Barangkali bukan hanya ada di kota budaya, Solo, wayang orang, hingga kini berkembang cukup baik dan juga digemari masyarakat. Tentu kita bisa memaknai, seni budaya pementasan seni-tari ‘wayang-wong’ memperoleh apresiasi rakyat hingga kini. Meskipun, lama-kelamaan pentas wayang wong kini tak banyak yang menggemari. Paling banyak para penggemar pentas wayang wong kebanyakan para ‘pinisepuh’ ingin mengembara kegemaran di masalalu. Masih beruntung para penggemar wayang wong, masih berniat menyaksikan pagelaran wayang. Meskipun digelar tanpa harus merogoh kocek puluhan ribu-hingga ratusan ribu rupiah, yang dipentaskan di gedung khusus seperti Sriwedari maupun di auditorium Radio Republik Indonesia (RRI) di Solo, toh tak banyak peminatnya.

Berbeda dengan pagelaran wayang kulit di lapangan terbuka atau teraup, yang disaksikan rakyat dan simpatisan penonton fanatik menonton ki dalang, apalagi terkenal, memainkan tokoh wayang-kulit. Perbedaan sudut pandang, antara melihat pertunjukan wayang wong dengan wayang kulit, tentu menarik diamati, di era modernitas kini. Mestinya dan kini telah disadari, bahwa penonton wayang wong dan kulit dapat dilihat melalui gambar-film berkat kemajuan teknologi-informasi: lewat film streaming dan diunggah (upload) di canal (jejaring) internet satelit, hingga tersebar ke pelbagai penjuru dunia.

Akankah kedua warisan kebudayaan, wayang wong dan kulit akan tumbang dengan kemajuan teknologi maju? Jawabannya antara mungkin akan lenyap dan tidak akan dilihat, secara fisik ketika para pemain wayang wong pentas di gedung kesenian. Lantas bagaimana nasib ‘dunia’ kebudayaan seni-tari dan pentas budaya yang akan datang. Jawabannya, tetap ‘Mbuh’ ndak tahu. Bukankah ada kementerian pendidikan dan kebudayaan yang dapat berkiprah menghidup-hidupi ‘genre’ dunia pewayangan tersebut.
“Tanya saja pada mentrinya, lha wong mentrinya kagak gablek soal dunia seni tari dan pewayangan jhe,” kata jurnalis dan pengamat budaya, Johanes Es. Mestinya, wayang dalam bahasa Jawa mendapat pemaknaan sebagai wewayanganing ngaurip atau bayangan kehidupan yang sesungguhnya.” Menurutnya, dunia pewayangan, meskipun dalam kondisi mati segan, hidup tak mau, harus dijaga kelestariannya, kalau memang tetap menganggap Kota Solo sebagai center of cultural. Kalau tidak yach biarin saja lenyap. Namun, katanya dunia pewayangan orang maupun wayang kulit masih agak lumayan masih ada jenis wayang lain, yakni wayang Potehi, yang tumbang sejak, surat perintah Orde Baru melarang Potehi dipentaskan. “Itu berbau-bau komunis. Jadi dilarang. Orba. Setelah Presiden Gus Dur mencabut larangan itu, kini Potehi mulai krengkang-krengkang dihidupkan kembali



No Comment