku para senator culas, dan mewartakan di media massa. Cilakanya mereka juga tak mau tahu, yang jelas, pengeluaran duit dari kocek buat mbeseli, menyogok buat pemilihnya telah kembali. Tinggal mencari untung di posisi sebagai wakil rakyat.” Jargon-jargon yang digembar-gemborkan saat menjaring suara agar terpilih sebagai wakilnya di parlemen, jelas dianggap angin lalu. “Prexlah.”
Itulah sebabnya, sejak awal pembangunan dicanangkan para pemimpin pemerintahan kala itu, jelas tujuannya ingin membangun kehidupan rakyatnya lebih sejahtera selamanya. Berulangkali sang proklamator Bung Karno menyerukan agar seluruh rakyat menikmati kehidupan setelah kemerdekaan itu diproklamirkan. Tidak ada kata lain selain berjuang untuk mensejahterakan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. “Keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat itulah yang menjadi cita-cita seluruh rakyat bangsa Indonesia, harus dicapai. Selekas-lekasnya. Untuk itu bersatulah para cerdik-pandai ekonom terdidik maupun sosiolog, perlu terus menerus mengingatkan para pemimpin agar tujuan bangsa Indonesia tercapai selekas-lekasnya,” kata Bung Karno dalam pledoi di depan pengadilan dengan meneriakkan jargon “Indonesia Menggugat” (Tim investigasi literer)
No Comment