Orbituari Linus Suryadi: “Jangan Kau Tangisi Dia Pariyem”


Bersama Umbu Landu Perangi, presiden Malioboro Linus Suryadi mengawali karir sebagai penyair lewat buku yang distensil di desa (courtesy becik-id)

Dunia susastra Indonesia kembali menahan airmata duka.  Setelah budayawan, rohaniawan dan novelis humanis terkemuka YB Mangun Wijaya berpulang menghadap Sang Khalik, kini komunitas seniman Nyogyo terkesima mendengar bunyi terompet liris sangkakala mewartakan bela sungkawa: Agustinus Linus “Pariyem” Suryadi meninggal dunia, Jumat Legi, 30 Juli 1999, di Rumah Sakit Panti Rapih. Menurut berberapa kerabat dekatnya, ia menderita komplikasi beberapa penyakit yang dideritanya hingga menyebabkan opname.  Kepergiannya tidak saja mengejutkan rekan-rekannya sesama seniman yogya, tetapi setidaknya membawa pilu para kuli tinta yang senang ngepos guyub mengupas masalah-masalah budaya di Yogya.

Ketika saya temui lima bulan lalu, sebelum meninggal, untuk membuat tulisan profil dirinya, ia tidak saja meninggalkan beberapa catatan, dan sketsa —menurut instilahnya ngengrengan— berupa olah pikir secara adat, mengenai masalah susastra dan sastra dalam budaya Jawa.  Ia beralasan harus menekuninya secara serius kalau tidak ingin dikatakan ngawur. Dari situ kita bisa ukur betapa serius dan gundahnya ketika ia dihadapkan pada wisik kebutuhan suara batin, yang diyakininya sebagai jeritan kepasrahan wong cilik, dalam situs budaya jawa.  Ia merasa yakin bahwa jeritan kepasrahan wong cilik itu bukan suara kekalahan.  Pada saatnya nanti, menurutnya, jeritan-jeritan itu akan mengema dan mampu membangkitkan kultur pasrah dalam kemenangan.

Ketidakinginannya disebut penggembala seni yang ngawur, secara gamblang terlihat pada diri satrawan kelahiran 3 Maret 1951 menggeluti dunia sastra jawa secara intens.  Selain tak mau dikatakan gegabah, menurutnya, untuk menjadi penulis yang baik dan mumpuni ia menyarankan jadilah sebagai pekerja pemulung karya seni.  “Kerja semacam itu bukan hal yang tabu dilakukan.  Karena toh banyak manfaatnya.  Kita bisa lebih menghargai karya seni, yang barangkali, nilai seninya tak lagi dianggap layak mengusik ruang batin sastrawan, pustakawan dan kolektor,” ujarnya waktu itu.

Cover buku karya Linus Suryadi AG, “Pengakuan Pariyem” banyak diburu pembaca

Perkara pungut memunggut di pasar buku loakan bukan hal baru dilakukan.  Tentu pekerjaan itu, dilakukannya dengan kesadaran dan hobi untuk selalu mengisi relung nuraninya, meski dengan modal yang relatif tidak sedikit.  Linus bukanlah tipikal seorang jawa yang gemar mengumbar uang untuk keperluan sesaat.  Ia lebih senang membeli buku, naskah dan kliping koran lusuh, ketimbang jajan di mall yang kini merangsek nyogjo. Boleh jadi karena ia memiliki rasa tanggungjawab yang besar terhadap keluarganya, untuk keperluannya sendiri pun Linus terbilang irit, tetapi bukan medit.  Ia acapkali menolong sesama teman tidak pandang bulu. Honorarium dari penulisan artikel, yang tidak seberapa besar itu, terkadang ia sisihkan untuk membantu adik-adiknya yang masih sekolah dan sekedar membeli pita mesin ketik, rokok dan kongkow-kongkow ngopi sesama teman lesehan di Malioboro.

Tidak jarang ia terlihat blusukan di Shoping Center —tentunya tempat itu bukanlah mall karena memang pusatnya pasar loakan buku terkenal di yogyakarta— sekedar milang-miling mencari-cari bacaan atau clingukan numpang baca kliping koran, dengan skuter tua hibah dari penyair Darmanto Yatman. Pengalaman hidup bohemian di sepanjang jalan Malioboro dan “Njeron mbeteng” Yogyakarta, menjadikan dirinya hidup dan dihidupi oleh ruh kepenyairan yang nyempal terhadap peradaban dominan: modern dan materilistis.  Buah perselingkuhannya dengan budaya pinggiran yang ia jalin sepanjang perjalanan ngegelandang, tak dapat disangsikan membawanya ke arah praxis kearifan dalam pembelaan kaum marginal.

Kepiawaian berbahasa yang ditunjang ketekunannya memungut tulisan sastra, esai-esai dari etalase pasar loak, dan ditunjang kegemarannya membaca buku, tak pelak lagi menempatkan sosok Linus sebagai salah satu sastrawan otodidak yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Setidaknya, menurut kritikus sastra handal Prof. Dr. A. Teeuw, ia termasuk salah satu sastrawan Indonesia yang sangat produktif. “Dia terkenal sebagai penulis Pengakuan Pariyem, yang menarik perhatian dan mencetuskan diskusi-diskusi sampai jauh di luar perbatasan Indonesia.  Prosa liriknya diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa dunia.”

Kumpulan karya Linus Suryadi AG dinilai kritikus sastra Teuw merupakan tonggak antologi puisi Indonesia

Sebagai pembaca dan sekaligus kelana di hutan sastra non akademis, Linus dapat dikatakan mampu dan berhasil mengkuak —meskipun belum seluruh hasil karya jelajah intelektualnya diterbitkan di negerinya sendiri— karya-karya sastra khususnya puisi Indoesia.  Dengan kerendahan hati ditelaahnya karya-karya sastrawan lain melalui sikap kepasrahan hidup yang bijak: tak mau bersinggungan diametral dengan sesama seniman. “Kita sama-sama menjadi pengembala sastra dinegeri yang kini tak lagi memiliki budaya saling hormat antar sesama,” ujarnya serius ketika itu.

Linus Suryadi AG, sastrawan yang pernah melakukan pergulatan keseniannya dengan grup Persada Studi Klub (PSK) di bawah begawan penyair Malioboro, Umbu Landu Perangi di mingguan Pelopor Yogya, tidak dapat dipungkiri merupakan salah satu sosok yang mewakili sastrawan dan sekaligus pengkritik sastra non akademis; dia seorang autodidak, tak pernah menamatkan pendidikan formalnya. “Di seluruh dunia, demikian juga di Indonesia, ada sastrawan semacam ini yang sering berkarya dalam pertentangan yang cukup jelas dengan dunia sastra akademik,” tulis Teeuw dalam prakata buku kumpulan esai Di Balik Sejumlah Nama, Gajah Mada University Press. 

Bukanlah Linus kalau dia tak bisa menyikapi pertentangan dengan kearifan.  Saya kira, ia telah mewarisi ketekunan dan kearifan seorang ‘resi’ Zoetmulder almarhum dalam ziarah intelektual menggali nilai yang terkandung dalam budaya jawa: Manunggaling Kawulo Gusti.  Dengan demikian ia pun tidak merasa gagap untuk mempertemukan dua kutub pemikiran yang selalu menjadi cikal-bakal pertentangan antara sastrawan non akadimisi dan para kritikus sastra yang —selalu—mengklaim dirinya akademisi handal. Linus mampu menyiasati dengan arif fenomena yang terjadi dalam daratan sastra Indonesia yang acap mempertentangkan, terbuka atau terselubung, antara pembaca yang berlaku sebagai pengeritik karya individual dan peneliti sastra akademis.  Ia tidak harus merasa menjebak dan terjebak dalam perseteruan dua kutub itu.  Seperti layaknya masing-masing merasa hanya mereka sendirilah yang memperlakukan sastra sebagaimana mestinya, sedangkan pihak lain memperkosa atau menghinakannya. Dalam hal ini tampaknya Linus mampu endo atau berkelit, ngeles menurut orang Betawi.

Dengan vespa hadiah dari sobatnya Darmanto Yatman, Linus lebih sering mblasak ke pasar loakan mencari bahan bacaan (courtesy pic – Tembi-Kompas)

Ia sadar sepenuhnya, kehadirannya dalam percaturan sastra dengan latar belakang non akademik, khususnya melalui prosa lirik bukan semata dilandasi sikap arogansi seperti kebanyakan sastrawan besar lainnya, tapi lebih sebagai penikmat karya sastra yang harus mempertanggungjawabkan olah rasa yang diperolehnya kepada publik pembaca melaui esai-esai pendek dan lugas. Ia menceritakan betapa nikmatnya mendapat dukungan moral yang sangat besar dari kritikus pengamat sastra Indonesia, Prof. Teeuw.  Linus juga sependapat dengan Teeuw, bahwa ilmu sastra dan kritik sastra adalah dua dunia yang sering kali terpisah, bahkan berbenturan, yang kurang menghargai satu sama lain, bahkan tidak begitu toleran satu sama lain. 

“Idealnya keduanya saling melengkapi dan memperkaya satu sama lain.  Saya sangat setuju dengan Prof Teeuw.  Rasanya ketiban ndaru ketika diberitahu bahwa beliau mau meluangkan waktunya menulis kata pengantar,” ujarnya saat itu. Pendekatan dan cara pandang yang kaprah dengan saling mempertentangkan antara dunia akademisi dan non akademis dalam menyikapi karya sastra, menurutnya, tidak semestinya terjadi.  “Meski keduanya merupakan dunia yang berbeda, tetapi pada hakikat keberadaannya sama,” katanya lirih.

Seperti apa yang diucapkan Teeuw, pertentangan antara dua dunia sastra yang mendikotomikan sastrawan akademik dan non akademik itu dapat terwujud bila terdapat dua macam pendekatan sastra yang secara abstraksi dan generalisasi berada di belakang gejala sastra yang kongkrit dalam manifestasinya yang sangat anekaragam itu kemudian dicoba dibenturkan-benturkan.  Menurut Teeuw, biasanya dalam proses analisis dan penelitian ilmiah, tentunya bagi mereka yang memilih menggunakan sudut pandang akademik, karya sastra selalu merasa terancam kehilangan sesuatu —bahkan menurut pendapat banyak pembaca kehilangan hakikatnya.  “Karena itu untuk mengupasnya, mau tak mau berarti terjadi semacam pembekuan, bahkan pemotongan.  Sedangkan pembaca yang sungguh-sungguh, yang pertama-tama ingin menjadi penikmat dan penilai, tidak suka pemotongan semacam itu,” tandasnya. “Dia ingin menghayati karya sastra sebagaimana adanya, khususnya puisi, usahanya terutama diarahkan untuk menghidupi dan menghidupkan hakikat karya itu, dan untuk menyampaikan dan memindahkan pengalamannya kepada para pembaca sastra yang bersangkutan.”

Karya Linus Pengakuan Pariyem, awalnya dicetak menggunakan stensil (courtesy pic Dewan Kesenian Daerah Kebumen)

Kritikus secamam ini, menurut guru besar sastra di Universitas Leiden itu, tidak begitu tertarik pada konsep teori, atau pada abstraksi sejarah sastra yang menisbikan karya individual dalam rangka keseluruhan sastra.  “Pada pihak lain, para ilmuwan yang menggarap sastra sebagai obyek penelitian, menganggap perlu menempatkan karya itu ke dalam deretan sejarah, dan kemudian  menghubungkannya dengan gejala-gejala lain, baik sastra maupun yang bukan sastra, mengupasnya dari segi ilmu bahasa dan ilmu sastra, bahkan filsafat dan estietika, untuk menemukan sistem konvensi sastra yang melatarbelakagi karya individual, melacak asal-usulnya atau menelusuri resepsinya; akibatnya, usaha mencapai tingkat gerneralisasi dan abstraksi yang setinggi mungkin itu karya sastra yang kongkret memang seringkali menghilang atau kehilangan esensinya,” komentarnya dalam buku tinjauan puisi-puisi indonesia modern, kumpulan esai-esai Linus Suryadi AG.

Kegemaran lain, para peneliti ilmiah suka memakai kata-kata absurd seperti semiotik, hipogram, resepsi, strukturalis, dekonstruksi, multidimensional, menurut Prof. Teeuw, menjadikan karya sastra dan kritik sastra ditinggalkan pengemarnya.  “Apalagi ditambah dengan memajang deretan nama, yang mau tidak mau selalu memulai dengan Aristoteles, hingga tokoh-tokoh dengan nama aneh Mukarovsky, Riffateree, De Saussure, Bathes dan Derrida.  Hal-hal itu justru mengapokkan pembaca awam yang hanya tertarik pada puisi saja.”

Berbeda dengan kebanyakan para penyair, sastrawan, seniman yang pada akhirnya terkalahkan oleh kilaunya peradaban modern yang menjanjikan sekarung kehidupan outopia duniawi.  Sebagaimana kita lihat, mereka hijrah secara fisik meneguk kenikmatan di Jakarta misalnya.  Padahal, setidaknya, kehidupan modern di kota sebesar Jakarta itu pun dulu pernah mereka tolak.  Linus tetap linus.  Ia tidak kepencut dengan gemerlapnya Jakarta, meski pernah dicobanya untuk bekerja di sana.  “Waktu itu saya pernah coba bekerja di Jakarta.  Tapi rasanya kapok.  Mending di njogjoMati urip nderek Gusti ya di Jogya,” ujarnya.

Ketika saya tanyakan kenapa tidak beralih menjadi penulis novel?  Dia mengatakan,  “Suket ku ya cuma itu,” ujarnya suatu saat.  Maksudnya?  “Saya akan tetap ngopeni suket teki (sejenis rumput liar yang tidak mudah mati) agar tidak kerontang, terinjak-injak, dan kemudian mati dibakar massa.  Kalau diopeni, bisa saja dipakai untuk lapangan bal-balan dan bukan cuma untuk makanan wedus.” Barangkali mungkin, ngengrengan yang dimaksudkannya itu belum sampai tertuang ke dalam karya literer, ia keburu dipanggil Ilahi.  Ia hanya sempat melahirkan prosa lirik yang, bisa jadi mengilhami munculnya“pembelotan kawulo alit”

Prosa lirik Pengakuan Pariyem yang ditulisnya mencerminkan kerisauan, kekalutan dan kegundahan hatinya dalam menyuarakan ketidakberdayaan nasib wong cilik seperti nasibnya Pariyem dalam prosanya.  Dan, saya kira tulisannya akan selalu dikenang tidak saja oleh Pariyem-Pariyem lain, tetapi juga para penindas Pariyem.  Oleh karenanya, biar ia pergi dengan damai… “Jangan kau tangisi dia, Pariyem!”

Previous Nenggaklah Aspirin Bila Darahmu Tersendat Mengalir ke Jantung
Next Celana Perempuan Panjang Cutoff Bolong Dhowak-Dhowak Ngetrend

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *