Teater Keliling, Tradisi Celometan di Atas Panggung


Carnaval Topeng di Venisia, Eropa, membuktikan keberagaman bentuk topeng

Tidaklah mengherankan bila anda berada di dalam area panggung seni pertunjukan teater atau sandiwara terpaku di tempat duduk menikmati jalan cerita. Namun jangan heran bila anda akan, ketika anda sedang asyik menikmati dialog, tiba-tiba pemain mengajakmu ikut berdialog: clometan. Paling tidak diajak beracting laiknya pemain lain. Itulah ciri khas Teater Keliling ketika pentas di berbagai daerah.

Teater Keliling memang bukan sandiwara biasa yang mengharuskan penonton dipaksa ndlongop mendengar dialog-dialog panjang, maupun pendek. Para pelakon bahkan acap meleburkan diri dan bercakap nggambleh bersautan celoteh dengan para penonton di panggung.

Perwajahan colective tidak hanya diidamkan di negara ketiga, di negri adidaya seperti AS pun merejalela

Bukan hanya itu, setiap pemain yang sedang pentas, dalam tradisi di Teater Keliling, tidak perlu capai memikirkan dialog ketat seperti instruksi sutradara. Membiarkan pemain berimprofikasi acting sesuka-suka dibiarkan sang sutradara Rudolf Puspa. Apalagi mementaskan kehidupan beraneka warna, dalam lakon The Topengs, justru menambah keaslian kenyataan sehar-hari di sekitar kita.

Mempersoalkan jati diri ketika muka-muka tertutup topeng, hingga tampil merebut kedudukan agar berkuasa, menjadi sajian getir Teater Keliling. Di situlah kekuatan Teater Keliling setiap kali tampil, ingin merobek tatanan kehidupan nyata menjadi persoalan absurd meski satir.

‘’Kami tidak membiasakan pemain saat di atas panggung lupa hafalan skrip naskah yang saya buat. Tidak. Enggak ada itu tradisi hafal-menghafal dialog dalam manuskrip. Biar saja mereka berinovasi clometan sesuka mereka dan mengembangkan dialog antarpemain dan penonton,’’ kata Rudolf Puspa usai pentas ‘’The Topeng’’ di Balai Soedjatmoko.

Dimulut kaum perempuan kau tertunduk pilu

Membandingkan panggung Teater Keliling dengan sandiwara lain bisa dibilang tak ada yang aneh, Laiknya pentas teater sejenis, Teater Keliling kali ini hanya membalut tembok di Balai Soedjatmoko dengan kain hitam dan kursi tunggal yang terikat dikelilingi tali membentuk jejaring laba-laba. Tidak ada yang istimewa dengan background tali-temali dan kursi tunggal yang kemudian digantung ke atas.

Justru yang menjadi pelik ketika tempat penonton dicampur-adukkan dengan panggung para pemain saling berdialog. Bukan saja sound system kurang bagus, tetapi pikuk penonton bercengkerama satu-sama lain, membuat pertunjukkan Teater Keliling, bisa dikatakan roboh. Padahal judul yang sama ‘The Topeng’ pernah dipentaskan pada tahun 80-an di Jakarta. Padahal kala negeri ini dalam cengkeraman rezim tak jelas, toh dianggap pengamat seni cukup sukses.

Pementasan Teater Keliling dengan bertajuk ‘The Topengs’ kali ini memang tampak menggunakan leveling saja untuk menonjolkan batas antara pemain ‘The Topengs’ dengan penontonnya. Namun batasan ini bukan berlaku mengikat, acap kali nampak adanya komunikasi antara pemain maupun penonton.

Bayangmu acap menggoda nurani setiap manula

Meminjam istilah William Shakespeare “All the world’s a stage, and all the men and women merely players”. Teater Keliling dinilai sengaja menghadirkan atmosfer atraktif dengan mengajak penonton ikut mengambil peran dalam pementasan ‘The Topengs’ ini. Disamping hilangnya batasan pemain dengan penontonnya, permainan lighting yang temaram menambah dramatis pementasan di Balai Soedjatmoko malam itu.

Penataan lighting dari tiga arah di dalam satu ruang, berhasil menunjang suasana sesuai yang diskenariokan sang sutradara. Seperti di sudut tengah bagian atas penonton, menggunakan tiga lampu pinspot berwarna putih yang menghujam ke pusat backdrop. Kemudian dari sudut atas kanan dan kiri sisi leveling, tampak muncul semburat cahaya biru keunguan yang hampir memenuhi seisi ruangan.

Seperti tampilan pementasan ‘The Topengs’ yang sudah dipaparkan sebelumnya. Meski terkesan sederhana, namun tetap terlihat istimewa karena mampu menjadikan ‘The Topengs’ begitu menarik disaksikan. Ditambah posisi penonton yang saat itu dapat leluasa duduk bersila diantara pemain yang tak segan berdampingan. Membuat pemain Teater Keliling meleburkan batas antara penonton dan pemain sejak pementasan dimulai. Yang diawali dengan monolog yang menohok hingga menyanyikan lagu dan menari dipenghujung pentas.

Kegairahan penguasa cenderung ingin memiliki dia (publict domain)

Maka tidak heran bila Teater Keliling yang sudah berpentas keliling lebih dari 1300 kali, memiliki banyak penggemar setia tersendiri. Bukan hanya karya yang kental dengan nasionalisme, namun juga penataan dan pengkondisian latar pementasan yang sesuai dengan proporsinya. Mampu berperan menunjang karya teatrikal ‘The Topengs’ saat itu.

Penataan artistik inilah yang membedakan grup teatrikal pemula dengan para pemain yang memiliki jam terbang tinggi. Kemasan seperti itulah yang diharapkan penonton bisa clometan spontan gak perlu berpikir njlimet, tapi kreatif dan imajinatif namun tetap kritis ketika berkesenian. Termasuk saat memamerkan tubuh sensual tanpa perlu berimajinasi harus pornografi, pamer susu di hadapan penonton. Itu pun sah-sah saja, dalam berkesenian (aryani kho / eddy je soe)

Previous Antisipasi Ledakan Penduduk Melalui Perda Kependudukan
Next Otak Einstein dan Surat Pada Tuhan

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *