Loro Blonyo Disapu Modernitas Jaman Now


Patung kayu "Loro Blonyo" kini mulai tergerus modernitas kemajuan jaman, (courtesy Sarah Agung)

Modernitas tak hanya meporandakan struktur ekonomi dunia ketiga tetapi juga menyapu bersih budaya dan peradabapan bangsa. Nilai sakralitas simbol agamawi yang menjadi panutan moralitas agamawi, tak luput diterjang modernisasi. Sebagai contoh misalnya patung Loro Blonyo.

“Loro Blonyo berbentuk sepasang penganten, dulu menjadi simbul keharmonisan perkawinan di letakkan di dalam kamar. Sekarang tak lagi eperti itu. Patung spasang pengantin menjadi gantungan kunci,” papar Slamet Subaintoro dalam seminar ‘Loro Blonyo, Kearifan Lokal dan Revitalisasi Budaya Jawa dalam Multiperspektif,’ Sabtu (11/10/2016) di LPM UNS.

Memodivikasi cerita dan gagrak seni ukir nampaknya menjadi alternatif para perjin Loro Blonyo

Menurut Slamet, hilangnya makna simbolisasi kultural disebabkan karena derasnya gempuran peradaban modern. Kalau pada masa lalu, katanya, patung Loro Blonyo dibuat menggunakan bahan dari batang kayu berbagai jenis, sekarang telah dimodifikasi dari plastik.

“Padahal yang namanya patung Loro Blonyo itu diukir dan ditatah menggunakan bahan dari pohon kayu. Sekarang diganti dari platik. Ini’kan perubahan jaman, akibat modernitas,” ujarnya

Bisa jadi perubahan wujud Loro Blonyo dari bentuk aslinya lebih disebabkan oleh faktor ekonomi sebagai pemicunya. Budaya pragmatisme, ujar dia, jelas menjadi orientasi yang akan terus mengalahkan nilai-nilai kultur Jawa.

Tampilan Loro Blonyo pengantin jaman now menjadi salah satu kreativitas perajin (courtesy Kompasiana)

“Apakah nantinya akan lenyap patung Loro Blonyo dalam waktu singkat? Tergantung pada pelaku dan peranjin seni patung itu sendiri,” katanya.

Di temui ditempat sama, pematung Loro Blonyo, Sujiman, mengakui orientasi membuat patung berbeda dengan bentuk aslinya lantaran mencari keuntungan besar.

“Kalau terus-terusan mempertahankan buat patung berukuran besar, sekarang tidak bayak diminati. Apa boleh buat, terpaksa saya kecilkan. Biar keuntungannya besar,” katanya. Saat ini, ujar Sujiman menambahkan, anggota kelompok perajin di Bantul sebayak 600 orang dengan omzet 7 miliar per tahun.

“Rata-rata Rp 950.000 per bulan. Itu setelah memodifikasi patung Loro Blonyo dan kerajinan tangan,” ujar dia, “sekarang sudah ada model patung kecil Loro Blonyo terbuat dari kayu. Hanya saja ada pesaing baru patung terbuat dari plastik. Aneh juga patung kok dari plastic-arklilik. Ini’kan namanya mau mematikan kerjaan pengrajin.”

Perburuan terhadap patung kayu Loro Blonyo lawas menjadi incaran pengemar barang antik

Menurut dia, kesulitan yang paling mengkawatirkan para perajin saat ini yaitu kelangkaan kayu. Di masa lalu perajin patung tidak kesulitan mencari bahan kayu jati atau nangka, tapi sekarang mulai langka. Apalagi bahan kayu jati sulit didapat. Kalaupun ada, harganya tak terjangkau para perajin kayu Loro Blonyo.

“Daripada tidak maem, mending beralih mencari bahan baku yang tidak bikin uteq koplak. Apalagi kalau tidak mebuat patung dari bahan arklilik dan campuran plastik. Selain murah, mudah diperoleh. Kalau terpaksa, botol plastik dihancurin dan kemudian dibuat bahan di campur-campur,” ujarnya sembari prengas-prenges

Kesulitan Sujiman mencari bahan baku kayu pilihan bisa dimaklumi. Tidak hanya selulitan mencari bahan baku buat bikin patung Loro Blonyo dari kayu yang dihadapi perajin, tetapi juga sulitnya memasarkan produk patung berukuran besar. Padahal, sebagai prasarat adat perkawinan jawa, patung Loro Blonyo, tidak boleh melebihi temanten selagi duduk berdampingan.

“Lha kalau duduk berdampingan kalang tinggi dengan patung Loro Blonyo, yang jadi manten itu siapa? Patung kayu atau pasangan pengantin. Wewaler –aturan tak tertulis (red) dari simbah-simbah memang harus seperti itu. Persoalannya, kalau buat souvenir dijaman modern, apa harus segede gajah’kan tidak. Makanya ada patung mini Loro Blonyo terbuat dari plastik,” katanya.”

Perajin dan pemilik modal tinggal kuat-kuatan ambegan

Apapun alasan para perajin patung Loro Blonyo kesulitan mencari bahan baku kayu dan menganti bahan dari plastik, menurut pengamat budaya Ardus M Sawega, sah-sah saja. Seni patung kriya, tidak harus terfokus pada salah satu bahan baku.

“Kalau misalnya sulit golek kayu, adanya Cuma plastik dan arkrilik kenapa tidak? Dari pada cotho ndak bisa berkarya dan menghasilkan patung Loro Blonyo, gak masalah. Yang lebih penting esensi pesen yang ingin disampaikan patung Loro Blonyo. Pengantin adat tak terpisahkan dengan nilai budaya lokal,” ujar dia, “bisa dikatakan adat lawas Loro Blonyo disapu modernitas jaman.” (eddy je soetopo)

Previous Ternak Jangkrik Untungnya Mengiurkan
Next Walikota Solo: "Membangun Tanpa IMB Dirobohkan’’

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *