Tidak hanya aktivis, bila tidak sepaham dengan kebijakan Orde Baru sewaktu Soeharto berkuasa, dapat dipastikan ditahan. Budayawan sekaligus novelis kenamaan, Achmad Tohari, nyaris dipenjara gara-gara novel Rongeng Dukuh Paruk, karyanya, dinilai kiri. Untung saja ia mengenal mantan presiden almarhum Gus Dur. Kalau tidak, bisa jadi Tohari mendekam dalam penjara.
Pernahkah terbayangkan dalam benak Anda gara-gara nulis novel dipenjara? Di negeri ini, seorang novelis atau sastrawan bisa saja tiba-tiba diciduk, kala itu. Tidak Pramoedya Ananta Tour yang pernah mengalaminya, banyak penulis dijebloskan ke penjara saat rezim Orba berkuasa.
”Waktu itu saya sempat stres berhari-hari ketika diinterogasi berminggu-minggu di Kodim Banyumas. Untungnya saya dekat dengan Gus Dur,” ujarnya usai acara Rembuk Kebangsaan, di Tawangmangu beberapa waktu lalu.
Pemerintahan Orba waktu itu, tutur Tohari, acapkali main tangkap pada orang-orang yang tidak sepaham dengan gagasan Soeharto, dapat dipastikan diciduk. Saya, lanjut novelis handal itu, nyaris dipenjara gara-gara novel Rongeng Dukuh Paruk dianggap kekiri-kirian. Tak ayal selama lebih dari seminggu ia dinterogasi di kantor Kodim (Komando Distrik Militer) Banyumas. Lebih celaka lagi, papar Tohari mengenang peristiwa itu, yang menginterogasi soal novel tidak tahu dunia sastra.
”Ini sungguh keterlaluan. Sudah tidak tahu sastra, ngeyel lagi. Namanya juga tentara. Berkali-kali saya jelaskan novel Rongeng Dukuh Paruk tidak ada kaitannya sama sekali dengan persoalan PKI, tidak juga paham. Nanyanya itu-itu melulu. Diulang-ulang, ini’kan gila,” katanya.
Pengalaman pahit novelis kelahiran desa Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas 13 Juni 1948 di interograsi, hingga kini masih membekas dalam ingatan. Menurutnya, pemerintahan rezim Orba memang sangat keterlaluan ketika menyebarkan rasa takut, saling bermusuhan dan menanam kebencian dalam kehidupan masyarakat.
Bagaimana mungkin, tutur Tohari, sebuah novel bisa menjadi bahan untuk mencap penulisnya berhaluan komunis. Cara mengintrogasi dengan pertanyaan yang sama berulang-ulang, menurutnya, sungguh biadab. Padahal pangkat yang mengintrogasi, lanjut Tohari, bukanlah kelas ecek-ecek.
”Tapi, masyallah kelihatan bodoh sekali. Saya disuruh mengaku anggota PKI dan berhaluan komunis,” kata Ahmad Tohari sembari menambahkan, ”bagaimana mungkin saya berhaluan komunis, wong saya kaum nahdliyin, Nahdlatul Ulama (NU). Tapi yang namanya bego, ya bego saja. Percuma saja saya berdebat,” Tuturnya jengkel
Pemaksaan aparat agar dirinya mengakui PKI, pun terus di tampiknya, “Saking jengkelnya, untuk membuktikan saya anggota NU atau bukan, sederet nomor telepon saya sodorkan pada orang yang menginterograsi,” ujarnya kesal. ”Sebab, para interogator tetap saja tidak mempercayainya.”
”Saya tidak percaya,” kata seorang perwira menyuruh Tohari menelpun Gus Dur. ”Kamu hubungi Gus Dur!” Setelah saya menelpun Gus Dur, tetap saja perwira itu tidak mau percaya begitu saja. Kemudian saya serahkan telpun padanya, baru kemudian dia percaya.
Bahkan, seluruh tentara yang piket waktu itu berbalik sikap. Mereka hormat pada saya. Lebih lanjut Tohari menambahkan, ”Saya ucapkan terima kasih pada Gus Dur yang telah membebaskan dari jerat hukum dan intimidasi tentara.”
Bisa dibayangkan, papar Tohari, betapa sengsaranya bila ancaman komandan Kodim waktu itu benar terjadi. Kata ’absen’ yang diucapkan komandan Kodim, dalam benaknya bukanlah gertak sambal. Apalagi, kenang Tohari, ditambah dengan kata-kata harus tepat waktu, dan push-up bila terlambat datang, selama satu tahun.
”Ancaman ini, saya pikir, bukan main-main. Apalagi saat itu Orba sangat berkuasa. Setiap kata bisa diartikan lain, bila seorang berhadapan dengan penguasa militer,” katanya.
Meski tidak sampai masuk ke hotel pordeo, namun absen setiap hari di Kodim yang dijalaninya hampir satu bulan, cukup menjengkelkan dirinya. Ia banyak kehilangan energi maupun waktu luang untuk menulis novel, sebab harus mondar-mandir dari rumah ke Kodim. Saat itu Tohari tidak bisa berbuat banyak. Meski pun ia banyak berkenalan dengan tokoh-tokoh nasional, ia tidak mau memanfaatkan bagi kepentingan dirinya. Meski dirinya dapat melakukan hal itu. ”Kalau tidak benar-benar kepepet, saya tidak akan memanfaatkan kolega saya,” ujarnya.
Setiap kali pergi ke kantor Kodim, papar Tohari dalam hati, ia acap bertanya-tanya, apa yang salah dengan novel Rongeng Dukuh Paruk. Ia tidak habis pikir, mengapa novel yang ditulisnya dihubung-hubungkan dengan pergolakan PKI di Banyumas. Padahal dalam novel itu, tandas Tohari mengenang pengalaman pahit di interogasi militer, ia justru menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya terjadi di Banyumas.
”Mengingat pengalaman pahit yang tidak ada ujung-pangkalnya ketika itu, apa boleh buat janji yang pernah terucap dalam hati saya langgar. Sebab, saya sudah tidak tahu lagi cara menghadapi tentara ketika menginterogasi, dan karena sudah tidak tahan diperlakukan seperti itu. Saya mohon bantuan pada Gus Dur,” papar Tohari sembari tersenyum.
Pengalaman pahit Tohari saat diinterogasi di kontor militer hingga kini terasa masih membekas. Ia masih trauma apabila mengurus sesuatu hal berhubungan dengan aparat keamanan. Tohari sering minta tolong pada putrinya, yang akan diwisuda menjadi dokter di Universitas Gajah Mada, bila ia mengurus perijinan ke kantor kepolisian.
Selain masih tetap sebagai penulis, hari-harinya dilalui dengan berternak unggas. Menurutnya, menjadi petani dan peternak dapat meneteramkan hati. Sembari menikmati royalty penerbitan novel triloginya, Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari dan jentera Bianglala, yang tidak seberapa besar itu, ia tetap konsisten menjaga jarak dengan para penguasa yang tidak berpihak pada kaum papa.
Selain menulis artikel yang dikirimkan ke pelbagai media massa, ia pun aktif mensosialisasikan dialek banyumasan. Menurutnya, kontribusi yang sedang dijalaninya itu terkait dengan persoalan perbenturan peradaban budaya. Mempertahankan budaya lokal, menurut Tohari, suatu mampu mengangkat kehidupan material-sepiritual komunitas setempat. “Sebagai contoh misalnya, di Jepang kebudayaan Bushido, menjadi salah satu perekat dan pengikat komunitas di negaranya, sehingga unggul,” papar Tohari.
Ketika disinggung mengenai budaya tulis yang tidak banyak diminati generasi muda, Tohari hanya bisa tersenyum. Tohari mengharapkan budaya tulis digemari anak-anak muda. Sebab menurutnya, tidak banyaknya penulis muda di Indonesia, bisa jadi terkait dengan minat baca yang rendah. Bisa Anda bayangkan, papar Tohari, hanya sebesar tuju persen masyarakat yang senang membaca. Selebihnya menonton TV dan kongkow-kongkow enggak tahu juntrungannya.
”Apalagi yang namanya pejabat pemerintah. Mereka banyak ngomong. Bukan hanya pengede saja yang banyak bicara, budayawan, sastrawan dan intelektual pun juga ketularan ngomong doang. Kalau saja budaya ngebacot pejabat itu bisa dihentikan dan diganti budaya tulis, saya kira bangsa ini bisa maju pesat,” katanya.
Padahal, lanjut Tohari berapi-api, tradisi tulis-menulis dimulai sejak jaman purba. Nenek moyang bangsa Indonesia telah mengajari menulis dan mendokumentasikan peristiwa melalui prasasti yang tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia. Coba saja Anda simak, berapa banyak prasasti yang pernah ditulis nenek moyang bangsa Indonesia. ”Tradisi menulis di prasasti atau tulisan lain yang ditorehkan di daun lontar, mencerminkan bahwa sebenarnya, bangsa kita lebih dahulu mengenal budaya tulis,” tandas Tohari.
Baginya menjadi penulis merupakan profesi yang sangat menyenangkan, dapat membagi waktu kapan pun si penulis itu mau bekerja. ”Mau tidur malam dan bangunnya siang, terserah kita. Asal produktif menulis. Waktu tidak bisa dijadikan patokan,” jelasnya sembari menambahkan, ”tapi kalau ide kreatif tidak pernah datang, itu tandanya mati angin. Paling kelayapan ke sana-sini cari inspirasi bahan tulisan. Menjadi penulis itu paling nikmat. Apalagi tinggal di desa, pola hidup sederhana, enggak pakai acara neko-neko, yach cukuplah.”
Lhah, kenapa Bung Tohari sekarang berhenti menulis? ”Siapa bilang? Cuma karena faktor usia, sampun sepuh, jadi agak direm.” Jadi ngeles nich. (eddy je soe – editor)
No Comment