Bagi pengemar film lawas zaman old tentu tak mungkin lupa artis cantik nan memesona, Elizabeth Taylor. Peraih predikat bintang film dengan bayaran tertinggi $ 1 juta, waktu itu, bukan sembarangan produser Cleopatra tak akan mau membayar mahal pada tahun 1962. Dalam sejarah Hollywod produksi film Cleopatra, yang menelan budget $ 44 juta AS, merupakan film termahal saat itu.
There has been much debate as to where this Twentieth Century-Fox film stands/stood as a box office blockbuster or a financial bust — while “Cleopatra” cost more at that time than any other Hollywood film had (some sources say it cost $25 million to produce, others say $31 or $40 million), it eventually recouped its expenses. It was the top-grossing film of 1963, but because it cost so much to produce (partially because so many extras were used on location and because production had to be shut down for six months due to Taylor’s near-death illness), “Cleopatra” was in the red for several years
Bukan saja biaya produksi film Cleopatra terbilang mahal yang menjadikan perbincangan kritikus dunia layar lebar, tetapi juga rewelnya sang diva, Taylor, saat menjadi pemeran utama Cleopatra. Saking judeg, sang sutradara dan crew film yang terlibat dalam menggarap Cleopatra, lantaran waktu pengambilan gambar merbulan-bulan tak juga rampung, membuat sang makeuper penata rias Alberto De Rossi (ADR) sampai engkrik-engkriken alias sakit keluar masuk rumah sakit. Momong bintang ayu dan bawel, menurut ADR gampang-gampang susah. Moodnya berubah setiap waktu, berganti sesuka-suka dia.
‘’Acap sangat baik terhadap semua crew film, tetapi kalau ‘kumat’ eksentriknya, jangan ditanya judesnya. Bisa saja dia membatalkan tidak mau shooting gara-gara eye shadow miliknya yang akan dipakai merias kelopak matanya tertinggal. Diganti menggunakan property crew film ogah. Meski merk dan warnanya sama persis dengan dia punya,’’ ujar ADR seperti dikutip media terkemuka Hollywood Movie Star
Bukan hanya perkara eye shadow ketinggalan yang menjadikan Elizabeth sewot pada crew film, tetapi juga saat merias kelopak mata melenceng sedikit, ia bisa melempar barang berharga miliknya tanpa diambil lagi. Hal itulah yang menjadikan crew film tak berani mendekat ketika Taylor merias sendiri alis dan mewarnai kelopak mata dengan warna yang disukainya biru dan hitam.
Polesan eye shadow serasi dengan gaun biru cerah mantel motif macan tutul membalut tubuhnya yang semlohai mengenakan gaun panjang hijau zamrud menjuntai ke lantai transparan tanpa dalaman membuat melongo crew film sambil berdecak kagum. Elizabeth Taylor memang ditakdirkan sebagai artis icon panas dengan penampilan berbeda dengan bintang film lain seangkatannya kala itu.
Matanya biru belok dengan pupil warna hijau, jelas menampilkan aura cantik yang menghanyutkan jutaan dollar AS — apalagi dengan eye liner tebal seolah membuat bayangan biru dari ujung bulu matanya hingga ke alisnya— membuat tampilannya bertambah sangar namun elegan dan ”laku jual” dengan bayaran tinggi.
Kecantikannya dibarengi dan kepiawaian merias wajah secara otodidak yang diperolehnya dari De Rossi sewaktu dipercayai merawat Taylor membuat crew film dan selebriti lain geleng-geleng kepala takjub. Bukan mustahil bila Taylor acap sewot takala penata wajah merias wajahnya tak sesuai yang dikehendakinya.
Ketelitian dan kepiawaiannya menyapu kelopak mata diakui Richard Burton teman main dalam film Cleopatra. Bahkan Mark Antony yang diperankan Richard Burton hingga akhir ajalnya, sampai-sampai ceblok-demen mencintai Taylor.
Elizabeth Taylor, ujar William Mann penulis buku How To Be Movie Star, menjadi sosok yang benar-benar dicintai tidak saja oleh Richard Burton, tetapi juga public sejagad. Hubungan percinta Taylor dan Burton tak urung menjadi trend gaya hidup makeup seantero Amerika. ‘’Matanya merupakan satu alasan melambungkan namanya mengalahkan ketenaran bintang film seangkatan Taylor. Perkara hubungan sexual dengan pria lain itu hal lain,’’ ujar William Mann.
Kejujuran, otentisitas dan eksentrisitas seorang diva papan atas sekelas Taylor itulah menjadikan pesona sang maha bintang film sensual Hollywood tak tertandingi artis lain. Entah lantaran Taylor telanjur dilahirkan memiliki gen kerabat dekat kerajaan Inggris ketika ia dilahirkan dan hijrah ke Los Angeles, Amerika Serikat, menjadikannya tenar tak banyak yang tahu.
Padahal selama di era Victoria pada 1939-an, tatkala Taylor menetapkan niatnya tinggal di AS, hampir seluruh perempuan di AS dan Inggris, menurut sejarawan Madeleine Marsh dalam bukunya Compacts and Cosmetics, sedang dikutuk, lantaran polesan wajah memakai eye shadow. Masih menurut Marsh dijaman kebangkitan agama Kristen, menggunakan kosmetik merupakan kemewahan penuh dosa dan berusaha untuk memalsukan karya agung Tuhan.
Mode mengecat wajah putih dan gincu menor merupakan gaya borjuis aristrokrat wanita dan pria pada akhir tahun 1500-1700, dan kemudian tak disukai setelah imbauan para penganut agama Kristen. Padahal sebenarnya, menurut Marsh, kaum wanita bisa saja nekat memakai riasan sesuka mereka, asal pas dengan face wanita berkulit putih. ‘’Kenyataannya banyak kaum perempuan, entah warna kulitnya apapun, toh mengenakan gaya merias muka menggunakan eye shadow tebal juga tidak masalah,’’ katanya.
Bahkan trend di tahun 1920-an di AS seperti tampilan Theda Bara, justru mengesankan tampilan ‘menggoda’ dengan mata gelap dan riasan bibir warna mencolok hingga tampil seperti berbibir tebal dan menantang. Gaya meniru Elizabeth Taylor itulah yang kemudian menjadi icon selebritas dalam dunia perfilman waktu itu. Tak pelak model rias wajah blue eye shadow menjadi stigma glamour kaum selebriti telanjur dicap sebagai perempuan cantik, menggoda sekaligus norak.
Terstigma menjadi sosok perempuan yang dicap ayu, nakal dan sekaligus norak bagi Elizabeth Taylor, menurut Marsh, ditanggapi dengan santai. Termasuk hubungannya dengan Richard Burton sohib ketika cinlok sebagai ‘gebetan’ sewaktu main film Cleopatra, tak membuatnya risau dan membuat karirnya sebagai bintang film mati. Justru yang merisaukan Taylor yaitu cara nencegah kematian bukan akibat diisukan perempuan nakal, norak den bengal, tetapi kematian disebabkan AIDS hingga merengut kekasihnya Burhton. Itulah sebabnya, kekayaan yang berlimpah dihibahkan ke yayasan AIDS dunia, jutaan dollar AS, untuk mencegah dan membantu penderita.
Dalam obituarinya di New York Times, direktur Cleopatra Joseph Mankiewicz menggambarkan sosok Elizabeth untuk pertama kalinya ketika dia berusia delapan belas tahun, “She is the most extraordinary vision of beauty I have ever seen in my life,” he said. “And he is truly innocent.” Malignancy allows him to make money from his requirements; the sexuality behind veneer of innocence is often what he sells. (nicole dari jerman/eddy je soe-solo)
No Comment