Ketika Oma & Opa Reoni Naek Bukit Brexi


Pandemi virus tak hanya melantakkan perekonomian tetapi justru menyambung keselarasan satu dengan lain dalam ikatan keakraban usai pandemi, tampak ada himahnya. Paling kurang hubungan antarteman ketika masih sama-sama mengenyam di bangku sekolah, justru menjadi daya kerekatan kekerabatan perkawanan. Bagaimana tidak, setelah lebih dari 20 tahun tak saling menyapa guabrusan bertemu tatapmuka, betapa guyubnya para lansia yang kini menginjak usia swet, baca bukan swet seventeen- tapi swetdhakan alias lebih dari 60-an tahun.

Boleh jadi reoni tipis-tipis grup nyuwidakan -enampuluhan- paling guyub bisa dikatakan, berpose meniru kumpulan para modeling lawas. Sungguh menyenangkan dan menggembirakan. Bukan lantaran pertemuan itu dijadual ketat sehari muput, mutar-muter naik jeep manjat tebing Brexi sampai dengkelen, tapi juga dilanjut nari-nari kegemaran Bung Karno, Lenso, sembari gitaran di suatu tempat uadem njekut. Toh Oma dan Opa tetap menteges ndak sampai masuk angin.

Oma ndaplang ngadem ngerabuk umur (Jes)

Itulah gaya para pangsionan alumni SMA 3 Solo dledhar-dhleder ngerabuk nyowo sesama rekan, mengingat masa lalu sewaktu sekolah. Celetukan yang dulunya tak akan didengar saat duduk manis di Kampus Warmir jelas telontar dengan enteng. Meminjam istilah Abg Lawasan, kecroh-kecrohan, yang dulunya dianggap tabu terucap, justru menjadi amunisi ngebully rekan satu dengan lainnya saat tak jadi mbrakoti jagung bakar. Harap maklum, seperti nyanyian burung Kakak Tua, mayoritas gigi peserta reoni nyaris tinggal dua.

Bisa dibayangin, bukan hanya sambat kekeselen naik angkutan tapi juga mengeluh ketika balik dari halan-halan ke tempat penginapan, terasa jauh betapa guyubnya reoni opha-oma malam itu. Padahal kalau dipikir grup Warung Miri menempuh perjalanan tidak lebih 75 Km bila ditotal dari hotel ke tempat wisata. Toh menguras tenaga. “Kowk orha tekan-tekan,” ujar Oma Iis dengkelen, “Jenenge balung tuwo. Diajak penekan. Tapi menyenangkan,” sambil memblonyohkan Pok Ping ke pelipisnya.

Bukan hanya lantaran capai naik jeep ngronjhal, dientrok-entrok ngetrail jalanan menanjak tapi bisa jadi karena kebanyakan pose dipotrax-potrex ndaplang, bak peragawati. Itu masalahnya habis berpose sampai rumah masuk angin, itulah sebabnya sewaktu berada dalam kendaraan, selain bawa makanan berat dan ringan, tak lupa minyak gosok model lawasan Pokping. Untungnya bukan minyak telon laiknya emak-emak masa lalu dan Pak Pung Oil alias PPO seperti saat mereka habis pulang les kehujanan dari sekolahan Smaga Solo.

Bukan persoalan dientrok-entrok saat perjalanan menuju tebing Brexi, tetapi juga berjalan menaik-turuni perbukitan itu yang menjadi penyebab, pegel-linu otot sepuh. Meski demikian, toh kami tetap saja merasa hepi-hepi melakoni guabrusan antarteman lawas. “Namanya juga upaya menjalin keakraban ngerabuk umur,” ujar Liek Joksap ketika itu.
Itulah gaya para pangsionan alumni SMA 3 Solo dledhar-dhleder ngerabuk nyowo sesama rekan, mengingat masa lalu sewaktu sekolah. Celetukan yang dulunya tak akan didengar saat duduk manis di Kampus Warmir jelas telontar dengan enteng. Meminjam istilah Abg Lawasan, kecroh-kecrohan, yang dulunya dianggap tabu terucap, justru menjadi amunisi ngebully rekan satu dengan lainnya saat tak jadi mbrakoti jagung bakar. Harap maklum, seperti nyanyian burung Kakak Tua, mayoritas gigi peserta reoni nyaris tinggal dua.

Bisa dibayangin, bukan hanya sambat kekeselen naik angkutan tapi juga mengeluh ketika balik dari halan-halan ke tempat penginapan, terasa jauh betapa guyubnya reoni opha-oma malam itu. Padahal kalau dipikir grup Warung Miri menempuh perjalanan tidak lebih 75 Km bila ditotal dari hotel ke tempat wisata. Toh menguras tenaga. “Kowk orha tekan-tekan,” ujar Oma Iis dengkelen, “Jenenge balung tuwo. Diajak penekan. Tapi menyenangkan,” sambil memblonyohkan Pok Ping ke pelipisnya

Bukit Brexi bekas penambangan menjadi destinasi pilihan menarik (Ist)

Bukan hanya lantaran capai naik jeep ngronjhal, dientrok-entrok ngetrail jalanan menanjak tapi bisa jadi karena kebanyakan pose dipotrax-potrex ndaplang, bak peragawati. Itu masalahnya. Meski demikian yang Namanya nglencer, tentu tak perlu mengkalkulasi angka umur dan rupiah. Jadilah halan-halan ke distinasi wisata tebing brexi yang berada di batas antara Klaten-Jogyakarta. Tebing Brexi berada di Desa Lengkong, Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kab Sleman Jogyakarta. Berada di sebelah selatan Candi Prambanan, berdekatan dengan Candi Ijo dan bekas komplek Keraton Boko.

Bagi Anda yang tertarik le Tebig Brexi dapat ditempuh melalui jalur utama Prambanan-Piyungan, sekitar 1 Km sebelum sampai Candi Ijo. Dari Jogya baling banter jarak tempuh Cuma 17 kilometer melalui jalur berliku, dan tidak terlalu mulus benar. Jangan heran bila Anda bila panas menyengat matahari, disarankan membawa payung atau baju lengan panjang.

Bila Anda ingin memanjat ke atas tebing Brexi disarankan menyewa kendaraan Jeep yang berada di lantantai dasar dengan kisaran sewa Rp.315.000 per jeep. Melalui usaha jeep wisata itulah kegiatan warga masyarakat memperoleh pemasukan menyewakan trip pendek atau berkeliling ke distinasi wisata lain seperti Watu Payung,  Selo Langit, Oblelix Hill, Bukit Teletubbies, Desa wisata Pereng dan berakhir di Rumah Domes. Sila plesir mumpung liburan

Previous Kuliner Solo, Kembang Tahu itu Namanya Tahok, Bukan Ahok
Next Matinya Produk Perajin Sapu Rayung Lawan Sapu Plastik

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *